Barangkali, orang-orang Jawa di masa silam akan terkekeh ketika membaca Mite Sisifus-nya Albert Camus yang melegenda itu. Dalam esai yang cukup memengaruhi salah satu corak kesenian yang identik dengan kemuraman itu absurditas juga disebabkan oleh kemuakan pada rutinitas. “Bangun pagi, pergi ke kantor, pulang, tidur, bagun pagi lagi, dst.,” demikianlah kurang-lebihnya catatan Camus yang menyiratkan kedataran hidup manusia, yang tentunya, ketika dipikirkan. Karena itulah, bagi salah satu sastrawan yang digilai wanita karena kemuramannya itu, absurditas merupakan ketaksesuaian logika manusia dengan kehidupan.
Berbicara rutinitas tentu adalah berbicara waktu yang repetitif: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu, dan kembali lagi Senin. Nama-nama hari itu kiranya hanyalah konstruksi pikiran manusia agar hidup terlihat lebih tertata, sebagaimana Aristoteles yang mengatakan bahwa berpikir itu adalah mengkategorisasi. Manusia memang perlu dan butuh untuk melakukan kategorisasi, setidaknya agar kehidupan tampak bisa dipahami. Pemahaman akan kehidupan rupanya cukup penting ketika orang tak memilih absurditas sebagai pandangan hidupnya—meskipun bagi sastrawan yang pernah menjadi selingkuhan Simone de Beauvoir ini absurditas bukanlah sebentuk filsafat—, setidaknya, agar orang tak melakukan bunuh diri, baik bunuh diri filosofis ala Kierkegaard maupun bunuh diri eksistensial yang barangkali dilakoni Camus sendiri.
Tapi di sini saya tak akan membahas absurditas yang memang melankolis dalam ekspresi dan cukup digandrungi perempuan. Bukan karena saya tipikal periang, tapi ternyata rutinitas yang mewujud pada hari-hari yang kita lalui yang bagi Camus merupakan salah satu sumber absurditas memiliki hikayatnya. Setidaknya, demikianlah yang terjadi di Jawa pada masa silam.
Bagi orang yang berbahasa Indonesia juga Jawa sesudah era Majapahit, tentu akan mengaitkan nama-nama hari yang kita lalui dengan nama-nama bilangan Arab: Wahidun (Ahad), Isnaini (Senin), Tsalatsatun (Selasa), dan seterusnya. Tapi ternyata tak demikian adanya bagi orang-orang Jawa sebelum era Demak. Orang-orang Jawa di masa silam menghubungkan hari-hari yang dilalui itu dengan nama-nama planet yang konon memiliki pengaruh bagi kondisi kejiwaan manusia.
Orang-orang Jawa di masa silam menamakan hari yang bagi orang-orang yang berbahasa Arab, Indonesia maupun Jawa pasca era Majapahit disebut sebagai Ahad sebagai Radite yang merujuk pada matahari, Senin sebagai Soma yang merujuk pada rembulan, Selasa sebagai Anggara yang merujuk pada planet Mars, Rabu sebagai Buda yang merujuk pada planet Merkurius, Kamis sebagai Wrahaspati yang merujuk pada planet Jupiter, Jum’at sebagai Sukra yang merujuk pada planet Venus, Sabtu sebagai Tumpak yang merujuk pada planet Saturnus.
Dengan demikian, kenapa hari Selasa disebut sebagai “Selasa” seumpamanya, tak ada penjelasannya sama sekali ketika memakai bahasa Arab, Indonesia maupun Jawa pasca Majapahit—dan tentunya juga bahasa Inggris ataupun Perancis. Tentu, dengan perspektif ini dapat dipahami kenapa absurditas yang digaungkan oleh Camus itu menjadi ada atau dialami yang akhirnya melahirkan melankolia yang menyebabkan perasaan membiru iba dan digandrungi oleh kebanyakan wanita.
Berbeda dengan orang-orang Jawa di masa silam yang cukup ilmiah dalam menjelaskan kenapa hari yang biasa kita sebut sebagai Selasa atau Anggara adalah karena “Lintang Anggara yen kasawang saking Bumi sapara kalih dasanipun midheleining surya” dan “Midheleining lintang Anggara sami midheleining Bumi langkung sapraneman.” Dengan kata lain, pada hari ini, planet Mars adalah berukuran 1/20 kali diameter Matahari ketika dilihat dari Bumi dan 1/6 diameter planet Bumi (Sasadara, Radya Pustaka, Surakarta, 1807).
Demikian pula hari Rabu atau Buda dimana planet Merkurius adalah berukuran 1/15 kali diameter Matahari ketika dilihat dari Bumi dan 1/28 diameter Bumi. Adapun hari Kamis disebut sebagai Kamis atau Wrahaspati adalah karena planet Jupiter berukuran 1/12 kali diameter Matahari ketika dilihat dari Bumi dan 49/16 diameter Bumi, dst. Dalam naskah Sasadara tak dijelaskan kenapa hari Ahad dinamakan Ahad atau Radite dan hari Senin dinamakan Senin atau Soma adalah karena hari itu merujuk pada Matahari dan Rembulan yang menjadi ukuran.
Semua hari yang berjumlah 7 itu di Jawa masa silam disebut sebagai “Lintang Papitu.” Seandainya dalam bahasa Indonesia dan Jawa pasca Majapahit nama-nama hari itu merujuk pada nama-nama bilangan Arab yang tentunya tak ada penjelasan ilmiahnya, di Jawa pada masa silam ternyata nama-nama hari itu—Radite, Soma, Anggara, Buda, Wrahaspati, Sukra dan Tumpak—merujuk pada nama-nama planet. Dengan kata lain, hari-hari yang kita lalui ini, ketika memakai perspektif orang-orang Jawa di masa silam, ternyata merujuk pada dinamika tata surya. Pertanyaan yang patut diutarakan kemudian, lantas bagaimana orang-orang Jawa di masa silam mengetahui dan mengukur itu semua padahal jelas belum ada alat-alat penopang seperti teleskop, satelit, dst? Saya pribadi tak pernah nggumun dengan hal itu, sebab sebelum alat-alat sonografi ada orang-orang Jawa di masa silam sudah dapat menjelaskan kondisi janin dalam kandungan yang tak jauh berbeda dengan hasil pengamatan ilmu kedokteran modern (Menyingkap Doktrin Martabat 7: Secarik Catatan Tentang Sangkan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Dan di atas semua itu, sayangnya Albert Camus tumbuh dan besar di Perancis yang tentu tak mengenal kawruh sangkan-paran ataupun tasawuf dengan segala coraknya sehingga mendapatkan hadiah nobel pun seperti tak lagi bermakna. Sebab, konsekuensi lebih lanjut dari tafsirnya atas Sisifus adalah ketakbermaknaan hidup—meskipun ia sempat mengubah pemikirannya dengan sedikit mengetengahkan “permen” yang ia sebut sebagai pemberontakan dan solidaritas. Tak berapa lama, sastrawan yang dari segi ketampanan dan kemuraman mengalahkan Jean-Paul Sartre itu dikabarkan menabrakkan mobilnya ke sebuah pohon yang menyebabkannya selamat dari absurditas. Tak ada kejelasan, apakah kematiannya itu karena bunuh diri atau sebab lainnya. Yang pasti, kehidupan seorang Albert Camus memanglah biru.