Dhasar karoban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti pedah apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembenging beka
—Serat Kalatidha, Ronggawarsita
Banyak ahli mengatakan bahwa kita tengah hidup di era post-truth. Penandanya adalah munculnya kepercayaan-kepercayaan yang didasarkan pada hoaks, ujaran-ujaran kebencian, fitnah, dan seterusnya.
Hal-hal yang tak memerlukan cross-check ataupun klarifikasi lebih lanjut ini kerap dianggap sebagai sebuah kebenaran. Akhirnya, banyak tatanan dan ukuran dalam kehidupan yang tak lagi tegak dan terasa semena-mena.
Namun, sebenarnya era post-truth atau pascakebenaran ini sudah pernah terjadi sejak lama. Pujangga terakbar Jawa, R.Ng. Ronggawarsita, pernah menggambarkan sepotong zaman yang memiliki kesamaan pola dan suasana dengan apa yang kini disebut sebagai zaman pascakebenaran.
Serat Kalatidha ditulis pada saat sang pujangganya sendiri menjadi korban dari hoaks, ujaran-ujaran kebencian, dan fitnah tersebut. “Kalatidha” secara harfiah bermakna sebagai zaman keraguan.
Ketika menulis serat yang kalangan awam cukup karib dengan salah satu istilah di dalamnya, “zaman edan,” Ronggawarsita tengah mengalami suasana ambang terkait dengan kabar bahwa pangkatnya sebagai abdi dalem di Kasunanan Surakarta Hadiningrat akan dinaikkan.
Serat Kalatidha ini terdiri dari 12 metrum yang kesemua metrumnya bermetrumkan Sinom. Umumnya, tembang yang bermetrumkan Sinom sarat dengan suasana yang penuh pengharapan laiknya konotasi masa muda ataupun tunas dedaunan.
Namun, ternyata Serat Kalatidha sarat dengan suasana kemurungan atau justru putus harapan. Serat ini ditulis di sekitar tahun 1860 atau 30 tahun sesudah Perang Jawa berakhir atau 13 tahun sebelum Ronggawarsita meninggal dunia.
Dengan demikian, saat menulis Serat Kalatidha, usia Ronggawarsita diperkirakan sekitar 58 tahun.
Dasar terbakar kabar
Kabar angin penuh dusta
Diharapkan menjadi seorang pemuka
Tapi justru ditinggal
Ketika dipikir yang dalam
Tak ada gunanya di muka
Segala keluputan membumbung
Basah oleh air kelalaian
Ketika tumbuh pun menjadi gumpalan lara
Banyak yang mengatakan bahwa Ronggawarsita dianggap telah memudarkan pamor sang raja ketika itu. Nama dan karyanya tak sekedar bergema di dalam tembok istana, namun juga bergaung di luar tembok istana—seolah menjadi mantra-mantra suci bagi kalangan bawah.
Karena itulah ada yang menduga bahwa karier seorang Ronggawarsita berupaya dimatikan. Konon, keterlibatan ayahnya, Mas Pajangswara, dalam pemberontakan Dipanegara digunakan sebagai alasan oleh pihak penguasa untuk memudarkan pengaruh dan otoritasnya, menyingkirkan kontribusinya.
Di sinilah keterlibatan para sarjana Belanda atas kemasyhuran seorang Ronggawarsita tak dapat disepelekan. Ronggawarsita sendiri telah menjalin hubungan dengan para sarjana Belanda sejak lama.
Tercatat, ia merupakan guru dari seorang C.F. Winter yang kelak makamnya ikut dipindahkan ke kompleks pemakaman sang pujangga di Desa Palar, Trucuk, Klaten.
Hubungan para sarjana Belanda dengan orang-orang Nusantara memang terkesan ambigu. Di satu sisi, mereka memiliki motif politis di balik segala upayanya untuk mengetahui dan mendokumentasikan kebudayaan Jawa.
Namun, di sisi lain, banyak orang-orang Jawa yang berbakat ikut terselamatkan ketika mereka berupaya dibenamkan di negerinya sendiri.
Inilah yang membuat seorang Ronggawarsita, terkadang, memilih bersikap mupus pepesthening takdir dan secara khusus tak frontal dalam menyikapi penjajahan Belanda. Hal itu ia lakukan mengingat di negerinya sendiri ia juga dibenamkan dan dipersulit untuk mengembangkan diri.
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang nartani
Ing alam awal akir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadipundi
Mila mugi wontena pitulung Tuwan
Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aru-ara
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malatsih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawatawis
Borong angga suwarga mesi martaya
Memang, tumbuh sebagai seorang yang penuh bakat membuat Ronggawarsita tak selamanya gampang untuk berkembang.
Ketika remaja ia pun sempat menjadi “pesaing laten” sang kiai di pesantren Gebang Tinatar yang akhirnya menyebabkan ia terusir dan terbuang. Meski, pada akhirnya sang kiai kembali mencarinya dan memperlakukannya secara berbeda (Gebang Tinatar dan Gelar Santri Di Balik Nama Besar Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id).
Karena hal itulah, saya kira, Ronggawarsita merupakan satu representasi dari muslim Jawa yang berdiri di ruang ambang. Pendahulunya jelas adalah Pangeran Dipanegara sendiri.
Kisah perpecahan antara Kiai Mojo dan Dipanegara adalah bukti tentang tak sepenuhnya diakuinya posisi keislaman para ningrat Jawa atau bahkan muslim Jawa pada umumnya, sebagaimana juga penolakan pesantren Gebang Tinatar pada sosok Ki Tanujaya, abdi dari Bagus Burham atau Ronggawarsita muda.
Sebagai pendahulu Ronggawarsita, Pangeran Dipanegara juga berdiri di ruang ambang antara kejawen dan Islam sufistik (Yang Menyangga, Yang Tak Terbaca: Mengulik Sejarah Minor Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Posisi seperti ini pun sebenarnya tak pula dapat dikatakan sebagai kejawen sepenuhnya.
Bukankah Dipanegara juga pernah menahbiskan dirinya sebagai seorang raja yang bergelar Sang Heru Cokro, yang otomatis tak mengakui otoritas raja formal keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, kemenakannya sendiri itu?
Bukankah kisah pedih pembenaman Ronggawarsita dapat pula dibaca sebagai bukti atas tak sepenuhnya ia diterima oleh lingkungan keraton?
Bukankah pernah terjadi perdebatan soal kematian sang pujangga Jawa terakbar itu, antara dihukum mati oleh pihak penguasa dan kelebihannya terkait dengan nujuman waktu kematiannya sendiri secara tepat (weruh sakdurunge winarah)?
Saya memaknai posisi ambang tersebut, antara kejawen dan Islam sufistik atau yang lazim disebut sebagai “Islam Abangan,” sebagai posisi “hayyun fiddaraini” sebagaimana yang disematkan pada sosok Sunan Kalijaga.
Secara harfiah, hayyun fiddaraini bermakna hidup di dua alam, dunia dan akhirat. Atau kepercayaan bahwa para wali dan orang-orang saleh tak benar-benar meninggal dunia meskipun telah menanggalkan dunia yang akhirnya melahirkan kepercayaan tentang adanya “al-Ghauts.”
Namun demikian, bagi saya, atas tilikan kiprah historis Dipanegara dan Ronggawarsita, status hidup di dua alam ini dapat dimaknai bahwa mereka hidup di ruang ambang antara kejawen dan Islam sufistik.
Bagi sebagian kalangan kejawen sendiri, sebagaimana Sunan Kalijaga pula, mereka diakui dan diterima. Sementara, bagi yang lainnya, mereka tak diakui dan ditolak karena masih menampakkan jejak keislaman. Entah itu dalam pengalaman hidup sebagai santri atau kosakata-kosakata Arab yang berserakan dalam karya maupun wejangan-wejangan yang ditilarkan.
Sebagaimana juga eksistensi dan kiprah Sunan Kalijaga yang diakui dan diterima oleh sebagian kalangan muslim. Baik Dipanegara maupun Ronggawarsita tak sepenuhnya ditolak dan justru disejajarkan dengan para sufi.
Keduanya, dari berbagai bukti yang ada, adalah para penganut tarekat Syattariyah yang menurut Martin Van Bruinessen merupakan tarekat yang paling mempribumi di Nusantara (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, 1995).
Dengan demikian, bagi saya, posisi seorang Ronggawarsita, dan tentunya pendahulunya, Pangeran Dipanegara, adalah varian khusus yang tak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai representasi baik Islam pesantren maupun kejawen keraton.
Bukankah makam Dipanegara sendiri tak sebagaimana para ningrat Jawa yang terkumpul di Imogiri?
Bukankah makam Ronggawarsita sendiri tergolek di pelosok desa, di Palar, Trucuk, Klaten, yang jauh dari istana? (SI)