Setelah peristiwa G 30 S 1965 narasi sejarah yang diterima masyarakat adalah riwayat konflik antara NU dan PKI. Dikisahkan bahwa sepanjang Indonesia merdeka NU dan PKI sering bersimpang jalan dan bermusuhan. Narasi ini begitu hegemonik sehingga menutup rapat narasi-narasi lain, membungkam kisah-kisah yang berbeda, dan dengan demikian menyeragamkan di semua daerah. Apakah narasi sejarah ini muncul secara alamiah, atau ada pihak yang memunculkan, mereproduksi, dan menjaga dengan kuasa dan modal?
Narasi sejarah, atau bahkan sejarah, tidak pernah obyektif dan alamiah seperti apa adanya, karena ia selalu dikonstruksi oleh pihak-pihak tertentu: terutama pihak pemenang atau pemegang kekuasaan, sementara pihak yang kalah terpaksa memendam narasi sejarahnya Orde Baru adalah contoh kasat mata suatu rezim yang membentuk versi tunggal dari sejarah bangsa Indonesia, memaksa sejarah versinya sebagai suatu “kebenaran”, merawatnya dengan harta, kuasa, tentara; sepanjang masa kekuasaannya.
Sebagai rezim yang sangat anti-komunisme, Orde Baru membuat konstruksi sejarah rivalitas NU-PKI yang membentang dari perpecahan Syarikat Islam, korban-korban kyai dalam Peristiwa Madiun 1948, persaingan ideologis Pemilu 1955 dan Badan Konstituante, sampai puncaknya kekejian PKI terhadap NU pada peristiwa 1965.
Generasi yang lahir dan dibesarkan jaman Orde Baru, mau tidak mau akan menerima narasi sejarah versi tunggal semacam itu, termasuk generasi muda di lingkungan NU. Barangkali hanya sedikit yang mencoba skeptis, kemudian membuka pikiran kritis—di kalangan anak muda NU—apakah narasi sejarah tersebut sesuai dengan fakta, apakah ingatan para pelaku sejarah mengkonfirmasi seratus persen kebenarannya, apakah ada peluang memeriksa lagi, jika bukan membongkar, narasi tunggal versi Orde Baru?
Di antara yang sedikit itu, beberapa eksponen aktivis muda NU menggabungkan diri dalam Jaringan Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) Indonesia pada tahun 2000-an. Berbekal pembacaan atas kajian para ahli, melakukan diskusi internal dan sowan kepada beberapa kyai sepuh NU, Syarikat mencoba keluar dari kungkungan narasi sejarah Orde Baru: misalnya tidak lagi menggunakan istilah “pemeberontakan/pengkhianatan G30S/PKI” dan mengganti dengan istilah “peristiwa G30S” atau, kelak kemudian hari setelah melalui kajian yang lebih intensif, “Tragedi kemanusiaan 1965/1966”.
Mereka yang tersebar di beberapa kota lalu mengawali suatu riset tentang peristiwa 1965, khususnya mengenai hubungan antara NU dan PKI. Dalam konteks riset ini, para aktivis Syarikat—termasuk kami yang di Batang—memperoleh pengalaman baru dan unik yaitu, dalam istilah saya, suatu “perjumpaan dengan orang-orang PKI.” Barangkali mereka baru kali ini harus mencari para mantan tapol, mengajaknya berkenalan, menjalin hubungan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Dari mana mereka mendapat nama-nama mantan tapol tersebut? Sebagian besar aktivis Syarikat bertanya kepada tokoh-tokoh NU di daerah masing-masing, kemudian mencoba berkenalan dengan mantan tapol tersebut. Sesudah mereka bisa menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mantan tapol tersebut, proses wawancara bisa terjadi dengan lancar. Bahkan dengan jaminan mantan tapol, aktivis Syarikat berhasil menemui para mantan tapol yang lain. Kami dulu menamai proses ini seperti efek bola salju, dari satu mantan tapol bisa puluhan mantan tapol bersedia untuk diajak ngobrol atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan.
Pada awalnya tidak mudah mengajak bicara para mantan tapol tersebut, kedatangan anak-anak muda NU disambut dengan kecurigaan, lagi pula terpentang jarak usia yang jauh. Pada proses inilah, aktivis Syarikat bersabar sambil gigih meyakinkan simpati dan empati yang besar, misalnya menyebut para mantan tapol sebagai korban peristiwa G 30S—tentu saja masih banyak cara lain yang dipergunakan. Umumnya, selain yang masih mengalami trauma, para mantan tapol menyambut dengan baik, dan tidak jarang terjalin persahabatan atau persaudaraan bertahun-tahun kemudian antara aktivis Syarikat dan mantan tapol.