Sedang Membaca
Mangkunegaran untuk Publik
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Mangkunegaran untuk Publik

Img 20220401 Wa0013

Hujan telah mandeg. Mendung kelabu menyingkir di atas Istana Mangkunegaran. Sang mentari yang semula tersembunyi rapat di balik gumpalan awan kelabu, kini telah datang menggendong kegembiraan.

“Mentari” bakal membagikan kehangatan bagi kehidupan praja. “Teriknya” tidak begitu garang, diniatkan mengayomi kawula dalem.

“Matahari” ini bernama GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Beberapa minggu silam, ia dikukuhkan sebagai KGPAA Sri Mangkunagoro X dengan disaksikan Presiden Joko Widodo bersama para raja dinasti Mataram Islam. 

Secara simbolis, para petinggi tersebut hadir melegitimasi GPH Bhre sebagai penerus sah kepemimpinan di bekas istana terkaya di Jawa berkat bisnis pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu.

Pundak lelaki berusia 3 windu ini memikul asa yang ditempelkan publik, yakni Praja Mangkunegaran bisa kembali kuncara, brayat ageng guyup rukun, dan Pura menjadi mata air pengetahuan tanpa kering untuk ditimba.

Terdapat sederet langkah guna membuat Praja Mangkunegaran menyambut era gemilang dalam pengertian sebagai sumber pengetahuan. Aspek eksternal yang bisa disentuh lewat gebrakan pertama, yakni menggandeng komunitas untuk menyelami kesejarahan dinasti yang dibangun Pangeran Sambernyawa alias Gusti Mangkunegara I ini.

Memang tak mungkin pihak internal Pura menggarap misi agung itu sendirian, jelas kuwalahan lantaran ada setumpuk problematika yang kudu dirampungkan. 

Minggu (27/3), komunitas sejarah dan budaya Solo Societiet menghelat blusukan bertajuk “Harta Karun Mangkunegaran” dengan melibatkan puluhan peserta lintas umur.

Baca juga:  Mengusut Makna “Balekambang”

Kami diizinkan MN X menyelisik lingkungan istana yang berumur 265 tahun ini. Bagi kami, terminologi “harta karun” bukan dalam artian sebenarnya, melainkan sebuah kiasan.

Wujudnya adalah narasi historis yang belum banyak diendus publik. Konten itu yang tersisa selepas aset Praja Mangkunegaran diambil alih (dikelola) negara pada periode pasca kemerdekaan.

Kisah yang berserak tersebut jarang dijumpai di pustaka, google, dan youtube. Solo Societiet menyadari betul, zaman kiwari merupakan era berburu konten seraya berekreasi.

Khalayak ramai haus akan konten unik yang tak terhampar di laman internet maupun materi di kelas, lalu dikembangkan di media sosial.

Dalam event jelajah kemarin siang, GPH Bhre sebagai “sang mentari” praja turut menceburkan diri dalam perhelatan. Rasane kaya ketiban pulung tenan iki, batin kami seraya menembangkan ribuan terima kasih.

Sebagai empunya rumah yang njawani serta adhap ashor, MN X tak canggung berfoto bareng peserta dan panitia. “Raja/gusti milenial” itu minarakne alias membagikan tetamu dengan hormat laiknya leluhurnya MN VI kala disambangi raja Thailand dan MN VII mempersilahkan sastrawan India Rabindranath Tagore menginjak lantai kinclong di pura seabad silam.

Momen berharga dan langka di Minggu yang indah ini tentu mengabadi dalam batok kepala setiap peserta.

Baca juga:  Kaesang "Rabi" (dan Batik Solo)

Dilambari spirit Mangkunegaran untuk publik, masyarakat memahami pergulatan sejarah Mangkunegaran mengarungi zaman. Dengan ikhtiar ini, akan tumbuh kesadaran sejarah dalam diri masyarakat untuk mencintai warisan masa lalu yang tersimpan di dalam tembok keraton.

Dalam kepentingan media sosial sekaligus pengayaan pengetahuan, mereka tergerak mendokumentasi cerita sejarah praja berikut kiprah para pendahulu di berbagai lini pada era kerajaan, pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia. 

Alih-alih mengeruk laba melalui acara setengah rekreasi itu, kami malah “tombok kathok” alias mengambil uang kas guna menutup kekurangan biaya. Tapi kami percaya bahwa agenda napak tilas yang rutin kami gelar mampu mengobati kebosanan publik mempelajari sejarah di ruang kelas yang monoton.

Buktinya, dalam hitungan jam, kuota sudah terpenuhi. Kami dengan berat hati menolak puluhan calon peserta yang berniat mengikuti jelajah. Jujur saja, kita jangan berharap muluk-muluk kepada pemerintah dan lembaga pendidikan guna mengobati rasa haus publik terhadap pengetahuan sejarah dan budaya setempat. 

Tak hanya itu, gerakan kebudayaan ini memecahkan kebuntuan khalayak ketika mencari informasi historis tentang daerah sekitarnya yang tidak melulu tersedia di dunia maya.

Lewat “kluyuran” di kawasan bersejarah, tergali pula local knowledge (pengetahuan lokal) dan local wisdom (kearifan lokal) di njero kraton yang tenggelam akibat arus globalisasi dan ketidakperhatiannya publik. 

Baca juga:  Memberi Daging pada Belulang Sejarah Solo dalam Novel Mahbub Djunaidi (2-habis)

Saat membersamai rombongan mengitari beberapa titik historis di istana, kami lekas membayangkan kembang teratai di kolam depan pendåpå ageng seolah cemburu atas keayuan penari Bedhaya Anglir Mendung.

Demikian pula keluwesan barisan putri berselendang itu, sukses bikin iri manuk prenjak yang mencok di pepohonan Purå Mangkunegaran. Tarian apik itu ditampilkan menghibur tetamu agung, termasuk ketika MN X dinobatkan sebagai nahkoda praja menyulihi ayahandanya.

Ya, Praja Mangkunegaran telah dikemudikan “raja” milenial. Dan, angin perubahan itu sudah kencang tertiup dari dalam istana…

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top