Hilful Fudhul
Penulis Kolom

Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pimpinan Alumni Pondok Pesantren Darul Furqan Kota Bima

PMII dan Kaum Wahabi; Refleksi 59 Tahun Ber-Ahlussunnah Wal Jama’ah

Tidak terasa organisasi mahasiswa yang berhaluan ahlu Sunnah Wal Jama’ah yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sudah berumu 59 tahun. Di dirikan pada tanggal 17 April 1960 oleh panitia kecil yang dibentuk di Yogyakarta dan berhasil mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan PMII. Perjalanan panjang dari mulai berdiri, menghadapi gejolak di internal keluarga besar NU yang saat itu masuk keruang politik praktis sampai memilih untuk independen dalam deklarasi Munarjati.

Lepas dari NU bukan berarti bertolak belakang dengan ajaran, tradisi di NU. Akan tetapi lepas sebagai sebuah organisasi secara administrasi dan bukan secara amaliyah maupun Ideologi. Sebagai organisasi yang lahir untuk mendakwahkan Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah di kampus-kampus, PMII merupakan tameng pembendung paham yang merusak tradisi keberagamaan bangsa Indonesia, mengingat semakin kuat dan meluaskan paham wahabi di Indonesai dan mengancam kehidupan akademis di kampus dengan merekrut mahasiswa, itu bisa kita lihat saat HTI masih menjadi organisasi resmi.

Sebagai organisasi yang jelas arah dan tujuan serta Ideologi ini, akan membentuk pola alamiah organisasi dalam menentukan siapa ‘lawan’ dan siapa ‘kawan’ dalam hal yang prinsipil yaitu dalam dua konteks, konteks bernegara yang sudah final, Pancasila sebagai falsafah hidup dan dasar negara yang wajib dilindungi dari siapapun yang ingin merusaknya. Yang kedua dalam konteks beragama yaitu ajaran Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah mahzab teologis dan manhaj al-fikr dalam ber-PMII. Aswaja menyangkup banyak hal seperti amaliyah, tradisi, dan kelenturan dalam menghadapi tantangan zaman. Ini yang membuat NU dan PMII bertolakbelakang dengan ajaran kaum Islam Fundamentalis, yang menolak sekularisasi, westernisasi dan bahkan modernitas.

Baca juga:  Islamisasi Jawa: Mati Bersama Cahaya

Gerakan Islam Fundamentalis yang dibawa oleh kaum wahabi, meluas dan mendapatkan tempatnya bagi sebagain orang di Indonesia. Mereka masuk dari masjid ke masjid dan dari kampus ke kampus. di kampus, melihat beragamnya background mahasiswa yang tidak terlalu kuat fondasi keagamaannya dilihat dari pendidikan (SMA, SMK, PONPES). Hal ini menuai banyak pukulan telak bagi PMII sebagai organisasi yang berbasis di dunia kampus, seakan kita kecolongan atau bahkan kalah dalam pertarungan ide dengan kelompok islam fundamentalis ini, salah satu kasunya adalah 2 mahasiswa disalah satu kampus Islam di Yogyakarta juga ikut menjadi relawan untuk berjihad di salah satu negara di Timur Tengah, berakibat pada kebijakan kampus yang mulai membina paham keagamaan mahasiswa terutama bagi mahasiswi yang bercadar.

Kasus diatas membuat organisasi macam PMII perlu kembali merefleksikan diri sebagai organisasi yang berhaluan Aswaja, yang mencintai sholawat, ziarah kubur, yasinan dan tahlilan. Penting bagi kita hari ini mulai merefleksikan kembali diri kita sendiri (PMII) dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Berbagai kasus tentang menguat dan meluasnya paham wahabi ini, jelas tidak cocok dengan tradisi, konstitusi serta cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Jika berbagai kasus diatas terus terjadi tanpa ada bendungan dari PMII, maka eksistensi PMII sendiri akan mulai kehilangan tempatnya di kampus.

Baca juga:  Ilmuwan Besar dalam Dunia Islam (3): Al-Khawarizmi, Matematikawan Ahli Astronomi dan Geografi

 

Membentuk Kader Ideologis

Barangkali ketidakmampuan PMII dalam membendung paham wahabi di kampus adalah minimnya kader Ideologis nan militan dalam berpegang teguh pada prinsip ahl Sunnah wal jama’ah, setidaknya ada dua penyebab yaitu tidak berkembangnya ajaran Aswaja di PMII serta minimnya literatur tentang Aswaja di PMII, ini yang menyebabkan kader tidak menganggap Aswaja sebagai sesuatu yang prinsipil di PMII.

Tidak berkembangnya ajaran Aswaja dilihat dari materi Aswaja dalam modul Pelatihan Kader di PMII, Aswaja PMII hanya menjelaskan paling banyak soal sejarah, terutama sejarah firqoh (lihat modul PKD) dan minim menjelaskan prinsip dalam aswaja, yaitu tauhid, syariat, muamalah.

Maka perlu ada perluasan materi Aswaja sampai kepada ruang gerak di kampus, membaca persoalan dalam prespektif Aswaja, semisal persoalan berbangsa yaitu kuatnya logika dan pengelolaan negara dengan sistem kapitalisme yang membuat negara terbatasi dan menindas terutama dalam soal pengelolaan sumber daya alam dan munculnya berbagi konflik agrarian dan persoalan beragama yaitu kuatnya paham wahabi yang ingin merusak tradisi keberagamaan, melarang ziarah kubur, tahlilan, yasinan. Dan ingin menggantikan negara Pancasila dengan negara khilafah. Dua tantangan ini tidak pernah menjadi bagian dari materi Aswaja yang disampaikan di pelatihan kader di PMII.

Baca juga:  Pengalaman Mengikuti Kiai Said Aqil Siroj

Seakan-akan materi Aswaja menjadi kaku dan tidak berkembang, stagnan. Penyelenggaraan pelatihan atau pengadaan sekolah Aswaja tidak menjawab keinginan untuk membentuk kader Aswaja yang Idelogis, mampu mendoktrin mahasiswa serta membendung paham wahabi yyang merebak di kampus-kampus. PMII mulai kehilangan kader Ideologis yang paham Aswaja,berintelektual dan sekaligus militant. Kita (PMII) sudah banyak kiranya melahirkan kader-kader politik dalam merebuat ruang-ruang politik dalam negara, tapi PMII kehilangan kader yang bertarung dalam ruang ide dan gagasan, kehilangan kader Aswajais yang militan membendung paham wahabi, dan ini semua, PMII membiarkan NU bertarung sendiri dalam membela dan menyebarkan paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top