Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Pekalongan

Generasi Milenial Sadar Tradisi Nyadran Jelang Ramadan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh berbagai macam suku, bangsa, ras, serta agama. Setiap suku bangsa tentunya memiliki budaya, adat, tradisi atau kebiasaan yang berbeda-beda sesuai dengan agama sebagai kepercayaan mereka. Salah satu bentuk realisasi wujud kebudayaan dalam masyarakat yang hampir dimiliki oleh setiap daerah yaitu dengan diadakannya upacara tradisional.

Zaman yang semakin modern tak menggerus upacara tradisional. Pasti perkurang dan berubah, tapi praktik budaya leluhur tetap berjalan. Upacara tradisional yang memiliki makna filosofis sampai sekarang masih dipatuhi dan dijalani oleh masyarakat yang menganutnya. Bahkan, tak jarang masyarakat merasa takut jika tidak melaksanakan upacara tradisional tersebut, nantinya akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.

Di Indonesia, salah satu daerah yang dalam kehidupan masyarakatnya masih kental dengan adat kebudayaan dan selalu melestarikannya, yaitu daerah Jawa. Di Jawa, tradisi leluhur, alhamdulillah, juga dijalani bukan saja para orangtua, tapi juga oleh generasi milenial, generasi yang kerap dinilai abai tradisi leluhur.

Pada dasarnya, masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Menurut Purwadi dalam bukunya “Budi Pekerti Jawa” (2005:3), Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masih mempertahankan budaya atau tradisi upacara, serta ritual apapun yang berhubungan dengan peristiwa alam atau bencana, yang masih dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Upacara tradisi Jawa umumnya dilaksanakan dalam peristiwa kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawa, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Baca juga:  Gempita Maulid Nabi, dari Abu Lahab hingga Ibnu Taimiyah

Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam.

Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Fenomena ini terus berjalan hingga sekarang.

Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat Jawa adalah tradisi Nyadran. Secara filosofis, Nyadran adalah ritual simbolik yang sarat dengan makna. Tradisi ini rutin dilakukan menjelang bulan Ramadan, yaitu pada bulan Sya’ban atau Ruwah dalam kalender Jawa.

Orang pergi ke pemakaman, membersihkan makam (besik) untuk memperingati dan menghormati arwah leluhur dan biasanya disertai dengan selamatan memberikan sesaji berupa makanan, tabur bunga (nyekar), serta tentu saja di iringi dengan doa-doa.

Dari sisi usia, memang harus diakui jumlah orangtua yang melakukan ritual ini lebih mendominasi, tapi kehadiran generasi milenial, cukup melegakan. Mereka sebagai pewaris tradisi, juga turut andil, meski memang belum dilibatkan terlalu jauh. Generasi milenial baru aktif sebagai pendukung saja.

Pelaksanaan tradisi Nyadran pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya. Sedangkan oleh Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa yang bersumber dari Alquran sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyaraKat Pekalongan.

Baca juga:  Sistem Tulisan dalam Bahasa Jawa

Masyarakat meyakini leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya, karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau nifsu Sya’ban.

Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh karena itu pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun. (Kastolani dan Abdullah Yusuf, Jurnal Kontemplasi vol.4 no.1, 2016)

Di daerah Jawa Tengah, khususnya Pekalongan, pelaksanaan Nyadran yang dilakukan tidak berbeda jauh dengan Nyadran di daerah lain. Dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Sya’ban atau sekitar seminggu sebelum Ramadan.

Dimulai pada pagi hari dengan membersihkan makam secara gotong royong di pemakaman setempat, menabur bunga dan mengganti nisan dengan yang baru. Kemudian dilanjutkan dengan ziarah dan doa bersama setelah Zuhur sampai selesai, dan inilah inti dari tradisi nyadran. Seluruh doa-doa, zikir dan tahlil dilakukan secara Islam dan dipimpin oleh kai dan sesepuh desa setempat.

Dalam doa-doa yang dipanjatkan diiringi dengan permohonan maaf agar arwah leluhurnya dapat ampunan dari Allah dan diterima disisinya. Serta yang ditinggalkan mendapat keselamatan. Jadi, jelas sekali bahwa doa tersebut ditujukan kepada Allah bukan kepada roh leluhur untuk meminta sesuatu (Bambang Unjianto, 1987: 2).

Selepas Nyadran, biasanya masyarakat bertukar makanan dari masing-masing warga yang membawanya dari rumah atau dalam hal ini biasa juga disebut dengan istilah tukar golong.

Baca juga:  Tradisi Al-Azhar: Muazin Harus Tunanetra

Namun, terkadang dari pihak panitia penyelenggara membuka dapur umum sehingga tiap warga tidak perlu membawa makanan dari rumah masing-masing, melainkan mendapat makanan dari panitia. Masyarakat sangat antusias setiap kali ada momen Nyadran yang dilaksanakan setahun sekali ini. Mereka selalu berebut makanan yang diyakini mengandung keberkahan dari doa-doa yang telah dibacakan pada acara tersebut.

Tujuan dari tradisi Nyadran sendiri, dapat dilihat dari tiga aspek yaitu sosial ekonomi, religius dan sosial budaya. Dari segi sosial ekonomi, pelaksanaan tradisi nyadran tidak memandang status ekonomi dan golongan serta menjalin silaturohmi antar warga.

Dari segi religius, tradisi Nyadran merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah, mengingatkan akan kematian dan mendoakan arwah leluhur atau keluarga. Tradisi Nyadran dari segi sosial budaya merupakan bentuk pelestarian akulturasi Islam dengan kebudayaan Jawa.

Namun, tujuan dari pelaksanaan nyadran yang sesungguhnya yaitu untuk memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya dalam melaksanakan ibadah puasa, hati menjadi bersih, bebas dari dosa. (Astria, Jurnal PESAGI vol.1 no.5, 2013).

Tradisi Nyadran telah membuktikan eksistensinya sebagai sebuah kebudayaan lokal yang mampu bertahan ditengah gempuran kebudayaan asing yang masuk bersamaan dengan arus globalisasi. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah sepantasnya dijaga dan dijadikan pegangan hidup.

Sebagai generasi milenial, kita harus mampu melestarikan kebudayaan yang ada dengan penuh semangat dan cinta terhadap tanah air.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top