Di luar pagar, terdengar uluk salam. Tanpa banyak bicara empunya rumah membuka regol, melongok siapa gerangan tamu yang datang petang itu. Sekawanan orang mengangsurkan tangan, salah satu dari mereka memperkenalkan diri sebagai awak media televisi nasional. Sebelumnya, memang telah dibuat janji untuk ngobrol perkara secuil sejarah yang hidup di Kota Solo.
Kamera segera ditata seraya terlontar garis besar pertanyaan untuk memeroleh jawabannya dari pemilik rumah. Dengan bantuan lampu penerang kotak berukuran mungil, narasumber tersorot wajahnya. Dirasa beres, kru televisi segera melemparkan pertanyaan terkait sejarah kuliner timlo yang melegenda di telatah Surakarta.
Tanpa canggung, lelaki berblangkon itu di muka kamera menjembarkan pemahaman historis semangkok timlo, yang akhirnya bersalin nama menjadi timlo itu. Yang aktual, bisa ditengok di sekitar Pasar Gedhe Surakarta. Di sebuah mulut gang, bola mata kita bakal menabrak papan nama warung yang terpahat keterangan “sejak 1933”. Melihat daftar menu yang disuguhkan, tampaknya inilah satu-satunya warung lawas yang masih kuekeh mengusung nama kimlo, embrio dari timlo yang bikin lidah publik tergoyang.
Diusut dari tradisi lisan, disebut kimlo lantaran kata “kim” bermakna “emas”, yang melukiskan kuah kimlo begitu nglengo atau berminyak keemasan yang dihasilkan dari daging babi atau ayam kampung. Tempo doeloe, orang percaya bahwa kian nglengo kuah tersebut, maka rasa masakan itu kian nendang di lidah hingga menyerbu secara halus ke perut. Lumrah apa yang mereka lihat dan rasakan dengan segenap pancaindera akhirnya dipakai untuk penamaan atas sesuatu.
Bisnis makanan ini berusia seabad lebih, jika jualan model pikulan oleh leluhurnya dihitung pula. Terwariskan sampai 4 generasi lebih, yakni Oei Wang Mien, Swie Ing, Oei Ping Lam, dan kini dilanjutkan anak lelakinya bernama Doni. Diceritakan, leluhur Oei Wang Mien berkelana dari Tiongkok menuju ke Wonogiri demi mengadu nasib. Rombongan Cina totok tergerak ke wilayah Mangkunegaran tersebut karena merawat mitos bahwa kondisi telatah Wonogiri sama seperti di kampung halamannya, dipenuhi pategalan dan batu. Di Wonogiri, orang-orang setempat juga bersantap dengan lambaran daun atau dipincuk. Kepercayaan ini menjadi besi sembrani sekaligus kekuatan bagi mereka untuk nekad membelah samudera. Jika merindukan tanah asal, cukup melihat ekologi Wonogiri yang serupa dengan tempat tinggalnya di daratan Tiongkok, maka rasa rindu tak begitu menyiksa.
Sesampainya di Wonogiri bagian “kota” (kini Pasar Wonogiri), keluarga Oei Wang Mien beranak-pinak. Lalu, mereka memutuskan untuk mengembara ke kutharaja guna mendongkrak ekonomi. Area Pasar Gedhe yang dituju. Pasalnya, kawasan ini sedari abad XVI sudah riuh sebagai arena perdagangan lintas etnis. Sekaligus, basis komunitas Tionghoa dengan bukti klenteng dan kampung Ketandan yang sudah eksis jauh sebelum ibukota Keraton Kartasura pindah ke Desa Sala.
Mata batin cukup awas, Oei Wang Mien titis membaca peluang berdagang kimlo untuk melunasi kebutuhan konsumen Tionghoa yang berdiam di seputar Pasar Gedhe. Bermula diiderne dengan dipikul menuju sekolah Tiong Hoa Hwee Kwan (kini sekolah dasar Warga) yang didirikan awal abad XX. Bakul kimlo itu keluar rumah sejak pagi hingga siang hari. Meladeni siswa sekolah, lantas bila tak habis bergeser ke utara perempatan Warung Pelem.
Pelestari kuliner peranakan ini bernama “Mien Satu”. Dijuluki “Mien Satu” lantaran mengacu kebiasaan para pembeli tatkala obo alias memesan berkata ringkas: (Koh) Mien (tolong bikinkan) Satu (mangkok). Semangkok kimlo cukuplah untuk mengguyur perut satu pembeli, tak terlampau kenyang atau mbesesek. Karena raga menua, modal cukup, serta konsumen bertambah, tahun 1933 model pikulan diganti dengan membuka kios di area Kepatihan. Kian hari, dodolan makanan ini sulit terbendung. Tercatat bahwa era 1970an penumpang bus yang mangkal di barat Warung Pelem turut melarisi kimlo. Baru awal 1998, warung legendaris tersebut berpindah di Balong yang lebih dekat dengan habitat komunitas peranakan.
Fakta menarik bahwa usaha keluarga Mien dibantu oleh orang-orang Jawa dari Wonogiri yang merantau ke kota. Tidak kurang Pak Sastro dulu ikut ngenger (magang) di warung tersebut, sebelum akhirnya berdikari dan moncer dengan nama Timlo Sastro. Artinya, politik identitas gugur dalam kaitan sejarah kimlo ini. Relasi majikan-buruh tidak bersifat eksploitatif seperti kolonial Belanda, melainkan membebaskan bawahannya untuk mandiri dan berkembang bermodal pengetahuan yang ditimba dari juragannya.
Kimlo ditemukan juga di buku resep masakan berjudul “Poetri Dapoer” berangka tahun 1941 yang disusun oleh perempuan Tionghoa asal Solo. Di situ ada panduan memasak kimlo untuk masyarakat lintas etnis. Dulu memakai bahan utama daging babi, tanpa mengikutkan jeroan ayam yang lumrah dipakai dewasa ini.
Dari penggambaran historis lelaki berblangkon ini, terbukti bahwa andil Tionghoa cukup besar di pawon Nusantara. Bahkan, kultur kuliner yang mereka kembangkan menjadi kebanggaan kolektif tanpa mengetengahkan klaim sepihak. Mereka bukanlah liyan seperti warisan kolonial dan Orde Baru. Mereka sudah menjadi Indonesia sepenuhnya.