Naskah kuno adalah salah satu sumber sejarah penting sebuah bangsa yang memuat berbagai sumber informasi dan syarat akan pengetahuan. Naskah atau manuskrip merupakan catatan sejarah yang bisa dijadikan bahan penelitian, dan bagi masyarakat nusantara merupakan identitas wilayah yang harus dipelajari. Sebagaimana yang ada dalam naskah Lontara Gowa yang menceritakan proses penerimaan Islam di Gowa-Tallo. Pelaku, tahun dan tempat disebutkan sejarah jelas dalam naskah Lontara Gowa ini.
Pada Lontara Gowa, yaitu Pattorioloanga ri Togowaya terdapat keterangan, pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565) seorang raja bernama Tonipalangga I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung telah datang seorang utusan dari Melayu yaitu Datuk Anakkoda Bonang menghadap sang raja agar diberi hak kawasan di Makassar. Permintaan ini disertai dengan beberapa hadiah dari Melayu agar mau menerimanya dan memberi kediaman kepada sang Datuk, kejadian ini terekam dalam Lontara Gowa, yaitu :
Iatommi napappalakki empoang Jawa nikanaya Anakoda Bonang. Naia erang-eranna ri Karaenga, nappala’na empoang, kontua anne : kamaleti sibatu, belo sagantuju pulona sowonganna, sakalla’ sikayu, bilu’lu’ sikayu, cinde ilau sitangga kodi. Nakana Anakoda Bonang ri Karaenga Tonipalangga ; “appaki rupana kupala’-palaka rikatte karaeng;” nakanamo karaenga: “apa?” Nakanamo: “kipalaki, tanipantamaia embammang, tanigayanga punna nia ‘anammang, tani rappung puna nia’ salammang. “Naniioi ri karaenga ; nakanan karaenga : tedongkujanjo maposo nakuparamme, mabattala’nakutaroi, alaikaupaseng parangku tau, naiajia tamammunoako ributtaku punna kuasenga.
Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, kira-kira memiliki arti seperti ini :
Dialah yang meminta tempat kediaman pada orang Jawa yang disebut Anakoda Bonang. Adapun persembahannya kepada raja ketika ia meminta kediaman, ialah: sepucuk kamelati, delapan puluh junjungan “belo”, sekayu sekelat, sekayu beludu dan setengah kodi “cinde ialu”.
Kata Anakoda Bonang kepada Raja Tonipalangga: “Empat macam kami harapkan dari Tuanku; “Maka menyahutlah Raja itu “apa”?
Ia menjawab, “Kami minta supaya jangan dimasuki pekarangan kami (dengan begitu saja), janganlah kami dikenakan peraturan “nigayang” bila ada anak kami, dan janganlah kami dikenakan peraturan “nirappung” bila ada kesalahan kami bila ada kesalahan kami.
Maka diperkenankanlah (permintaan itu) oleh Raja, dan berkatalah Raja, “Sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan ke dalam air, bila bebannya berat saya turunkan sebagian, apalagi engkau sesamaku manusia, akan tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar pengetahuanku.”
Mengenai kedatangan orang-orang melayu ditanah Gowa dalam beberapa literatur seperti laporan seorang Payva, misionaris Katolik dari Eropa atau tepatnya seorang Portugis, menuliskan laporannya mengenai hambatannya melakukan misi karena berhadapan dengan komunitas muslim yang telah bermukim sekitar 50 tahun sebelumnya terhitung setelah kedatangan Payva pada tahun 1542. Dari keterangan ini, diperkirakan sekitar akhir abad XV bahwa orang-orang Melayu telah melakukan aktivitas perdagangan di Makassar yang kita kenal hari ini.
Dalam paragraf yang terdapat dalam Lontara Gowa di atas terdapat kata “Jawa” yang disebut dan dalam konteks masa lalu, terdapat pengertian berbeda saat menyebut sebuah identitas seperti Jawa dalam keterangan Lontara diatas yang dimaksud Jawa adalah :
Nanakanatodong, “Siapai rupnna nupailalang kana-kana?” Nakanamo Anakoda Bonang, “Sikontukang Ikambe ma’lipa’baraya kontui Pahanga, Patania, Campaya, Marangkaboa, Johoroka.”
Artinya: Berkatalah pula Raja, “Berapa macam orang yang kau masukkan ke dalam permintaan itu ?”
Berkatalah Anakoda Bonang, “Semua kami yang bersarung ikat ialah Pahang, Patani, Campa, Menangkabau dan Johor.
Dalam keterangan di atas, diketahui bahwa kedatangan Islam dibawa oleh orang Melayu yang dinahkodai oleh orang bernama Anakoda Bonang, pada naska Lontara inilah kita mengetahui bagaimana Islam masuk di Gowa dan kemudian secara berangsur-angsur diterima oleh masyarakat setempat. (RM)