Di zaman dromologi, untuk meminjam istilah Paul Virilio, yang serba cepat karena memang bersendikan kecepatan, kearifan-kearifan lokal seakan-akan menjadi bahan ejekan. Namun sebenarnya, ejekan-ejekan itu terasa berbalik ketika orang memahami waktu. Justru, yang merasa tak nyantai dan serba tegang kehidupannya laiknya teroris, terlihat lebih nyantai daripada yang menyendikan hidupnya pada kearifan-kearifan lokal.
Apalagi ketika suatu waktu kehidupan para penggila dromologi ini, yang barangkali karena prinsip ketak-nyantai-an itu, njeglek atau padam entah karena bangkrut atau stres. Mereka akan terkesan tertinggal daripada yang melakoni kehidupannya dengan, menurut ukuran mereka, nyantai.
Dalam peribahasa Jawa, prinsip kehidupan yang nyantai itu sering diungkapkan sebagai “Gliyak-gliyak tumindak, sareh pikoleh.” Tentu, peribahasa ini sering menjadi bahan olok-olok di hari ini. Taruhlah seorang caleg atau capres yang memang, dalam hitungan politik praktis, hendak mewujudkan keinginannya yang perlu secepat kilat menggalang dukungan.
Wajah mereka tentu sudah sejak lama mesti menghiasai, di samping di media-media sosial yang jelas-jelas mengikuti prinsip dromologi, berbagai pinggiran jalan mulai dari kota hingga ke pelosok desa. Pose-pose dalam citra itu, yang tentu pula seturut prinsip dromologi, tak ada yang asimetris seperti pendekatan dalam seni rupa kontemporer. Mereka mesti, setidaknya, meski tak ganteng ataupun ayu, sumringah.
Apa jadinya ketika citra-citra para caleg ataupun capres itu memilih pendekatan seni rupa kontemporer, yang kerap menyengaja untuk asimetris atau bahkan grotesque seperti lukisan-lukisan sosok Egon Schiele? Adakah hal itu akan menurunkan daya seduktif, untuk meminjam istilah Jean Baudrilliard, citra-citra itu yang otomatis menjadikannya tak laik jual secara politik praktis yang sudah barang tentu bekerja dengan prinsip dromologi yang sudah merupakan bagian dari ilmu komunikasi politik pasca modern?
Orang tentu ingat Bapak Pembangunan Indonesia, Soeharto, yang pernah pula digelari sebagai The Smiling General. Telisik punya telisik ternyata tampil dengan citra wajah yang sumringah tak semata menjadi bagian dari ilmu komunikasi politik pasca modern. Setidaknya, presiden kedua RI itu sudah menerapkannya sejak lama.
Namun, cukup berbeda dengan citra-citra politik para tokoh masa lampau seperti Gajah Mada yang jelas-jelas tak sumringah. Pipinya tembem, sepasang alis dan mata yang njenggureng seperti tak menampakkan citra wajah orang pada umumnya. Dan pemerintahan raja Hayam Wuruk tetap saja memilihnya untuk menjadi Mahapatih. Terlebih, ketika orang menilik wanda atau bentuk wayang dua dimensi yang jelas-jelas grotesque. Banyak orang pun tak peduli pada prinsip-prinsip ilmu komunikasi politik. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, tetap saja menjadi pajangan di rumah-rumah pandhemen-nya.
Berkaca dengan media wayang, ternyata hati orang sama sekali tak tergantung pada bentuk atau forma. Mereka cenderung menganggap bahwa wanda atau bentuk luar wayang hanyalah cerminan belaka dari karakternya. Karakter Petruk yang tak sungkan bertemu dengan para bangsawan, sebagai jubir Bapak Semar, ternyata sama belaka dengan udel atau pusarnya yang bodong. Dalam hal ini, tersingkap bahwa dualitas forma dan substansi ternyata tak berlaku pada wayang.
Dengan demikian, bukankah citra wajah sumringah tak menjamin bahwa yang bersangkutan akan menjadi yang terpilih atau tak terpilih? Bukankah dengan sepasang mata yang rembes, hidung yang pesek, Bapak Semar yang tampil mendekati sosok-sosok yang dilukiskan Egon Shiele tetap menjadi pilihan untuk dirindukan?
Dromologi, dengan politik citra dan prinsip kecepatannya, ternyata tak menjamin kesuksesan ataupun ketaksuksesan seseorang. Dalam kearifan pewayangan Jawa ternyata wahyu itu kalau diburu justru melaju, namun ketika tak diharapkan justru menjelang. Dan seumpama sudah menjelang, untuk meminjam ungkapan indah Ronggawarsita, “Cahyaning wahyu tumelung, Tulus tan kena tinegor.”
Entah kenapa pujangga pamungkas Jawa itu menggambarkan wahyu seperti sebuah kayon yang ketika sudah condong tak akan dapat ditebas. Sepertinya, peristiwa pewahyuan semacam ini memang sudah pernah dialaminya. Dalam Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi R.Ng. Ronggawarsita diceritakan bahwa meskipun anak dari Mas Pajangswara itu bengal, bodoh, dan pemalas dibanding para santri dan kyainya di Pesantren Gebang Tinatar, yang karenanya ia menjadi orang buangan, namun seusai menerima wahyu kapujanggan kecerdasannya justru melebihi orang-orang yang pernah merendahkan dan membuangnya.
Tentu, Ronggawarsita, dengan melihat sepakterjangnya di pesantren yang banyak bermain dan karib dengan perjudian daripada belajar dan ngalap berkah, jelas tak menganut prinsip kecepatan dalam hidup. Toh, akhirnya ia cukup banyak membuat kewirangan orang-orang yang pernah merendahkannya. Dalam hal popularitas dan pengaruh ia justru mampu melebihi kyai-kyai dan senior-seniornya yang merasa suci dan pernah membuangnya. Bukankah sampai era perang kemerdekaan karya-karya Ronggawarsita seolah menjadi pegangan para pemimpin, pejuang, dan rakyat Indonesia dalam mengolah harapan akan datangnya sebuah masa yang penuh kebanggaan (kalasuba)?
Namun, di balik segala proses hidup seorang Ronggawarsita yang bengal, nyantai dan tak dromologis, konon ia gemar menyusuri kali daripada mengaji dan ngalap berkah pada kyai. Dan terbukti, dengan bertindak secara nyantai tanpa ketamakan, ia justru mendapatkan (Gliyak-gliyak tumindak, sareh pikoleh).