Sedang Membaca
Melongok Jam Bencet di Mejid Gedhe Solo
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Melongok Jam Bencet di Mejid Gedhe Solo

jam bencet doc Ramadhanty AP OK

Masjid Gedhe Surakarta tengah bersolek. Heritage yang menjadi peranti program islamisasi di Jawa di masa lalu itu direvitalisasi demi terjaga kelestariannya. Ia laksana monumen agung yang merekam kerja pembesar Keraton Kasunanan di bidang keagamaan tanpa harus memakai pentungan dan hardikan.

Ruang ibadah ini merupakan warisan Paku Buwana II. Saat boyong kedaton tahun 1745, sisa kayu masjid istana di ibukota Keraton Kartasura yang selamat dari amukan api, ikut dibawa ke Desa Sala. Lantas, kayu dipasang sebagai embrio mejid gedhe untuk simbol Kerajaan Mataram Islam.

Masjid tersebut merupakan situs bersejarah yang didukung oleh banyak bangunan dan artefak lawas yang ada di selingkarnya. Beberapa kali Solo Societiet, komunitas sejarah-budaya Surakarta yang saya bidani, menghelat kegiatan blusukan sejarah di area masjid membawa barisan peserta.

Sorot mata saya tertuju pada sisa artefak jam bencet yang bercokol di halaman sisi kanan masjid. Beredar cerita benda antik itu adalah peninggalan Paku Buwana VIII dengan petunjuk angka tahun 1784 Jawa (1859 Masehi) di tiang penyangga jam. Riwayatnya juga kurang tergali lebih dalam, terutama mengaitkan dengan konteks kekuasaan dan keimanan raja.

Dahi saya seketika berkerut usai menyuntuki Biwaddha Nata Surakarta (1936) yang mencatat kiprah penguasa Kasunanan dan kehidupan istananya. Sumber primer tersebut menyuratkan, pengelola Masjid Agung menerima hadiah dari Sinuwun Paku Buwana X (1893-1939) berupa peralatan untuk menentukan waktu tengah hari (istiwak) yang indah dan istimewa.

Baca juga:  Shah Cheragh dan Masjid yang Berkilau

Tak main-main, perangkat modern ini didatangkan dari Portugal dan Paris bertepatan dengan momentum perayaan hari kelahiran “Raja Jawa”. Alat canggih ini berbahan kuningan serta marmer (batu pualam). Peralatan berbentuk meriam kecil dipasang.

Pada bagian sumbon (tempat sumbu/pusatnya) diberi cairan khusus atau obat. Perangkat suryakanta juga dipasang untuk memantulkan bayangan dan menunjukkan arah dengan tepat sesuai garis yang telah ditentukan.

Cara kerja peralatan ini mengikuti pergerakan mentari. Tepat sang surya di atas ubun-ubun alias waktu tengah hari tiba (pukul 12 siang), cahaya matahari bakal berada di tengah suryakanta, lalu sorot cahayanya langsung menuju sumbon. Detik itu juga, meriam akan berbunyi bak suara tembakan, lantas diiringi pukulan bedug yang menggema.

Pengurus masjid berjingkrak gembira. Berkat kemurahan hati raja berjuluk “Kaisar Jawa” itu, jam bencet hadir di lingkungan masjid mampu memeluk mimpi mereka berdisiplin menunaikan sholat.

Panitia masjid kian bersemangat menyerukan ajakan beribadah kepada masyarakat kutharaja. Jangan dibayangkan, kala itu benda jam atau mesin penunjuk waktu sudah merebak.

Penduduk banyak yang mengandalkan gejala alam untuk menentukan waktu. Semisal, ayam berkokok tanda hari sudah pagi, atau bocah pulang begiring (menghela ternak) tanda hari telah sore.

Selain penentu bedug siang, jam bencet dimanfaatkan untuk menunjukkan peralihan musim. Bahkan, publik tempo itu terkesan akan “keampuhan” peralatan ini karena sanggup mendeteksi jam walaupun mentari malu-malu menampakkan batang hidungnya.

Baca juga:  Ngaji Filsafat di Masjid (2): Fase Sejarah Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta

Dalam kasus perkotaan Surakarta, kepemilikan jam matahari ini menjadi simbol kemajuan yang menyasar di ranah religi. Laksana toa atau alat pelantang di era kini, jam tersebut dipahami sebagai perangkat keagamaan yang sangat berharga dan mulia.

Secara tak langsung, jam bencet sesungguhnya mampu untuk mengukur tingkat ketaatan serta keimanan penguasa kerajaan melakoni ibadah. Selain menjemput tamu kehormatan di luar istana (jendralan), Paku Buwana X doyan pula berekreasi dan incognito (safari politik) menjumpai masyarakat.

Selepas keluar dari pintu kedhaton, pembesar Kasunanan yang kini ditemploki gelar pahlawan nasional itu bergerak menuju pesanggrahan (Parangjara, Tegalganda, Langenharja, dan lainnya). Sepanjang perjalanan raja ke luar kota (Salatiga, Prambanan, atau Purwodadi), tidak semua tempat dijumpai masjid yang representatif.

Bedug Kyai Wahya Tengara doc Eva Aulia CM OK
Bedug Kyai Wahya Tengara. Dok. Eva Aulia.

Raja ditempeli gelar Sayidin Panatagama (panglima perang dan ulama pengatur kehidupan beragama) ini tak lupa melaksanakan perintah agama, sekalipun sedang menempuh perjalanan jauh. Lawatan bak arak-arakan itu melibatkan para abdi dalem penghulu, termasuk khatib, ulama, muadzin, kabayan, dan marbot.

Mereka, yang sehari-hari tinggal di Kampung Kauman itu, memikul tugas memasang jam matahari dan memukul bedug setiap kali waktu shalat tiba. Yaitu, pukul 12 siang (luhur), pukul 3.30 sore (asar), dan pukul 6 petang (magrib), persis seperti yang dilakukan di Masjid Gedhe.

Baca juga:  Al Aqsa dan Wajah Paradoks Yerusalem

Tangan kekar abdi dalem menabuh bedug Kyai Wahya Tengara. Lantaran dibawa dalam perhelatan jendralan, tak ayal bedug penanda adzan ini juga disebut “bedug jenderal”.

Bedug berukuran besar yang sekarang dipasang di serambi sisi utara Mejid Gedhe juga bernama Kyai Wahya Tengara. Kemungkinan besar alat ditabuh itu mutrani (meniru) bedug yang menyertai perjalanan Paku Buwana X dengan ukuran yang lebih kecil. Fungsinya tak berubah pula, seperti seabad silam.

Demikianlah, riwayat artefak bernilai historis yang tinggi di lingkungan Masjid Agung Surakarta. Benda kuno ini bukan sebatas pelengkap ibadah dan asesoris masjid tua, namun juga jejak sejarah yang menyimpan kisah kebijakan dan kearifan raja dalam mengelola program islamisasi di wilayah kekuasaannya.

Penguasa tertua dinasti Mataram Islam terbukti peduli terhadap perkembangan keagamaan masyarakat, sekaligus memberikan patuladan rajin melangitkan doa kepada Gusti Allah.

Catatan:
Dokumentasi riset dan foto dibantu oleh:

1. Ramadhanty Armelia Putri (Mahasiswa MBKM FSRD ISI Surakarta)
-2. Eva Aulia Citra M (Mahasiswa MBKM FSRD ISI Surakarta)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top