Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Bermain Layang-Layang, Menggapai Keabadian: Suluk Sida Nglamong dan Potret Jiwa Kaum Salikin

Bermain Layang Layang

Kuambil buluh sebatang

Kupotong sama panjang

Kuraut dan kutimang dengan benang

Kujadikan layang-layang

            Bermain berlari

            Bermain layang-layang

            Berlari kubawa ke tanah lapang

            Hatiku riang dan senang

Bagi generasi 80-an, yang masih mengalami permainan anak-anak yang masih melibatkan tubuh dan barang-barang yang disediakan oleh alam, tentu masih ingat bagaimana rasanya bermain layang-layang. Di desa, dahulu saya tak pernah membeli layang-layang, saya selalu dibuatkan oleh seorang yang datang dari pegunungan dan mengabdi untuk bersekolah di sekolah yang tak jauh dari desa saya.

Begitu mahirnya seseorang yang akrab saya sapa “Kang” itu dalam membuat layang-layang. Bahkan pun untuk membuat “layangan turkung,” layang-layang yang tak memerlukan ekor yang panjang untuk terbang secara stabil di angkasa, ia selalu berhasil. Terkadang, di desa, permainan layang-layang tak sekedar soal tampilan dan ketinggian dalam terbang. Di samping diberi aksesoris sawangan, untuk layangan wulan tumanggal dimana bentuknya menyerupai bulan sabit, yang dapat menghasilkan suara yang berdenging laiknya pesawat terbang, permainan layang-layang juga memerlukan ketajaman benang. Ketajaman benang ini adalah untuk “sangkutan” atau diadu dengan cara disangkutkan benang layang-layang yang satu ke benang layang-layang lainnya. Jika ada benang yang putus dan layang-layangnya mengalami turbulensi dan akhirnya jatuh, maka ia akan dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena itu tak jarang benang untuk mengikal dan mengulur layang-layang diberi racikan tertentu.

Secara kebudayaan, ternyata permainan layang-layang yang di masa lalu identik dengan permainan anak-anak tersebut memiliki sejarah yang panjang dan tak melulu sekedar bermakna sebuah permainan anak-anak. Setidaknya di era kerajaan Majapahit, menurut catatan Babad Jaka Tingkir, layang-layang telah menjadi permainan bahkan di lingkaran kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya. Layang-layang di era kerajaan Majapahit itu identik dengan seorang perupa yang saking nyatanya dalam menggambar sampai dicemburui oleh sang raja: Raden Jaka Sungging Prabangkara.

Di samping Babad Jaka Tingkir, saya menemukan pula sebuah kisah yang secara khusus mengisahkan permainan layang-layang. Kisah ini saya temukan di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, ketika sedang menggarap buku pertama saya, “Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai” (2011). Naskah itu berjudul “Suluk Sida Nglamong” dan masih berupa carik atau naskah tulisan tangan beraksara Jawa. Naskah ini terdiri dari 17 pupuh dimana semuanya pupuh-nya merupakan pupuh megatruh. Dalam esai ini saya akan mengulas karya sastra yang tak jelas siapa pengarangnya tersebut. Naskah Suluk Sida Nglamong ini tersimpan di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, dengan kode SB 77.

Naskah Sida Nglamong, karena berbentuk suluk, merupakan sanepan atau kisah perlambang tentang ajaran tasawuf atau sufisme tertentu, yang bagi saya, berkaitan dengan fenomena psikologis tertentu pula: “jadzab.”

Dalam kesusastraan Jawa, suluk merupakan salah satu genre di samping babad dan wirid. Karya sastra suluk dan babad sama-sama menggunakan metrum macapat atau puisi yang ditembangkan. Namun, keduanya berbeda dalam hal tema. Seandainya karya sastra suluk lebih banyak berisi ajaran-ajaran tasawuf, maka karya sastra babad berkaitan dengan tema sejarah. Adapun karya sastra yang berbentuk wirid, meskipun sama-sama mengetengahkan ajaran-ajaran tasawuf sebagaimana suluk, namun bahasa yang dipakai adalah bahasa argumentatif dan bukannya bahasa puitis.

Istilah suluk sendiri, secara harfiah, bermakna perjalanan yang erat kaitannya dengan laku ilmu tasawuf atau tarekat dimana para pelakunya disebut sebagai salikin. Dengan demikian menjadi jelaslah kenapa karya sastra Jawa yang berbentuk suluk berisi ajaran-ajaran tasawuf atau sufisme dengan segala coraknya. Pengertian ini gamblang disajikan oleh Suluk Sida Nglamong yang mengisahkan pengalaman Sida Nglamong yang terkadang dialami oleh pula para salikin dengan berbagai kadarnya.

Baca juga:  KUHP Pasal 300-305: Berakidah Secara Konstitusional

Dalam Suluk Sida Nglamong, Sida Nglamong merupakan sang tokoh utama yang dikisahkan sebagai “orang gila.” “Nglamong” sendiri, saya kira, merupakan padanan kata Jawa atas istilah “syathahat” atau celotehan mistis yang kerap diungkapkan oleh para sufi atau pelaku ilmu tasawuf tanpa adanya sebuah kesadaran. Jadi, dalam hal ini, syathahat adalah celotehan-celotehan yang terkucur secara otomatis tanpa adanya satu pun rekayasa. Al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bisthami merupakan beberapa sufi yang beberapa syathahat-nya abadi hingga kini. “Ana al-Haqq” dan “Subkhanii” adalah beberapa contoh syathahat yang pernah mengucur dari mulut al-Hallaj dan Abu Yazid sehingga, karenanya, mereka dihakimi sebagai kafir di masanya. Konon, Rumi, pujangga-sufi yang kondang itu, merangkai Mastnawi-nya yang terkenal juga dalam kondisi bawah-sadar seperti ini. Syekh Abdul Qadir al-Jilani pun tercatat pula pernah mengucurkan syathahat dimana, katanya, “Kakiku berada di tengkuk semua wali.” Di Jawa, syathahat ini identik dengan kisah Syekh Siti Jenar yang konon disalahpahami sebagai pengakuan bahwa dirinya adalah Tuhan.

Nglamong” merupakan kata kerja pasif yang diawali dengan prefiks “Ng” dimana “clemongan” atau celotehan-celotehannya tak terucap secara sadar diri. Berbeda seandainya “Nglamong” tersebut diucapkan sebagai “Mlamong” yang merupakan kata kerja aktif dimana “clemongan”-nya di dasari oleh adanya sebuah kesadaran. Karena itulah, bagi saya, istilah “Nglamong” sepadan dengan istilah tasawuf “syathahat.”

Sesuai dengan namanya, Sida Nglamong, Suluk Sida Nglamong mengisahkan seorang yang tampak “gila.” Kebiasaannya adalah berucap tentang sesuatu yang tak gamblang, seperti berkaitan dengan isyarat tentang apa yang akan terjadi (mumpung durung).

Linglang-linglung ngadeg lungguh jentang-jentung/ Ujare kang aningali/ Den arani yen wong kumprung/ Sejatine nyata baring/ Mila karan Sida Nglamong                                                 

Pengucape Sida Nglamong mumpung during/ Payo padha aningali / Pepaesan padha ngambung/ Aja padha ting kalithih/ Menek keri Sida Nglamong                                          

Linglang-Linglung berdiri duduk melamun/ Kata yang melihat/ Ia orang sinting/ Nyatanya memang gila/ Makanya dinamakan Sida Nglamong

Perkataan Nglamong serba mengambang/ Mari sama menyaksikan/ Bercermin sama mencium/ Jangan pada malas/ Nanti seperti Sida Nglamong

Saban hari kerjanya tak ada yang lain kecuali duduk termenung di puncak gunung, menikmati layang-layangnya yang mengangkasa. Sesekali ia tampak mengulur benangnya dan sesekali pula mengulurnya agar layang-layangnya stabil dalam penerbangannya. Terkadang ia terlihat seperti uring-uringan begitu layang-layangnya sulit untuk dikendalikan. Tapi di saat lain, ketika layang-layangnya stabil dalam penerbangannya, wajahnya tampak sumringah meskipun saban hari tak mengenal air untuk mencuci muka.

Layang-layang itu berhiaskan lentera kaca berwarna hijau yang tampak elok dan nyaman untuk dipandang. Apalagi di dalamnya, dalam pandangan Sida Nglamong, terdapat seorang putri jelita yang seakan menunggu untuk dipinang. Yang karenanya, semakin menambah keterpesonaan dan kegilaan Sida Nglamong.

Lelayangan pinancer ing damar kurung/ Cahyane pandam nelahi/ Sorote dinulu mancur/ Pandamare gedhah wilis/ Ing jro putri ayu                                      

Tanpa tandhing Sang Retna ing warnanipun / Cahyane gung ngebaki bumi            / Nadyan tambange mancur/ Kasenenan sang sudewi/ Marmane Ki Sida Nglamong                                          

Saya ngengleng polahe wong kumprung/ Kewuh anggennya anarik / Wus andhap nuli mandhuwur/ Undure sarya ngesemi/ Ki Sida Nglamong jedhodhok           

Layang-layang dihiasi lentera/ Cahyanya bersinar menerangi/ Biasnya terlihat memancar/ Lentera itu berkaca hijau/ Di dalamnya putri jelita

Baca juga:  Marxisme dan Wayang Purwa

Yang tiada tara kecantikanya/ Cahyanya agung merebaki bumi/ Meski benangnya berkilauan/ Tersinari Sang Dewi/ Makanya Ki Sida Nglamong

Semakin melamun bertingkah sinting/ Sukar ia menariknya/ Sudah turun kembali meninggi/ Melayang seraya tersenyum/ Ki Sida Nglamong ngungun

Seorang salik atau pelaku suluk lazimnya perlu untuk menyendiri beberapa waktu, menghindari hiruk-pikuk duniawi. Ia perlu untuk mendisiplinkan diri, tenggelam dalam proses penempaan diri. Ia mesti membuktikan beberapa kabar yang selama ini, sebelum mendalami tasawuf, bersifat informatif belaka dimana iman yang ditimbulkannya berada pada tahap ‘anul yaqin dan imanul yaqin. Iman dalam bentuknya yang pertama dan kedua itu merupakan tingkatan imannya orang-orang awam dan orang-orang khusus yang memerlukan perantara lain untuk membuatnya tumbuh. Misalnya, kitab-kitab suci, seruan-seruan para agamawan, penalaran dalam studi teologi, dst.

Sementara apa yang sedang diupayakan oleh Sida Nglamong, dengan perlambang bermain layang-layang, adalah sebuah proses sekaligus efek yang mungkin ditimbulkan oleh sebentuk suluk dalam arti laku rohani untuk membuktikan sendiri atau memperoleh iman yang pungkasan: haqqul yaqin. Iman sejenis ini tak memerlukan lagi perantara, karena semuanya tak lagi bersifat pengabaran dan penafsiran atas pengabaran itu dimana pada akhirnya diri kita sendirilah yang membatasinya dan karena itu masih bersifat sepihak. Dalam istilah saya, ‘anul yaqin adalah hasil dari tahap benere dhewe, imanul yaqin adalah tahap benere wong, dan haqqul yaqin adalah benering bener dimana orang yang bersangkutan sudah tak memerlukan lagi adanya saksi dan bukti (Logika Pasca Ruang, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id.).

Layang-layang yang dimainkan oleh Nglamong merupakan perlambang atas angan, dimana oleh al-Ghazali dimaknai sebagai hati yang belum manggon atau bersifat bolak-balik, mudah berubah, dan bingung sebagaimana pengertian “taqalluban” yang selama ini dikandung oleh makna “qalbu” (Perjumpaan di Pasar dan Hati yang Terbolak-Balik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Sementara, kebiasaannya untuk mengikal dan mengulur benang adalah sebuah mujahadah untuk tenggelam ke dalam wiridan sampai kata-kata pun hanya menjelma seperti untaian nada yang sudah tak lagi memerlukan makna yang pada dasarnya dirancang oleh pikiran kita sendiri. Sebab, dalil paling mendasar di sini adalah tak ada yang tahu Tuhan kecuali Tuhan itu sendiri. Dengan kata lain, dalam logika Nglamong, tugas manusia adalah ibarat membersihkan rumah agar, siapa tahu, sang tamu agung berkenan untuk singgah sesuai hadis qudsi yang pernah disitir oleh al-Ghazali, “Hati orang beriman adalah rumah Tuhan.”

Atas dalil bahwa hanya Tuhanlah yang Tahu tentang diriNya sendiri tersebut, maka yang dapat dilakukan oleh seorang salik hanyalah mengupayakan bagaimana sang tamu agung menyingkapkan diriNya sendiri. Ketika sang tamu agung berkenan hadir, pada sebuah rumah yang tentuNya diperkenankanNya, ketika itu pula orang itu dikatakan tengah “ditarik” oleh Tuhan sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Qur’an di surat al-Syura: 13, “Allahu yajtabi ilaihi mayyasyaa’u wayahdi ilaihi mayyunib.” Di sinilah kemudian pengertian jadzab sebagai sebentuk fenomena psikologis dalam jagat tasawuf dan tarekat diturunkan.

Baca juga:  Pangeran Katon

Apa yang dialami oleh Sida Nglamong, dalam jagat tarekat, dikenal dengan istilah “jadzab.” Ada dua pengertian jadzab yang selama ini berkembang di lingkungan pesantren (Menyingkap Jadzab, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Pertama, jadzab dalam arti “nyleneh” atau eksentrik dimana perilaku, kebiasaan-kebiasaan dan pemikiran orang-orang yang dikategorikan sebagai “jadzab” tak lagi umum atau tak sebagaimana asosiasi orang selama ini tentang sosok orang yang bersangkutan. Seumpamanya, seorang kyai yang saban hari berbusana tak seperti asosiasi orang selama ini tentang sosok kyai yang biasanya berjubah dan bersorban. Dalam pengertian ini Sunan Kalijaga adalah sesosok majdzub atau orang yang jadzab di antara para wali lainnya yang lekat dengan jubah dan sorban.

Sementara, dalam jagat tasawuf dan tarekat, istilah jadzab lebih mengacu pada fenomena psikologis tertentu. Konon, para majdzub adalah orang-orang yang secara khusus ditarik oleh Allah. Begawan Bima Suci dalam kisah pewayangan Jawa adalah sesosok majdzub dalam pengertian ini. Ia tak lagi menyembah pada apapun sehingga secara sosial dikategorikan sebagai “gila.” Ketika orang tak lagi menyembah pada apapun, maka tak ada satu pun aturan yang berlaku pada dirinya. Karena itulah orang-orang yang tengah mengalami jadzab, secara sosial, disamakan dengan orang “gila” yang sama-sama merdeka dari hukum, baik hukum agama maupun hukum positif.

“Penarikan” ini sudah pasti menyebabkan sebuah goncangan kejiwaan dimana lazimnya para majdzubin akan tak lagi berfungsi akal sebagai sumber kesadaran insaniahnya. Ibaratkan orang yang tengah tertidur lelap, kemudian sekonyong-konyong kita membangunkannya, sudah pasti orang tersebut akan geragapan dan barangkali akan nylemong ataupun bertingkah di luar kebiasaan (khariqul ‘adah).

Dengan demikian, bagi saya, Suluk Sida Nglamong, adalah sebentuk karya sastra suluk yang menggambarkan keadaan orang-orang yang tengah melakoni sebuah suluk dalam arti yang sesungguhnya. Muara dari suluk yang dilakoni oleh Sida Nglamong tersebut adalah berdiam di maqam baqa, atau dengan istilah khusus dalam tasawuf, apa yang dipetik oleh Sida Nglamong adalah mengalami sebuah keadaan yang dikenal sebagai “baqa’ ba’dal fana’.”                                   

Saya sanget amesu pangikalipun/ Durgama gung sirna gusis/ Tan ana patah kadulu/ Langit sumilak baresih/ Lelayangan nuli anjok                                                           

Pan sumilak tumeja anguwung-uwung/ Cahyane ngebaki bumi/ Alinggih ing pandam murup/ Leng-leng mangu aningali/ Swuh rempu Ki Sida Nglamong                                         

Sasolahe Ki Sida Nglamong pan tumut/ Yen mesem melu ngesemi/ Dinulu wales andulu/ Ing sasolah datan keri/ Nanging meksih radi adoh                     

Wentarane tebihira sak penggayuh/ Sangsaya leng-leng ningali/ Sida Nglamong gennya dulu/ Tambangnya tinarik malih/ Sampyuh lan Sida Nglamong                                      

Sirna luluh Sida Nglamong tan kena dulu/ Sang Retna datan kaeksi            / Marang endi kalihipun/ Deneta nora udani/ Andhandhang kudu yun weruh  

Semakin berkonsentrasi mengikal/ Godaan lantas sirna tak berbekas/ Tiada sedikitpun tampak/ Langit tersibak bersih/ Layang-layang lalu turun

Langit tersibak berpendar terang/ Cahyanya merebaki bumi/ Duduk di suar yang berpijar/ Terkesima dalam meningkap/ Sirna remuk Ki Sida Nglamong

Seulah-tingkahnya diikuti/ Kalau tersenyum ikut tersenyum/ Dilihat balas melihat/ Dalam setiap ulah tak ketinggalan/ Namun masih agak jauh

Jarak jauhnya sejengkal/ Semakin mengguguk terkesima/ Sida Nglamong dalam melihat/ Benangnya ditarik kembali/ Sampyuh bersama Sida Nglamong

Sida Nglamong sirna melenyap/ Sang Putri pun tiada tertingkap/ Kemanakah keduanya?/ Jika tiada mengetahui/ Semestinya mendandang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top