Santri memiliki kesamaan seperti kebanyakan remaja lainnya dalam segi apapun, bedanya mereka tinggal dalam lingkup pondok pesantren. Nah, ini yang nantinya akan mempengaruhi perkembangan psikologis mereka.
Saya juga seorang santri, di pondok saya sering mengamati bagaimana sikap seseorang berdasarkan apa yang sudah terjadi pada dirinya, bagaimana masa lalunya, atau bagaimana lingkungan tempat dia dibesarkan. Kebanyakan mengeluh karena pola asuh yang kurang baik seperti dituntut menjadi pintar atau dituntut harus menjadi anak baik, dibanding-bandingkan dengan anak lain, dimarahi karena hal sepele, dan dikasih banyak tuntutan sejak kecil.
Mungkin tidak segamblang itu, tapi intinya orang tua suka mengarahkan anaknya untuk menjadi sempurna. Kebanyakan santri juga mengalami masalah serupa. Setiap santri memiliki latar belakang yang unik, termasuk perbedaan dalam kondisi kehidupan mereka, seperti tingkat kecukupan dan kekurangan dalam keluarga. Karena itulah, bisa dikatakan setiap santri memiliki masalah mental masing-masing sebagai akibat dari pola asuh orang tua dan pengaruh latar belakang yang berbeda-beda tersebut.
Faktor-faktor tadi bisa menyebabkan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan mental seorang santri. Santri yang tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan biasanya tumbuh dengan kasih sayang yang cukup dan hidup dalam fasilitas yang memadai, selain itu orang tua mereka cenderung paham akan ilmu parenting sehingga mereka tumbuh dengan pola asuh yang baik, seperti perhatian dan dukungan emosional yang penuh, memberikan kepercayaan diri, dan memberikan dorongan untuk mencapai prestasi.
Sehingga santri yang berada dalam lingkungan seperti itu ketika mondok bisa dengan mudah membaur dengan teman-temannya karena memiliki rasa kepercayaan diri dan mereka tidak mudah merasa cemas akan ditinggalkan atau dikucilkan karena perhatian yang didapat dari orang tuanya sudah dipenuhi.
Sedangkan santri yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang akan kasih sayang biasanya menjadi anak yang tertutup, kurang percaya diri, dan memiliki self-estem (seberapa besar seseorang menghargai, menyukai,dan menilai diri sendiri) yang rendah. Hal ini disebabkan orang tua yang sibuk memenuhi kebutuhan sehari hari sampai lupa bahwa anak juga membutuhkan kasih sayang.
Saya memiliki seorang teman yang sikapnya agak berbeda dengan teman-teman yang lain, dalam circle pertemanannya dia juga dikucilkan dan seringkali tidak dianggap keberadaannya. Saya memutuskan untuk mengajak dia berbicara agar saya bisa sedikit mengerti apa yang terjadi dengannya.
Jadi dia memiliki masa lalu yang kurang menyenangkan, ayahnya pergi merantau dari sejak ia kecil, sedangkan ibunya di rumah tidak terlalu memperhatikan bagaimana perkembangan psikologisnya. Malahan, setiap hari oleh ibunya dia dituntut untuk selalu berperilaku baik, dituntut menjadi dewasa sejak kecil, dituntut untuk pintar, pokoknya dikasih banyak tuntutan jadi ini jadi itu.
Teman-teman di sekolahnya juga turut andil dalam memperburuk keadaan dengan merundung dan mengucilkannya. Kadang dia dituduh atas suatu kejadian yang tidak diketahuinya sama sekali. Misal ada barang yang hilang, teman-temannya menyangka dia pencurinya.
Apalagi dia tidak berani bercerita kepada orang tuannya karena pendapatnya jarang didengar dan emosinya seringkali dianggap tidak penting. Akibatnya dia menjadi trauma dalam menjalin hubungan dengan seseorang dan tidak bisa mengekspresikan emosinya dengan baik.
Padahal, pada kondisi yang demikian, anak-anak harusnya mendapat perhatian, dukungan emosi yang cukup dan respon yang tinggi dari orang tua serta lingkungan sekitarnya sehingga mereka paham bagaimana cara menjalin hubungan dengan orang lain dan tidak mudah takut untuk ditinggalkan. Mereka juga memiliki rasa percaya diri dalam bersosialisasi dan percaya bahwa dunia ini akan memperlakukannya dengan baik.
Setelah tamat sekolah dasar, dia meminta kepada orang tuannya untuk dimasukkan ke pondok pesantren. Nah, di lingkungan pondok pesantren ini psikologis santri bisa mengalami perubahan yang berbeda dibandingkan dengan remaja pada umumnya. Dia mengatakan bahwa setelah mondok dia mulai sadar dengan penyebab trauma masa kecilnya, dan mulai terbuka dengan lingkungan sekitarnya. dia juga menambahkan “saya suka iri melihat interaksi teman-teman dengan orang tuanya yang harmonis, tapi semenjak menyaksikan itu, saya jadi ingin berdamai dan memperbaiki hubungan saya dengan orang tua saya”.
Karena tinggal di pondok pesantren berarti menjadi bagian dari komunitas santri yang erat. Mereka berkesempatan untuk saling mendukung, saling bercerita dan berbagi pengalaman, bisa juga mendapat kasih sayang dan dukungan emosional yang tidak bisa diperoleh dari orang tua.
Selain itu di pondok, santri diajarkan nilai-nilai agama yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman ilmu agama yang mendalam santri akan mengubah pola pikir mereka dan sadar bahwa di dunia ini tidak ada kasih sayang yang sempurna dan cinta yang sempurna selain dari Allah. Dan jika kita hanya berharap kepada Allah maka kita akan bisa lebih menerima apabila masa lalu kita kurang menyenangkan.
“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik pelindung”. (QS. Ali Imron : 173).
Hal yang paling penting dari proses self healing yaitu ikhlas dan menerima apa yang telah terjadi kepada kita dan kita kembalikan semuanya kepada Allah Sang Maha Penguasa. Kembali kepada Allah adalah langkah yang paling efektif untuk mengalami perubahan positif dalam diri kita. Dengan mengambil langkah ini, kita bisa mengubah diri menjadi lebih baik, serta memperbaiki pola pikir yang rusak menjadi lebih baik.
Ketika kita memiliki orientasi hidup yang lebih tinggi dari sekadar hal-hal materi dan duniawi, kita mampu melupakan hal-hal yang bersifat keduniaan, termasuk kesalahan yang dilakukan orang lain terhadap kita, serta masa lalu yang penuh dengan kegagalan dan kesalahan.
Meskipun ada banyak cara lain untuk self-healing atau memperbaiki kondisi mental, seperti terapi, konseling, olahraga, seni, maupun aktivitas lainnya. Tetapi mondok juga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan mental, pendidikan agama yang mendalam dapat memberikan pandangan yang lebih luas tentang kehidupan, menghilangkan depresi, anxiety (kecemasan) dan hopelesness (perasaan putus asa) karena if we really believe, Allah SWT tidak akan pernah meninggalkan kita.