Mandala sebagai tata spiritual-politik telah berakhir ketika ekspansi Mataram Islam, setelah upaya lima tahun, ke Surabaya (Jawa Timur). Maka, pada titik ini, bukanlah Mataram yang menjadi penerus Majapahit sebagaimana klaim genealogis mereka. Melainkan Demak, yang rajanya berdarah Tionghoa, dan mengadopsi mandala sebagai Walisanga.
Di Demak jelas terpilah antara kekuasaan agama dan politik. Hal ini jelas terbaca ketika, pertama, Raden Patah memerlukan persetujuan Walisanga dalam memutuskan hal-hal terkait agama. Kedua, kisah eksekusi Syekh Siti Jenar yang diputuskan oleh Walisanga.
Berbeda dengan Mataram, sebagaimana yang tampak dalam gelar sang raja, kekuasaan agama dan politik menjadi satu: “Sayidin Panatagama” (pemimpin-penata agama). Kisah penyesatan kiai Mutamakin di Kajen, Pati, seperti yang termaktub dalam Serat Cabolek, berdasarkan kuasa Sultan.
Maka, kita patut bertanya, siapakah sesungguhnya pewaris Majapahit? Selama ini, pandangan umum menyatakan bahwa tak ada kesinambungan antara Majapahit dan Demak. Kerap yang dijadikan alasan adalah bahwa Kesultanan Demak yang bercorak Islam sudah pasti berbeda dengan Majapahit yang mayoritas Hindu. Dengan kata lain, dalam hal ini agama selalu dijadikan acuan bagi perbedaan tata politik.
Saya kira pandangan seperti ini berangkat dari bias keagamaan tertentu atau paling tidak bersumber dari sesat pikir dalam memandang Islam. Islam yang hadir di nusantara tak pernah satu varian belaka. Ada varian Islam yang puritan dalam hal moral, radikal dalam doktrin, dan cenderung formalistik dalam aspirasi politiknya.
Ada pula varian Islam yang luwes dalam hal moral, moderat dalam doktrin, dan substansial dalam hal aspirasi politiknya. Dan Demak, saya kira, dengan berbagai bukti yang ada, memilih varian Islam yang kedua.
Siapa pun tahu bahwa arsitektur masjid agung Demak tak ada kembarannya di belahan dunia mana pun selain di nusantara. Siapa pun juga tahu bahwa genduren atau slametan tak ada kemiripan formalnya dengan bentuk syukuran di negara-negara Islam lainnya. Siapa pun juga tahu bahwa konsep kerajaan maritim yang diwariskan Sriwijaya berlanjut ke Majapahit hingga Demak.
Kita mengenal dua macam geopolitik di masa silam yang memiliki konsekuensi berbeda atas budaya sekaligus kondisi sosial-politik: pasisiran dan pedalaman. Secara ekonomis pasisiran memang cenderung lebih bergeliat dengan adanya dermaga, atau paling tidak, etos kerjanya lebih tinggi daripada pedalaman. Karena itu dapat dimengerti jika secara sosial-kultural pasisiran jauh lebih plural dan multikultural.
Pada tatanan politik pun sangat tampak bahwa Demak melanjutkan mandala yang telah berkembang sebelumnya. Mandala sebenarnya tak hanya sebentuk tata politik, tapi juga tata spiritual. Seperti yang tampak pada lambang praja Majapahit yang merupakan matahari bersudut 8 dengan 1 pusat yang menyiratkan arah mata angin yang dinaungi 8 dewa dan 1 dewa inti.
Mandala sebagai tata spiritual sekaligus politik tersebut kemudian dihidupkan oleh Demak dengan dibentuknya apa yang dikenal sebagai Walisanga. Komposisi Walisanga yang dikenal luas selama ini adalah Maulana Maghribi dan Sunan Giri (Gresik), Sunan Ampel (Ampelgading Surabaya), Sunan Drajat (Lamongan), Sunan Bonang (Tuban), Raden Patah dan Sunan Kalijaga (Demak), Sunan Muria (Jepara), Sunan Gunungjati (Cirebon), dan Sunan Kudus (Kudus).
Tentu, masing-masing sunan itu tak hidup sezaman. Seperti Sunan Ampel yang sudah pasti tak segenerasi dengan Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang merupakan kedua anaknya. Tapi istilah Walisanga tetap mengacu ke sebuah dewan sekaligus penguasa wilayah perdikan yang mesti berjumlah 9 di mana yang 8 menopang yang 1 sebagai inti. Perihal status perdikan sangatlah tampak pada wilayah Sunan Giri di Gresik yang dalam beberapa literatur disebut sebagai Giri Kedaton (istana Giri) dan Sunan Gunungjati dengan Kasultanan Cirebonnya.
Meski otonom, kedelapan wilayah tersebut menopang dan memusat pada Raden Patah di Demak—yang berarti pula dimaq atau otak. Tentu, untuk selalu menjalin komunikasi antar wilayah yang saling berbeda tersebut perlu adanya seorang yang mampu melintas-batas: Sunan Kalijaga atau, dengan gelarnya yang lain, Syekh Malaya (baca: mlaku). Kalijaga menempati maqam Wisnu pada mandala Majapahit yang berlatar warna wulung (hitam).
Tentang peran Kalijaga sebagai penyambung antar wilayah dalam mandala sekaligus pengkader para sunan, sosok Wisnu dalam pewayangan cukup mewakili kiprahnya. Hanya Wisnu yang mampu menitis ke berbagai bentuk. Pun Kalijaga, mantan Brandal Lokajaya itu dapat menjadi pengais rumput pada kasus penyadaran Adipati Pandanaran di Semarang.
Dengan tata mandala, kekuasaan Sultan Demak tak bersifat mutlak dan sentralistik. Masing-masing wilayah yang berada dalam tata mandala bebas mengembangkan potensi wilayahnya masing-masing. Ada semacam rekognisi Demak sebagai inti atas kedelapan wilayah tersebut: Sunan Giri dengan Giri Kedatonnya, Sunan Gunungjati dengan Kasultanan Cirebonnya, atau pun tabu memakan daging sapi di Kudus sebagai sebentuk penghormatan pada agama Hindu.
Selain fungsi spiritual-politis, tata mandala juga memiliki fungsi praktis-strategis sebagai badal atau pengganti apabila sewaktu-waktu kekuasaan di wilayah inti melemah. Pada kasus konflik internal Demak yang menyebabkannya surut, dengan mudahnya kekuasaan tetap berlanjut di wilayah Giri Kedaton atau pun Cirebon.
Di sini ada yang menarik perihal eksekusi Syekh Siti Jenar yang membuktikan peran sentralnya Giri Kedaton, Demak, dan Kasultanan Cirebon sebagai wilayah penyangga Kasultanan Demak. Dalam berbagai literatur, ada yang menyebutkan bahwa Jenar dieksekusi di Giri Kedaton. Adapun versi lain mengatakannya di masjid Demak atau juga di Cirebon dengan kampung Kemlaten-nya.
Pada abad ke-17, semua visi geopolitik yang jauh melampaui zaman tersebut, yang telah dipraktekkan Majapahit dan Demak, akhirnya buyar tatkala apa yang dalam sejarah mainstream disebut sebagai kesultanan Mataram Islam memporak-porandakan Surabaya selama lima tahun setelah sebelumnya menghabisi aliansi pesisirannya.
Dengan ditaklukkannya Surabaya menjadi tanda berakhirnya pula riwayat mandala, berganti dengan sistem politik-keagamaan yang absolut dan sentralistik. Dengan demikian, andaikata kita melacak akar sejarah “Islam politik” di nusantara, bukanlah Kesultanan Demak jawabannya. Melainkan, Mataram Islam. (SI)