Sedang Membaca
Ekonomi Melankolia: Antara Resesi Ekonomi dan Resesi Seksual
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Ekonomi Melankolia: Antara Resesi Ekonomi dan Resesi Seksual

Beberapa waktu lalu banyak negara disinyalir tengah berada di ambang atau bahkan sudah mengalami resesi ekonomi. Yang paling mencolok adalah resesi ekonomi yang terjadi di Hongkong tersebab gelombang demonstrasi berbulan-bulan. Seiring dengan itu beberapa pakar juga menyebutkan terjadinya resesi seksual yang tengah atau bahkan sudah melanda beberapa negara. Paling tidak, para pakar itu menyebut AS dan Jepang.

Bagaimana logikanya bahwa resesi ekonomi terjadi seiring dengan resesi seksual? Resesi ekonomi yang menyebabkan resesi seksual atau sebaliknya? Para pakar itu menyebutkan bahwa resesi seksual ditandai dengan lesunya aktivitas seksual. Banyak generasi milineal yang enggan menikah dan banyak orang gemar berhubungan jarak jauh di mana berbagai perangkat teknologi dianggap sebagai representasi tubuh. Dengan kata lain, setubuh tak lagi dijadikan prioritas yang ampuh.

Secara sekilas resesi ekonomilah yang menyebabkan resesi seksual. Ketika aktivitas ekonomi tak berjalan sebagaimana mestinya, maka secara logis terepresi pula hasrat seksual karena jelas pendapatan atau pemasukan tak lagi seperti biasanya. Aktivitas seksual, bagaimana pun, juga perlu mengeluarkan biaya. Barangkali, pekik dan jerit para wanita penghibur atau wacana seksualitas yang tiba-tiba sedemikian ekspresif dan murah di ruang publik justru mengindikasikan kenyataan yang sebaliknya: penurunan aktivitas seksual di kenyataan (resesi).

Baca juga:  “Ngelmu Syahadat” (1): Kesedihan sebagai Jalan Pengetahuan

Tilikan di atas saya kira berpijak pada analisis marxian, ketika infrastruktur (ekonomi) mendeterminasi suprastruktur (hasrat seksual). Tapi sebenarnya saya tak pernah puas dengan anlisis marxian klasik tersebut. Sebab tak selamanya infrastruktur itu mendeterminasi suprastruktur.

Taruhlah kasus radikalisme dan terorisme kontemporer dengan kemasan agama. Saya menemukan bahwa akar utamanya adalah justru “melankolia” yang dapat mendera siapa saja, baik kalangan borjuasi maupun kalangan proletar (Petaka Melankolia dan Sekelumit Bom Surabaya dlm. “130518 Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan”, idenera.com, 2019). Bukan kemiskinan atau minimnya aktivitas ekonomi, entah karena dihisap ataupun dipersempit akses ekononinya.

Pada kasus resesi ekonomi, analisis marxian tersebut dengan mudah juga terbantahkan. Sebab, penurunan hasrat dan aktivitas seksual yang notabene menjadi bagian dari suprastruktur dapat pula memicu terjadinya resesi ekonomi. Orang enggan untuk melakukan aktivitas seksual yang produktif, lebih menyukai hubungan jarak jauh dan masturbasi misalnya,.

Hal ini secara logis akan menyebabkan pula turunnya angka kelahiran dan otomatis menyebabkan turunnya permintaan. Turunnya permintaan ini pada gilirannya akan menyebabkan lesunya aktivitas ekonomi karena kurangnya permintaan atau sepinya pelanggan.

Tapi saya kira, kedua perspektif tersebut bukanlah yang menjadi akar masalah yang sebenarnya. Saya akan melihat resesi ekonomi ini dari sudut pandang resesi seksual. Orang enggan melakukan aktivitas seksual yang produktif bukan karena alasan ekonomi belaka. Tapi ada varian lain yang saya kira menyebabkan lesunya aktivitas seksual tersebut: melankolia.

Baca juga:  Perundungan dan Empati Digital

Melankolia pada dasarnya tak semata sesuatu yang innate sebagaimana yang dipahami oleh Heidegger dengan karakteristik utamanya berwujud kecemasan (angst) yang berkaitan dengan eksistensi (sein/being). Tapi ia dapat pula dibentuk atau bersifat konstruktif.

Radikalisme dan terorisme organisasi teroris kontemporer semacam IS, sangat mahir dalam membentuk melankolia tersebut. Salah satunya melalui indoktrinasi apa yang pernah Buya Syafii Maarif sebut sebagai “teologi maut” atau yang pernah saya sebut juga sebagai teologi “jalan pintas” (Bertolak Dari yang Ada, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net).

Teologi jalan pintas adalah sebentuk teologi yang meyakini bahwa mati syahid adalah satu-satunya ibadah tertinggi yang dapat mengantarkan seseorang langsung ke surga tanpa hisab. Lazimnya, teologi ini memikat banyak orang yang merasa sudah pernah mereguk penuh kenikmatan duniawi, tapi enggan untuk mengikuti tetek-bengek agama yang mereka pandang mengungkung jiwa bebas mereka yang sudah lama terbentuk. Bagi orang yang sudah habis-habisan menikmati legitnya dunia, kenikmatan apalagi yang tersisa kecuali sepetak surga?

Konstruksi muram teologi maut ataupun jalan pintas itulah yang menyebabkan terjadinya melankolia. Pada suasana melankolia banyak orang akan menemukan rasa keterbuangan, ketakberhargaan, dan ketakbermaknaan. Maka untuk melakukan apapun, termasuk aktivitas seksual yang produktif, akan terasa sia-sia.

Baca juga:  Habib Luthfi, Kelaparan, dan Tradisi Pesantren

Ketika didera melankolia banyak orang akan suka menyendiri karena membangun komitmen sekali pun dirasa sudah tak berguna. Mereka lebih menyukai fantasi dan waham daripada tubuh dan dunia—setelah habis-habisan disesap—yang tak lagi berasa. Dan melankolia inilah yang saya kira menjadi faktor utama resesi seksual sekaligus resesi ekonomi. Apakah Anda mengalaminya? Atau, Anda tidak sepakat? (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top