Terlepas dari urgensinya, tidak ada materi dalam pendidikan formal kita yang mengajarkan tentang parenting. Ilmu tentang pengasuhan itu biasanya secara informal kita dapat dari orang tua kita atau dari orang-orang yang lebih tua di lingkungan kita. Belakangan ini, kita memang sering mendengar tentang berbagai seminar atau lokakarya bertema parenting. Artinya, kesadaran masyarakat—terutama masyarakat menengah ke atas yang juga berpendidikan baik—mengenai pentingnya parenting semakin meningkat. Itu jika kita bicara tentang masyarakat menengah ke atas dan terdidik hari ini. Bagaimana dengan masyarakat pada jaman dahulu, ketika taraf hidup dan pendidikan masyarakat kita masih rendah?
Ketika membaca buku autobiografi KH Saifuddin Zuhri, yang berjudul “Guruku Orang-orang dari Pesantren”, saya menemukan tips parenting dari Sang Kyai. Sebagai informasi, KH Saifuddin Zuhri adalah tokoh Nahdlatul Ulama sekaligus mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada masa Orde Lama, yang menjabat pada tahun 1962-1966. Jasa Sang Kyai yang dilahirkan pada tahun 1919 dan wafat pada tahun 1986 itu sedemikian besar, sehingga namanya diabadikan sebagai nama universitas Islam negeri di Purwokerto, yaitu Universitas Islam Negeri Prof. KH Saifuddin Zuhri. Menilik masa hidup Kyai Saifuddin, terutama masa pengabdiannya sebagai guru—yaitu akhir 1930-an, memungkinkan kita membayangkan masyarakat seperti apa yang hidup pada jaman itu dalam takaran taraf hidup dan pendidikan. Tentu saja jaman itu masih merupakan jaman yang serba susah.
Sebetulnya, Kyai Saifuddin sedang menguraikan tentang pengalamannya menjadi seorang guru ketika ia memaparkan tips-tips tersebut. Diceritakan bahwa salah satu hal yang dijalani Kyai Saifuddin sebagai seorang guru yaitu memberikan materi tentang parenting kepada para wali murid dari siswa-siswa yang belajar di madrasahnya. Hal tersebut didasari kesadaran bahwa parenting merupakan hal vital tetapi tidak diajarkan secara formal kepada setiap calon orang tua. Lebih lanjut, wali murid dianggap harus memahami parenting karena keluarga sejatinya merupakan lembaga pendidikan yang utama bagi seorang anak; mengingat waktu belajar di sekolah atau madrasah hanya terbatas beberapa jam saja.
Konsep parenting dari KH Saifuddin Zuhri berkenaan dengan pembagian waktu kegiatan seorang anak selepas mereka pulang dari sekolah. Di dalamnya, Kyai Saifuddin mengatakan bahwa waktu seorang anak selama di rumah hendaknya dibagi menjadi empat, yaitu: waktu untuk bermain-main, waktu untuk membantu pekerjaan orang tua, waktu untuk belajar, dan waktu untuk istirahat.
Menurut Kyai Saifuddin, bermain bagi anak-anak merupakan faktor signifikan dalam pertumbuhan fisik dan mental mereka. Dikatakan bahwa bermain dengan teman-teman sebaya membantu seorang anak untuk membiasakan diri menghadapi orang-orang dengan karakter yang beraneka ragam serta dapat membangun jiwa kompetitif. Lebih lanjut, dikemukakan pula bahwa orang tua harus tetap mengawasi kegiatan bermain anak-anaknya, agar tidak menjurus pada bahaya dan perbuatan tidak senonoh. Meskipun demikian, orang tua hendaknya tidak protektif berlebihan ketika anak-anaknya bermain-main yang mengandung resiko.
Sikap protektif berlebihan dikhawatirkan membuat seorang anak menjadi orang yang takut mengambil resiko dan tidak memiliki semangat juang. Biarkan mereka bermain, tetapi bekali mereka dengan pemahaman tentang kehati-hatian dan keselamatan. Kyai Saifuddin memberikan contoh dari pengalaman masa kecilnya ketika memanjat pohon. Ayahnya tidak melarang memanjat pohon, tetapi ia diberi tahu bagaimana cara memanjat pohon secara aman; misalnya dengan memperhatikan kekuatan dahan yang menjadi pijakan.
Anak-anak perlu diperkenalkan dengan dunia bekerja, salah satu caranya yaitu dengan dilibatkan dalam pekerjaan orang tua mereka. Sebagai contoh yaitu ikut membantu pekerjaan di sawah atau berjualan di pasar. Tujuannya bukan untuk mempekerjakan anak-anak, tetapi untuk mendidik agar mereka mencintai pekerjaan. Sikap mental yang diharapkan tumbuh dari kegiatan membantu pekerjaan orang tua yaitu pandangan bahwa bekerja merupakan perbuatan yang mulia; sebaliknya, menganggur tidak baik serta membuat seseorang menjadi beban bagi masyarakat. Terkait dengan membantu pekerjaan orang tua, Kyai Saifuddin menceritakan pengalaman masa kecilnya, yaitu ketika ia terbiasa membantu ayahnya mengurus kuda peliharaan serta membantu ibunya membatik.
Waktu anak-anak untuk belajar pada dasarnya memang ketika mereka berada di sekolah atau madrasah. Namun, mereka perlu mengulang serta menelaah kembali materi pelajaran yang mereka dapat di sekolah ketika mereka di rumah, agar materi itu lebih menempel di kepala. Kyai Saifuddin mengibaratkan ilmu sebagai permata; semakin berkilau jika sering digosok. Ditambahkannya bahwa meskipun seorang anak demikian cerdasnya sehingga ia mudah mengingat semua pelajaran di sekolah, anak tersebut harus tetap dibiasakan mengulang pelajaran di rumahnya.
Hal tersebut bertujuan agar ia tidak besar kepala dengan kecerdasannya serta tidak meremehkan sesuatu urusan. Di samping untuk mengulang pelajaran, waktu belajar di rumah juga digunakan untuk terus menggali pengetahuan baru, untuk mencari pertanyaan-pertanyaan baru dari materi yang sudah diajarkan, yang kemudian dapat ditanyakan kepada orang tua atau guru. Kyai Saifuddin menekankan bahwa bertanya adalah kunci pengetahuan.
Setelah semua kegiatan yang dijalani, anak-anak tentu saja memerlukan waktu untuk istirahat. Kyai Saifuddin mengungkapkan bahwa istirahat merupakan hal yang sederhana, tetapi tidak boleh disepelekan. Orang tua harus memperhatikan betul bahwa anak-anaknya mendapatkan waktu istirahat yang cukup, terutama tidur. Diceritakan bahwa Kyai Saifuddin mempunyai pengalaman ketiduran di siang hari karena kekurangan jam tidur di malam harinya. Ditambahkan pula bahwa istirahat bukan hanya berarti tidur atau berdiam diri, tetapi mencakup kegiatan lain di luar pekerjaan rutin yang membuat penat. Contohnya yaitu kegiatan Kyai Saifuddin sewaktu kecil berupa membersihkan sepeda dan bercengkrama dengan asisten rumah tangganya.
Konsep parenting yang diuraikan dalam autobiografi tersebut mungkin bukan hal yang istimewa bagi sebagian kita, terutama dari golongan menengah ke atas nan terdidik. Namun, dengan melihat konteks masyarakat pada waktu Kyai Saifuddin mengajarkan tips parenting tersebut, yaitu tahun 1930-an—ketika jaman masih serba susah, konsep tersebut menjadi istimewa. Tentu suatu kebijaksanaan yang patut dicatat bahwa seorang kyai yang hidup pada jaman perjuangan dapat merumuskan konsep pengasuhan yang praktis, yang relatif mudah diterapkan oleh orang tua manapun.