Sedang Membaca
Wikulokika, Ulama Su’ dalam Sastra Sunda Kuna
Hady Prastya
Penulis Kolom

Pembaca Haji Hasan Mustapa, Asisten di Toekang Saéh Daluang. Lahir di Gununghalu. Tamatan SMKI Bandung (SMK Negeri 10 Bandung) jurusan Karawitan. Pernah kuliah di jurusan Arsitektur dan jurusan Bahasa Daerah UPI, namun keduanya tidak diselesaikan. Sehari-hari menikmati suasana kampung di desa Bojong, kecamatan Rongga, kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Wikulokika, Ulama Su’ dalam Sastra Sunda Kuna

Naskah Kuno 20170915 112645

Sepertinya menjadi ijma di tatar Nusantara menautkan air dengan sifat manusia. Dalam petuah Melayu kita diwasiati agar tidak “becermin di air keruh”. Dalam naskah sunda kuna dari abad ke-15 Sanghyang Siksa Kandang Karesian, begini kitu kéh janma ayeuna, begitu pula manusia, upama urang mandi, cai pitemu urang héngan ta cai dwa pilihaneunna, ibarat kita mandi, tapi air yang akan kita temukan hanya dua pilihan, yakni: nu keruh deungeun nu hérang, yang keruh dan yang bening. Kitu kéhna twah janma, dwa nu kapakenaken, begitu pula prilaku manusia, terdiri dari dua nu gocé deungun nu rampés, yang baik dan yang buruk.

Tapi terusan dari penggalan di atas menyebutkan bahwasanya manusia itu“kapahayu ku twah nu mahayu inya” baik karena perbuatan baik dirinya, begitu juga sebaliknya di Siksa Kandang disebutkan manusia menjadi buruk karena perbuatannya. Jika kita menggunakan paham kebalikan, di sini tersirat bahwa air–yang di zaman sekarang kita anggap benda mati–dalam benak orang Sunda dahulu memiliki energi tertentu. Jadi yang membuat manusia menjadi kotor itu bukan hanya karena ia memilih air yang keruh, di sana tersirat seakan ada “kehendak” sang air keruh yang menjadikan manusia menjadi kotor. Dan ada “kehendak”  air yang bening bening yang membuat manusia menjadi bersih.

Ini diperkuat dalam paragraf selanjutnya:

“Kitu kéh cai mana dipajar dwa piliheun ma, banyu asrep lawan hening ma inya sanghyang darmawisésa nya nu dilakukeun ku mahapandita. Nu banyu hangker lawan letuh ma inya na rasacarita nu dilakukeun ku na sang wikulokika paramarta kabéh.

Oleh karena itu dikatakan air memiliki dua pilihan (pertama) air sejuk dan bening yakni sanghyang darmawisésa, itulah laku mahapandita. (Kedua) air suram dan keruh yakni rasacarita, itulah laku wikulokika paramarta semua.

Baca juga:  Kebaya: Elemen Budaya dalam Jejaring Makna

Di sana juga disebut bahwa mahapandita memiliki sifat centa (kesadaran) dan wiku lokika memiliki sifat acenta (ketidaksadaran). Melirik pada bab sebelumnya dalam Siksa Kandang Karesian, telah dijelaskan bahwa yang dimaksud pandita adalah orang yang menguasai berbagai macam pustaka terutama yang berkaitan dengan tata masyarakat dan agama zaman sunda kuna. Saya mengira-ngira bahwa centa (berkesadaran) bagi mahapandita adalah; saking tahu dan hafalnya atas semua ajaran, dia menyadari apa yang dia tahu sehingga pengetahuannya itu terejawantah dalam perilaku hidupnya. Dalam Siksa Kandang cénta dipaparkan secara singkat.

“cénta ma wruh manget tutur tanpa balik lupa.”

cénta adalah tahu, ingat ajaran tanpa melupakannya.

Dalam Siksa Kandang kita diwanti-wanti agar menjauhi wikulokika karena dia tangkal ning sangahara, puhun ning kaliyuga, beuti ning jalir, wwit ning linyok, pangkal kehancuran (dunia), pokok kekacauan, umbi keingkaran, benih kebohongan. Bahkan disebutkan bahwa wikulokika penyebab manusia masuk ke naraka.

Ada yang menarik di mana sang penganggit Siksa Kandang tidak menyebutnya dengan pandita tapi dengan wiku. Wiku cakupannya lebih luas dari pandita, yang bisa dipastikan menguasai teks keagamaan. Wiku adalah orang yang mengabdikan diri pada kehidupan religi, mungkin bisa diterjemahkan menjadi “agamawan”. Sedangkan lokika menurut P.J. Zoetmulder berasal dari bahasa Sankerta laukika yang berarti: duniawi, barang-barang duniawi, keduniawian.

Baca juga:  UU Pesantren, Tradisi, dan Masa Depan Pesantren

Ada dua kemungkinan mengenai wikulokika, pertama orang yang memahami teks keagamaan tetapi tujuannya hanya sekedar untuk memperoleh keuntungan duniawi, mungkin sejenis ‘penjual ayat-ayat tuhan’. Kedua, orang yang sekedar menggunakan simbol-simbol agama, yang bertujuan untuk kepentingan duniawi diri mereka sendiri atau segolongan mereka sendiri, terlepas apakah mereka mumpuni dalam keilmuan ataupun tidak.

Bukan hanya dalam Siksa Kandang, dalam teks sunda kuna lain, Kawih Panyaraman, ada peringatan untuk menjauhi wikulokika. Kawih Panyaraman merupakan, semacam buku nasihat untuk para Sawakadarma, para pembelajar. Di paruh awal Kawih Panyaraman disebutkan.

“Anaking mulah mo yatna-yatna

mulah sia kabawakeun

ku warah wikulokika”

Ananda jangan sampai tidak berhati-hati

janganlah engkau terbawa

oleh petuah wikulokika.

Sanghyang Siksakandang Karesian adalah prosa didaktis yang berisi berbagai aturan, pelajaran, petunjuk religius dan moral. Sejauh ini ada dua naskah yang sampai kepada kita, keduanya tersimpan di Perpustakaan Nasional, dengan kode koropak 630 ditulis di atas daun gebang dan kode koropak 624 yang ditoreh pada daun lontar. Dari kedua bahan naskah yang digunakan memperkuat apa yang disampaikan oleh Siksa Kandang di bagian awal; sebagai pustaka yang diperuntukan pada khalayak banyak “kundangeun urang réa“. Karen dalam Sanghyang Sasana Maha Guru disebutkan, sastra dalam daun gebang dan daun lontar memiliki perbedaan status.

Baca juga:  Ramadan: Dari Rekonsiliasi yang Meleburkan Menuju Rekonsiliasi yang Menyuburkan

“…. Diturunkeun deui, sastra munggu

ring taal, dingaranan ta ya carik, aya éta meunang utama, kénana lain pikabuyutaneun. Diturunkeun deui, sastra

munggu ring gebang, dingaranan ta ya ceumeung. Ini ma inya pikabuyutaneun.”

…. Diturunkan lagi, tulisan di atas daun Iontar, dinamakan carik, ia mendapat

keutamaan karena tidak untuk dikultuskan. Diturunkan lagi, tulisan di atas gebang, dinamakan ceumeung. Inilah yang untuk dikultuskan.

Mohon maaf jika saya keliru, wikulokika mungkin memiliki makna yang sejajar dengan ulama su’. Sebutan untuk ulama atau ilmuwan, yang menggunakan segala keilmuannya hanya untuk memenuhi hasrat duniawi.

Bagi orang awam seperti saya yang belum bisa membedakan mana ulama su’ mana yang bukan tentunya sangat merindukan ulama yang seperti air bening. Air yang bening tidak hanya membawa kesejukan dan ketenangan, jernihnya air selalu menunjukan apa yang ada dalam dirinya sekaligus memudahkan kita untuk bercermin.

Sumber Pustaka:

Siksa Kandang Karesian: Teks dan Terjemahan, oleh Ilham Nurwansah. Jakarta: Perpustakaan Nasional Indonesia, 2019.

Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Transkripsi dan Terjemahan, oleh Saleh Danasasmita dkk. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Budaya Sunda (Sundanologi), 1987.

Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka, Suntingan dan Terjemahan, oleh Aditia Gunawan. Jakarta: Perpustakaan Nasional Indonesia, 2009.

Tata Pustaka: Sebuah Pengantar Terhadap Tradisi Tulis Sunda Kuna, oleh Aditia Gunawan & Atep Kurnia. Jakarta: Perpustakaan Nasional Indonesia, 2019.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top