Ketika disebut nama Nurbaya atau lebih akrab (dan lengkap) Siti Nurbaya, memori kita langsung menuju kepada seorang gadis cantik yang dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan lelaki tua yang tidak dicintainya. Nurbaya adalah korban dari ketidakmampuan bapaknya, Baginda Sulaiman, untuk melunasi seluruh utang-uutangnya kepada Datuk Maringgih.
Akibatnya, sejak Nurbaya dinikahi Datuk Maringgih, seorang lelaku tua bejat yang tak pernah ia sukai, hidupnya sangat menderita. Bahkan, kesedihan dan tangisan menjadi teman yang selalu menemaninya di saat kesepian. Tangisan Nurbaya makin deras ketika mengingat kenangan, rayuan–rayuan, dan pantun-pantun yang terlontar dari mulut Samsu (Samsul Bahri), sahabat sekaligus kekasihnya.
Hikayat Siti Nurbaya ini sudah tidak asing lagi di telinga. Bahkan, kisah ini kerap digunakan oleh muda-mudi sebagai dalil atas tidak bolehnya memaksa seorang anak perempuan menikah dengan laki-laki yang tidak dicintai. Hal ini misalnya tergambar dalam lagu Dewa 19 berjudul Siti Nurbaya.
Tulisan ini tidak akan mengulang kembali bagaimana sejarah hidup ataupun kisah hidup Nurbaya dari awal sampai akhir. Bagi yang ingin tahu ceritanya lebih dalam, silahkan baca buku yang ditulis Marah Rusli, berjudul Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, terbitan balai pustaka, dan tebalnya sekitar 300 halaman.
Membaca, dialektika
Membaca tak hanya sekedar membaca. Membaca juga bukan berarti menjadikan objek bacaan itu sebagai raja yang menguasai diri kita. Membaca tidak seperti ketika A bercermin, lalu yang tampak dalam cermin adalah bayangan A. Ketika A bercermin, bisa saja yang tampak bukan A lagi, tapi B, C, bahkan Z.
Maksudnya, dalam membaca sebuah buku ataupun yang lainnya, harus diupayakan adanya dialektika antara diri kita sendiri dengan objek yang dibaca atau dianalisis. Sehingga, diri pembaca tidak larut dan tenggelam dalam objek, serta tidak menghilangkan keakuan.
Dalam konteks membaca Siti Nurbaya, selain mengenal atau mengetahui pahit dan hancurnya hidup Nurbaya, disana terdapat sesuatu hal yang lebih urgen lagi. Jika membaca lebih cermat lagi buku berjudul Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, ada beberapa ulasan dan buah tangan yang dapat diambil sebagai renungan untuk mengisi kekinian kita. Khususnya pada dialog antara Alimah dengan Nurbaya seputar nasib perempuan dan perdebatan antara Ahmad Maulana dengan istrinya tentang beristri banyak.
Saya tidak ingin mempertentangkan ataupun mengkritisi ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang bolehnya beristri lebih dari satu, tidak sama sekali. Juga tidak ingin memperdebatkan hadis-hadis yang dianggap sebagai misoginis atau merendahkan derajat perempuan. Dengan kata lain, saya tidak akan mengotak-atik ayat Alquran ataupun hadis yang seakan-akan merendahkan perempuan daripada laki-laki, seperti yang dilakukan oleh sebagian tokoh muslim yang mengusung tema perempuan.
Seperti yang diceritakan Marah Rusli, kondisi dan praktek adat pada waktu itu sangat berpihak kepada laki-laki. Artinya, kebanyakan peraturan-peraturan adat sangat tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. Perempuan hanya dijadikan sebagai pemuas dan pelengkap kehidupan lelaki semata. Ditambah lagi dengan beredarnya kabar bahwa laki-laki yang berasal dari keluarga terhomat atau dari nasab yang bagus, maka akan menjadi aib bagi dia kalau tidak mempunyai istri lebih dari satu.
Apa yang dipraktekan Sutan Hamzah dan keluarganya misalnya, mereka menganggap saudaranya, Sutan Mahmud merusak nama baik keluarga, lantaran ia tidak menikahi perempuan lebih dari satu. Padahal bagi Sutan Mahmud, pandangan itu tak ubahnya seperti hewan.
Tradisi, adat, dan kepercayaan seperti inilah yang ditentang oleh Ahmad Maulana, bapak angkat Siti Nurbaya. Sekalipun ia seseorang laki-laki, tetapi pikirannya sangat tidak setuju kalau perempuan dimadu, walaupun ada legalitas dari adat dan agama. Berbeda dengan istrinya, yang setuju atau rela kalau suaminya punya istri banyak, bahkan disuruhnya.
Dampak negatif
Kalau dilihat dari praktek dan realita yang ada dan ditimbang baik dan buruknya, beristri banyak memberikan dampak negatif yang besar daripada manfaatnya. Tak jarang di Minangkabau perempuan yang dimadu saling bermusuhan dan saling jauh-menjauhi. Bahkan diantara mereka ada yang mengambil jalan pintas, seperti pergi ke dukun untuk minta pekasih (pelet) agar suaminya lebih cinta terhadap dia daripada madunya.
Apalagi, Sudah ketetapan Tuhan juga kalau mata manusia ini condong kepada nan rancak. Sehingga, kebanyakan para suami lebih menyayangi istri yang muda daripada yang tua, atau lebih cinta terhadap istri yang cantik daripada yang buruk. Akibatnya, terjadilah ketidakadilan dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Alimah, anak dari Ahmad Maulana adalah salah satu korban dari ketidakadilan suaminya. Suaminya menikah dengan perempuan yang lebih kaya daripada Alimah. Sejak ia menikah dengan wanita lain, Alimah tiada diindahkan lain. Anehnya lagi, suaminya tidak mau menceraikannya. Alimah sempat berpikir, kenapa talak itu harus ditangan laki-laki bukan perempuan?
Sejak itu, Alimah bersumpah tidak mau kawin lagi, ia merasa pernikahan itu tidak ada gunanya. Kebahagian yang ia impikan dari pernikahan tidak tercapai, malah yang ia dapatkan sakit hati, badannya rusak, dan hartanya habis.
[blockquote author=”Siti Nurbaya kepada Alimah”]“Memang demikianlah nasib perempuan. Adakah akan berubah peraturan kita ini? Adakah kita akan dihargai laki-laki kelak? Biar tak banyak, sekedar untuk keperluan hidup saja, cukuplah. Aku tiada hendak meminta supaya perempuan disamakan betul dengan laki-laki dalam segala hal, karena aku pun mengerti juga, tentu tak boleh terjadi. Tetapi permintaanku, hendaknya laki-laki itu menganggap perempuan sebagai adiknya.”[/blockquote]Laki-laki cenderung lebih unggul dan lebih kuat daripada perempuan, secara fisik. Selain takdir Tuhan telah menetapkannya, lingkungan dan pekerjaan yang dilakoni laki-laki juga turut andil dalam pembentukan dan perkembangan fisik dan otaknya. Sementara itu, pekerjaan yang dilalukan perempuan kerap tidak mendukung perkembangan otak dan fisik. Apalagi jika masih ada orang tua yang enggan menyekolahkan anak perempuannya tinggi-tinggi, dengan alasan toh akhirnya hanya sebagai pelayan suaminya kelak.
Kemudian, anak perempuan ketika umurnya mulai meranjak dewasa, ia tidak diperbolehkan keluar rumah dan bergaul sembarangan dengan lingkungan sekitarnya. Perempuan dirawat dan dijaga ketat, bak intan dan mutiara agar tidak dicuri dan dirusak orang lain.
Melihat contoh-contoh semacam itu, maka laki-laki lantas dinilai lebih unggul daripada perempuan. Namun, jangan sampai kelemahan ataupun kekurangan perempuan dijadikan alasan untuk menghinakan dan merendahkan perempuan. Posisi dan kedudukan laki-laki perempuan tidak bisa dinegasikan atau dikronfontasikan.
Salah besar jika ada orang yang suka membandingkan mana yang unggul antara laki-laki perempuan. Keliru juga ketika ada yang menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Sebab, laki-laki dan perempuan adalah dua, dan “letakkanlah sesuatu pada tempatnya,” begitulah seharusnya memposisikan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam pandangan Nurbaya, tidak ada alasan bagi kaum lelaki untuk memandang perempuan itu sebagai budak dalam rumah tangga. Seharusnya posisi laki-laki dan perempuan ibarat menteri luar negeri dan dalam negeri, mereka mempunyai pekerjaan, tanggung jawab dan kedudukan masing-masing. Antara dua menteri ini tidak bisa dibandingkan ataupun diunggulkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab, mereka berbeda dan tidak sama.
Pendeknya, kedudukan perempuan dan laki-laki, jika diibaratkan agama dan filsafat, tidak eloklah dipertentangkan. Biarlah mereka berjalan di rel dan arusnya masing-masing.