Sedang Membaca
Alam Kajiman dan Kelembaban
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Alam Kajiman dan Kelembaban

Ketika menjadi petani saya suka sekali dengan istilah PH yang kerap dikotbahkan oleh para penyuluh pertanian. Konon PH ini berkaitan dengan tingkat kelembaban tanah dimana cukup memengaruhi beberapa tanaman yang hendak kita tanam.

PH sendiri merupakan singkatan dari potential of hydrogen, sebuah ukuran kelembaban tanah dimana semakin lembab sebidang tanah, maka semakin asam pula tanah itu sehingga tanaman yang mesti ditanamkan adalah yang sesuai dengannya. Jadi, seumpamanya kita hendak menanam ubi-ubian tak akan mungkin tumbuh ketika ditanam di tanah-tanah pesisiran pantai, karena kadar keasaman atau kelembabannya tinggi yang tak memungkinkan ubi-ubian itu dapat menyerap unsur hara dalam tanahnya yang bergambut.

Dengan demikian, tepatlah pepatah yang menyatakan dimana Bumi dipijak di situlah langit dijunjung. Barangkali, hal inilah yang dinamakan sebagai berjodoh. Jadi, seumpamanya tanaman-tanaman yang kita tanam tak tumbuh dan berkembang cukup memuaskan, atau bahkan sama sekali tak bertumbuh, maka letak kesalahan bukanlah pada si tanah yang kita tanami. Namun barangkali adalah jenis tanaman yang coba kita tanam yang tak berjodoh dengan tanahnya.

Pertanian tak pelak lagi menyediakan segudang pelajaran hidup, mulai dari penyesuaian jenis tanaman, cara menanam, hingga letak sebuah kesuksesan dimana tanaman dengan hasil yang berkualitas menjadi ukurannya. Di sinilah seorang petani ibarat orang yang tengah berumahtangga. Sebidang atau bahkan berbidang-bidang tanah adalah serupa isteri yang menunggu untuk diolah atau dimanfaatkan demi kepentingan bersama. Bukankah ketika seorang petani mampu menghasilkan tanaman dan hasilnya secara berkualitas otomatis si tanah juga terawat dengan baik? Konon karena hal inilah dalam konsep pertanian agroekologis alam merupakan mitra dari para petani sebagaimana dalam pertanian tradisional, dan bukannya semata obyek cangkulan sebagaimana dalam konsep pertanian industri atau modern.

Baca juga:  Ronggawarsita: “Kiri” yang Bukan “Kiri”

Dahulu saya pun pernah banyak belajar mencangkul yang ternyata cukup banyak seni dan gayanya, tergantung obyek cangkulan dan tujuan mencangkulnya. Seumpamanya gaya cangkulan untuk keperluan menanam jagung yang tentu berbeda dengan gaya cangkulan untuk keperluan memperbarui atau memperbaiki pematang sawah. Akan berdampak cukup radikal ketika menggunakan gaya cangkulan penyiapan penanaman jagung pada pematang sawah seusai panen yang memerlukan kebasahan, kehalusan rasa dan ketepatan intuisi sebagaimana menulis sajak. Demikian pula akan cukup berbeda nuansanya ketika menggunakan gaya cangkulan perbaikan pematang sawah pada penyiapan tanah untuk menanam jagung.

Namun kali ini saya tak akan membahas pertanian dan pertaliannya dengan kehidupan. PH atau potential hydrogen ternyata juga erat kaitannya dengan apa yang dalam bahasa agama disebut sebagai jin. Konon, jin-jin itu lebih memilih tempat-tempat yang lembab seperti kamar mandi, sungai atau bahkan lautan.

Dahulu terdapat sebuah film yang berjudul Jeany dimana karakter utamanya adalah sesosok jin perempuan. Meskipun kocak, film ini saya kira cukup representatif untuk melukiskan jin: usil dan feminin. Kedekatan jin dengan perempuan memang sudah terlihat dari kata atau istilah jin itu sendiri, yang dalam kamus bahasa Arab kerap dikaitkan dengan istilah “ijtinan” yang berarti tersembunyi dimana tentunya sangat bernuansa feminin.

Tak jauh berbeda, mitologi Jawa juga melekatkan jin itu dengan citra perempuan. Dalam pewayangan Jawa eksistensi jin tak dapat dilepaskan dari sesosok Bathari Uma, atau di India disebut sebagai Parwati, yang menolak dan berontak untuk meladeni syahwat sang pemimpin dewata, Bathara Guru.

Baca juga:  Menghikmati Resonansi dari Terjemahan Jawa Surat Phatikhah

Di saat mereka—Bathara Guru dan Bathari Uma—nganglang jagat atau mengangkasa dengan menunggangi Lembu Andini, tiba-tiba kembang-kempislah tenggorokan Sang Hyang Guru karena menelan ludah berahi—yang karenanya kelak sang penguasa Triloka ini juga digelari sebagai Sang Hyang Nilakantha atau dewa yang tenggorokannya berwarna biru sebagai simbol belum lepasnya ia dari jerat syahwat sebagai kutukan Bathari Uma. Tapi Bathari Uma menolak dengan keras permintaan Bathari Guru untuk melepaskan syahwat. Akhirnya, di saat masturbasi, sperma Bathara Guru pun tumpah ke lautan dan menjelma sesosok raksasa wengis yang kemudian diberi nama Bathara Kala.

Atas penolakan dan pemberontakan itu Bathari Uma pun dikutuk oleh Bathara Guru menjadi raseksi atau raksasa perempuan yang buruk rupa. Bathari Uma pun dibuang untuk memimpin kekuatan jahat di dunia ini. Ia kemudian bergelar sebagai Durga, sang ratu kejahatan, dan bermukim di Pasetran Gandamayit atau padang yang berbau busuk. Ironisnya, dalam kisah-kisah pewayangan Jawa, seusai dibuang Bathari Uma justru tak lagi cukup berintegritas atas berbagai kode moral kadewatan seperti masalah seks, ia kerap bersanggama dengan siapa pun yang ia sukai, tak terkecuali dengan anak buahnya sendiri yang semuanya merepresentasikan kejahatan, Bathara Kala, Buta Terong, Banaspati, dst.

Dalam kisah pewayangan Jawa jin, yang asal usulnya tak dapat dilepaskan dari drama seksual Bathari Uma, ternyata juga bersifat ambivalen. Di satu sisi, ketika masih menjadi Bathara Uma, ia cukup radikal dalam menjaga kesucian itu. Tapi di sisi lain, saat menjadi Durga, ia justru mengumbar hal-hal yang secara moral dianggap kotor. Bukankah dalam bahasa agama jin pun dimaknai sebagai ada yang saleh dan ada pula yang inkar?

Baca juga:  Khilafah Versus Gula Klapa

Yang bagi saya cukup baru, yang barangkali tak dapat ditemukan dalam tradisi agama-agama, entah baik ataupun buruk, entah saleh ataupun inkar, jin itu tetap merujuk pada satu karakter yang memiliki dua sisi: Uma ketika suci (tinggi) dan Durga ketika kotor (rendah). Kedua nama dan kondisi ini sama-sama mengacu pada sang isteri Bathara Guru. Sementara dalam bahasa agama jin itu terdiri dari dua golongan, golongan yang saleh dan golongan yang inkar.

Ketika dilihat dari perspektif Semar, yang merupakan representasi dari pola pikir kapitayan, akan cukup pelik ketika meletakkan kebaikan dan kejahatan sekaligus. Dalam teologi Abrahamik minus sufisme atau mistisismenya, kebaikan dan kejahatan itu adalah berlawanan. Masalahnya kemudian, dengan teologi linear semacam itu, di manakah kemudian letak Tuhan, di ranah kebaikan atau kejahatan?

Konon teodise atau teologi tentang keadilan Tuhan lahir dari sengkarut paradoks semacam itu. Ketika benar bahwa Tuhan itu Maha Adil, mengapa mesti ada kejahatan di dunia ini? Bukankah berarti di sini Tuhan itu memiliki musuh? Logiskah ketika Tuhan yang sering dicitrakan tak terbandingkan memiliki musuh? Ketika Tuhan dianggap memiliki musuh, bukankah ia tak lagi Tuhan?

Semar, yang secara kasatmata hanyalah seorang kawula yang bermukim di desa (Karang Kadhempel), yang tentunya juga akrab dengan sawah dan ladang laiknya petani, sadar betul bahwa ketika malapetaka seperti gagal panen datang, masalahnya bukanlah terletak pada si tanah. Bagaimana pun tanah itu tetap satu tak peduli apa atau siapa yang menginjak-injaknya, apa atau siapa yang menisbahkan padanya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top