Jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia atau bahkan sebelum era penjajahan, Indonesia sudah memiliki tatanan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan kerajaan-kerajaan. Kita pasti mengenal kerajaan Sriwijaya, Majapahit sampai Mataram Islam.
Sebelum penjajahan ada, Indonesia sendiri sudah jauh memegang teguh agama Islam, kemudian mempengaruhi struktur dan corak kekuasaan yang awal dikenal kerajaan menjadi kesultanan. Seorang penguasa yang dikenal dengan raja kemudian berganti menjadi sultan.
Para sultan inilah yang memiliki kekuasaan penuh terhadap wilayah tertentu yang dikuasainya. Maka, Indonesia yang kita kenal hari ini adalah satu kesatuan kesultanan di seluruh Indonesia, kemudian melebur menjadi satu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Seluruh sultan, kemudian menyatakan diri untuk ikut melebur menjadi Indonesia sebagaimana pula yang ditunjukkan oleh salah satu penguasa Kesultanan Bima yaitu sultan Muhammad Salahuddin yang bergelar “Maka Kidi Agama”.
Anak sultan Ibrahim ini, lahir pada 15 Zulhijah 1306 H atau 14 Juli 1889 di Bima. Sebagai seorang calon pemimpin yang akan menggantikan ayahnya, Salahuddin kecil dibekali berbagai ilmu agama seperti ilmu Tauhid, Hadis, Alquran sampai ilmu siasat (politik).
Tidak saja belajar dari ulama lokal, Salahuddin bahkan dikirim ke Batavia sampai ke Makkah untuk menuntuk ilmu agama.
Pada perjalanan menuntut ilmu, Salahuddin semakin mencintai pengetahuan dan rajin membaca, koleksi bukunya pun lumayan lengkap. Selain membaca, ia juga rajin menulis, karyanya berjudul “Nurul Mubin” yang diterbitkan oleh penerbit Syamsiah Solo.
Setelah sang ayah wafat, tampuk kekuasaan dikendalikan oleh sang anak yaitu Muhammad Salahuddin. Diangkat oleh Majelis Hadat pada 1917, kemudian berkat pengetahuan dan akhlaknya Sultan Salahuddin juga diangkat Dewan Raja-raja Sumbawa pada 1949 (baca: Sejarah Perjuangan Muhammad Salahuddin, Alan Malingi.).
Sebagai seorang sultan yang berkuasa di masa penjajahan, perlawanan atas penjajahan pun dilakukan oleh sang sultan dari membentuk sekolah rakyat sebagai alat kesadaran, perlawanan secara fisik melalui perang pun dilakukan.
Persinggungan sultan Salahuddin dengan penguasa kesultanan Gowa, Jawa dan daerah lainnya membuat sang sultan meyakini bahwa persatuan antara satu daerah dengan daerah lainnya haruslah bersatu untuk melawan penjajahan. Sikap nasionalisme sang sultan telah lama ditunjukkan dengan berbagai hal salah satunya meminta bantuan tenaga pengajar dari berbagai daerah untuk ikut membantu mendidik rakyat Bima saat itu.
Puncaknya pada 22 November 1945, sultan Muhammad Salahuddin mengeluarkan ‘Maklumat’.
Isinya menyatakan untuk ikut mendukung Republik Indonesia dan taat terhadap pemimpin Indonesia yaitu Soekarno-Hatta. Isi maklumat Sultan Muhammad Salahuddin yaitu :
- Pemerintah kerajaan Bima, adalah suatu daerah istimewa dari negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan Negara Republik Indonesia.
- Kami menyatakan, bahwa pada dasarnya segala kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan Bima terletak di tangan kami, oleh karena itu sehubungan dengan suasana dewasa ini, maka kekuasaan–kekuasaaan yang sampai sekarang ini tidak ditangan kami, maka dengan sendirinya kembali ke tangan kami.
- Kami menyatakan dengan sepenuhnya, bahwa perhubungan dengan pemerintahan dalam lingkungan kerajaan Bima bersifat langsung dengan pusat Negara Republik Indonesia.
- Kami memerintahkan dan percaya kepada sekakian penduduk dalam seluruh kerajaan Bima, mereka akan bersifat sesuai dengan sabda kami yang ternyata di atas.
Maklumat ini kemudan ditegaskan kembali, ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Bima pada 3 November 1950. Presiden disambut hangat oleh sultan dan seluruh rakyat Bima. Pada pidato resmi dihadapan Soekarno, Sultan Muhammad Salahuddin berpidato:
“ Paduka yang muila, rindu yang meluas ini bukan baru sekarang saja timbulnya, akan tetapi sejak ledakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada saat ketika mana terbayanglah di muka kami rakyat disini wajah bapak-bapak pemimpin kita Bung Karno dan Bung Hatta yang sedang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Lalu pada saat itu juga tertanamlah dalam jiwa rakyat disini arti proklamasi yang harus dijunjung tinggi, harus dipertahankan dan harus dimiliki itu, sehingga pada tanggal 22 Nopember 1945, kami di kesultanan Bima ini mengeluarkan peryataan bahwa daerah kesultanan Bima menjadi daerah istimewa yang langsung berdiri di belakang Republik Indoenesia.”
Sultan Muhammad Salahuddin sangat mencintai Indonesia dengan menyatakan untuk setia terhadap bangsa yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Sikap untuk setia terhadap Indonesia ditentang oleh Jepang yang saat itu telah menyerahkan nasib Indonesia sebagai daerah jajahannya kepada sekutu sesuai perjanjian pada tanggal 14 Agustus 1945, akan tetapi sultan tetap teguh pendirian untuk setia terhadap NKRI. (atk)