Sedang Membaca
Islam di Bima versi Panambo Lombok dan BO Sangaji
Hilful Fudhul
Penulis Kolom

Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pimpinan Alumni Pondok Pesantren Darul Furqan Kota Bima

Islam di Bima versi Panambo Lombok dan BO Sangaji

Bima berada di ujung Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat, yakni di Sumbawa, pulau yang dikelilingi lautan dalam. Bima atau Mbojo, berbatasan dengan Pulai Flores di sisi Utara, satu pusat perniagaan Nusantara pada abad ke-14. Sebagai daerah dengan kekuatan maritim yang cukup masyhur kala itu, Bima disambangi beramai-ramai oleh para pedagang dari berbagai daerah. 

Tome Pires, penjelajah dari Portugis yang sampai ke Bima pada tahun 1513,  mencatat bahwa Islam di Bima dibawa oleh para pedagang dari tanah Jawa. Ada juga yang berpendapat lain. Memang terdapat berbagai versi mengenai masuknya Islam di Bima, terutama tentang asal-muasal para penyebar Islam. Hal itu menjadi perbincangan, karena Bima adalah daerah transit terbesar  bagi para pedagang yang ingin menuju ke Ternate, Banda, dan Malaka.

Pada masa gelombang besar perniagaan di Bima inilah diyakini bahwa para pedagang dari Jawa masuk ke Bima sekaligus menyebarkan ajaran Islam. Pendapat yang menyatakan Islam Bima dibawa pertama kali oleh orang-orang Jawa ini diperkuat oleh Babad Lombok atau dikenal dengan Panambo Lombok, yang menjelaskan penyebaran Islam dibawa oleh para pendakwah dari Jawa Timur yang dipimpin oleh Sunan Prapen dari Giri. Peran Sunan Prapen dijelaskan dalam Panambo Lombok bahwa daerah Sumbawa dan Bima merupakan basis dakwah atau pengikut setia Sunan Prapen yang dalam dakwahnya mampu mengambil hati orang-orang Sumbawa dan Bima.

Baca juga:  Rencana Pemindahan Ibu Kota pada Masa Hindia-Belanda

Pendapat lain menyebutkan bahwa Islam masuk di Bima melalui Ternate. Sumber dari pendapat ini yaitu catatan raja-raja Ternate, yang saat itu telah memeluk agama Islam untuk ikut menyebarkan agama Islam di wilayah timur Nusantara.

Pada era kepemimpinan sultan Ternate ketiga yaitu Sultan Khairun (1536-1570), telah terbentuk aliansi kesultanan Aceh, Demak, dan Ternate. Aliansi ini diperkuat dengan dibentuknya lembaga kerjasama yang dikenal dengan sebutan Al Maru Lokatul Molukiyah. Aliansi ini dibentuk dengan maksud untuk memperluas pengaruh Islam di wilayah Nusantara.

Usaha untuk memperluas pengaruh Islam semakin meningkat. Pada tahun 1570-1583 di zaman Sultan Baabullah, kontak antara Ternate dan Bima dalam proses mendakwahkan Islam pun meningkat. Pendapat ini didukung  oleh sumber catatan BO Sangaji yang menyebutkan bahwa penyebaran agama Islam terus diperkuat di Bima, dengan datangnya para mubalig dari Sulawesi Selatan yang dikirim oleh Sultan Auluddin Gowa yang datang ke Pelabuhan Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H atau 16 April 1618 M.

Para mubalig dari Gowa, Tallo, dan Bone datang pada saat situasi politik kerajaan Bima sedang carut-marut disebabkan oleh perebutan tahta kerajaan antara putra mahkota La Ka’I dan Salisi, pamannya sendiri yang ingin menguasai kerajaan. Situasi ini, mendorong para mubalig untuk ikut membantu putra mahkota di tanah persembunyiannya di Kalodu, sekaligus untuk menyampaikan pesan raja Gowa dan Tallo kepada keluarga kerajaan Bima.

Baca juga:  Peristiwa Zunburiyah dan Fleksibelnya Mazhab Kufah

Pesan ini mengantarkan La Ka’I menerima bantuan dari raja Gowa untuk merebut kembali kerajaan Bima dari Salisi. Keberhasilan La Ka’i merebut kembali tahta kerajaan dengan bantuan raja Gowa, membuat La Ka’i bersama saudaranya memeluk agama Islam pada tahun 1621.  La Ka’i kemudian berganti nama menjadi Abdul Kahir. Saudaranya yang lain pun berganti nama setelah memeluk agama Islam.

Hal pertama yang dilakukan oleh para keluarga kerajaan setelah memeluk Islam adalah membangun Masjid Kalodu, kemudian Masjid Kampo Na’e di Sape. Akan tetapi, agama Islam resmi menjadi agama kerajaan pada tahun 1640 yaitu saat penobatan putra mahkota Abdul Kahir menjadi raja atau dicatat sebagai peristiwa terbentuknya kesultaan pertama. Hal itu dicatat sebagai peristiwa penting yang mengubah tatanan masyarakat, kepercayaan, ekonomi, dan politik di Bima.

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang dipercaya oleh mayoritas masyarakat Bima pada umumnya mengenai penyebaran Islam masuk di Bima melalui pengislaman keluarga kerajaan. Pendapat yang kedua ini diperkuat dengan catatan BO Sangaji, yaitu naskah kerajaan yang merekam berbagai peristiwa di Bima.

Adapun pendapat yang pertama yaitu pengaruh Giri terhadap penyebaran Islam di Bima, sangat sedikit diyakini oleh masyarakat Bima sendiri. Akan tetapi, tentang bagaimana Islam masuk dan silsilah para penyebar Islam di Bima haruslah kembali diteliti dengan lebih mendalam, dengan melibatkan berbagai sumber seperti naskah dan peninggalan masa lampau. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top