Sedang Membaca
Abu Nuwas Mencari Tuhan
Helmi Hidayat
Penulis Kolom

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abu Nuwas Mencari Tuhan

B Wj07pucaa39hx

Suatu siang, Abul Augus Alqomty terpana menyaksikan Abu Nuwas asyik berzikir di sebuah masjid di pinggir kota Baghdad. Lelaki asal Distrik Qomty itu seperti ikut hanyut dalam gerak-gerik Abu Nuwas yang khusyuk berzikir sambil bersila. Ia terus memperhatikan Abu Nuwas yang matanya terpejam, mulutnya komat-kamit, jari-jemari tangannya menari-nari, dan tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti sedang menari Saman. ‘’Jangan-jangan dalam pejam matanya Abu Nuwas sedang melihat Allah,’’ gumam Abul Augus kepada dirinya sendiri.

Cemburu pada Abu Nuwas yang diduganya sedang bercengkerama dengan Allah, Abul Augus memberanikan diri mengusik keasyikan pujangga Baghdad itu dasri zikirnya. Pelan-pelan ia mendekat lalu duduk bersila tak jauh dari Abu Nuwas. Ia menunggu saat yang tepat untuk menyapanya. Benar saja, hampir setengah jam Abul Augus duduk menanti, Abu Nuwas akhirnya membuka mata dan menoleh pada Abul Augus yang tengah memandanginya dengan penuh takjub.

‘’Tuan, saya perhatikan dari tadi Anda asyik sekali berzikir. Apakah sambil memejamkan mata, Tuan tadi melihat Allah?’’ kata Abul Augus membuka percakapan.

‘’Allah tidak bisa dilihat, tapi kehadiran-Nya bisa dirasakan,’’ jelas Abu Nuwas perlahan.

‘’Apakah sekarang Allah di sini? Mengapa saya tidak merasakan kehadiran-Nya?’’

‘’Ya Anda harus menemukan Allah dulu biarpun sekali, barulah nanti Anda akan selalu bisa merasakan kehadiran-Nya di mana pun.’’

Abul Augus tersenyum girang. Sudah lama ia mengembara mencari Tuhan tapi tak pernah menemukan-Nya. Sekarang ia bertemu Abu Nuwas yang mengaku sudah menemukan Tuhan sekaligus merasakan kehadiran-Nya di mana saja ia berada. Abul Augus betul-betul gembira, seperti menemukan kunci yang hilang. ‘’Cepat beritahu saya di mana dan bagaimana saya menemukan Tuhan yang saya cari-cari,’’ sergahnya.

Abu Nuwas tersenyum. Ia menyuruh Abul Augus salat dua rakaat lalu memintanya datang lagi kepadanya untuk menceritakan apa yang dirasakannya selama salat. Dari jawaban Abul Augus, Abu Nuwas akan tahu apa yang harus dilakukan tamunya ini untuk bisa menemukan Tuhan.

‘’Tuan, terus terang, selama salat tadi saya lebih banyak melamun,’’ jawab Abul Augus polos saat ditanya apa yang ia alami selama salat tadi. ‘’Saya melafalkan semua bacaan salat, tapi pikiran saya menerawang ke mana-mana, terutama terbayang semua yang Anda lakukan barusan selama berzikir. Tepatnya, selama salat saya sebenarnya sedang cemburu pada Anda yang bisa asyik berzikir, sementara saya merasa hampa dengan zikir-zikir yang saya baca.’’

Abu Nuwas tersenyum. Ia membuat kesepakatan agar keduanya bertemu di Distrik Qomty untuk kemudian mulai mengembara mencari Allah. Dua hari kemudian, Abu Nuwas tiba di Qomty dengan setumpuk perlengkapan untuk perjalanan jarak jauh. Ia bertekad tak akan pulang dari mengembara sebelum Abul Augus menemukan Allah.

Arah yang mereka tuju adalah pusat kota Baghdad. Di pusat-pusat keramaian pasti ada Allah untuk mengatur peran-peran kehidupan manusia dan rejeki setiap orang. Hanya saja, tidak semua orang bisa merasakan kehadiran Allah seperti yang sekarang dialami Abul Augus.

Karena jarak antara Qomty dan Baghdad sangat jauh dan di antara keduanya terbentang padang pasir Um Jidir yang gersang dan terik, Abu Nuwas mengajak kawannya itu mengqashar dan menjamak salat. Jenis yang dipilih adalah jamak ta’khir. Itu artinya mereka tidak hanya akan mengurangi jumlah rakaat salat, tapi juga menggabungkan salat Zuhur dan salat Ashar di satu waktu, yakni di waktu salat Ashar.

‘’Mengapa kita tidak salat jamak taqdim saja? Kita kan bisa melaksanakan salat Zuhur dan salat Ashar bersamaan siang ini di padang pasir ini?’’ tanya Abul Augus agak heran.

‘’Mengapa Anda cenderung melaksanakan jamak taqdim ketimbang jamak ta’khir?’’ balas Abu Nuwas.

‘’Saya hanya khawatir, siapa tahu sebelum Ashar tiba kita dirampok penyamun di tengah jalan lalu mati terbunuh, padahal kita belum sempat salat Zuhur.’’

Abu Nuwas tersenyum. ”Saudaraku Abul Augus, salat itu sesungguhnya berasyik-asyik dengan Allah. Salat tak boleh menjadi beban, bahkan semua syariat dalam Islam tak boleh menjadi beban. Karena itu tempat salat pun harus nyaman dan mengasyikkan. Jika kita salat di sini, pasir ini panasnya bukan main,’’ kata Abu Nuwas sambil kakinya menginjak-injak pasir.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Khatib Amatir dan Juragan Perahu

“Jidat Anda akan melepuh jika Anda sujud di sini dan itu berarti salat yang Anda laksanakan bukan hanya jadi beban, tapi juga membahayakan. Mari kita cari masjid di desa Oubaidy atau Ishbilya. Jika kita mati sebelum sampai di kedua desa itu, jangan khawatir, kita sudah berniat salat Zuhur. Baru berniat untuk salat saja Allah sudah tersenyum, apalagi jika kita benar-benar melaksanakan niat itu.’’

Abus Augus menganggukkan kepala lalu mengikuti Abu Nuwas melanjutkan perjalanan. Ketika mereka menambatkan unta di halaman masjid di desa Ishbilya, serombongan musafir juga menambatkan unta mereka di taman yang sama. Namun, usai salat, Abu Nuwas dan Abul Augus melihat rombongan musafir itu tidak ikut salat. Abul Augus bertanya mengapa mereka tidak salat dan hanya duduk-duduk santai di taman.

‘’Kami sudah salat jamak taqdim di desa kami. Jadi kami tak punya kewajiban lagi untuk salat Ashar,’’ kata ketua rombongan.

‘’Lalu mengapa Anda berhenti di masjid jika memang tak lagi wajib salat?‘’

‘‘Beberapa ekor unta kami tampak kelelahan, jadi kami berhenti sebentar untuk membiarkan mereka beristirahat di taman masjid ini. Islam mengajarkan kami tidak berlaku zalim kepada semua makhluk, termasuk kepada unta-unta ini.’’

Abul Augus sebenarnya kagum dengan jawaban ketua rombongan musafir, tapi untuk menambah keyakinannya, sekali lagi ia bertanya: ‘’Apakah Anda bersikap yang sama pada semua binatang?’’

‘’Jangankan kepada bintang, bahkan kepada pepohonan kami juga takut berbuat zalim,’’ tandas sang ketua rombongan. ‘’Bukankah seharusnya salat mencegah kita dari berbuat fahsya dan munkar? Untuk apa kita salat jika tetap berbuat fahsya dan munkar?’’

Abul Augus bertambah kagum. Dia pamit untuk melanjutkan perjalanan bersama Abu Nuwas. Di tengah perjalanan ia lebih banyak diam sambil mengendalikan untanya. Tampaknya ia tengah berusaha mencerna semua kalimat mutiara yang dilontarkan ketua rombongan musafir yang tadi dijumpainya. Abu Nuwas lalu memecah kesunyian dengan mengajaknya berdialog. Abul Augus bergairah dan kontan bertanya apa yang dipahami Abu Nuwas tentang ‘’fahsya’’ dan ‘’munkar’’.

‘’Fahsya adalah semua perbuatan buruk yang tidak mengakibatkan kerugian langsung pada orang lain,’’ jawab Abu Nuwas tak kalah bergairah. ‘’Karena perbuatan fahsya yang dilakukan seseorang tak langsung memberi dampak buruk pada orang lain, maka tak semua orang bisa segera mengenali nilai-nilai buruk yang dikandung dalam fahsya itu, lalu Allah memberitahu manusia tentang nilai-nilai buruk buruk tadi lewat ajaran agama-agama.’’

‘’Apa contohnya?’’ sergah Abus Augus antusias.

‘’Contohnya perzinaan, homoseksualitas, atau mereguk minuman memabukkan. Saat dua orang berzina di sebuah kamar tersembunyi, atau melakukan hubungan badan sejenis di tengah hutan, tak ada orang lain di luar mereka dirugikan secara langsung. Karena tak ada korban jiwa akibat perbuatan mereka, banyak orang kemudian berdebat bahwa perzinaan atau hubungan badan sejenis adalah hak pribadi yang tak boleh diganggu. Inilah mengapa nilai-nilai buruk dalam fahsya tidak mudah dikenali oleh umat manusia, lalu Allah mengenalkan nilai-nilai buruk itu pada kita, umat manusia.’’

Abul Augus tertegun di atas untanya.

‘’Sekarang bandingkan dengan perbuatan munkar,’’ lanjut Abu Nuwas. ‘’Munkar adalah perbuatan buruk yang mengakibatkan kerugian langsung pada orang lain, misalnya pencuriaan, perampokan, atau pembunuhan. Karena semua perbuatan itu berdampak langsung pada orang lain, ada korban jiwa akibat perbuatan itu, maka nilai-nilai buruk yang terkandung di dalam kemungkaran gampang sekali dikenali. Seorang atheis yang tak beragama sekalipun percaya bahwa pembunuhan , perampokan, pencurian, semuanya adalah perbuatan buruk, perbuatan munkar.’’

Lelaki asal Qomty yang tengah mencari Tuhan itu benar-benar tertegun mendengar penjelasan Abu Nuwas. Hatinya berbunga, ada kunci ilmu pengetahuan di sampingnya, tapi dia belum juga menemukan Tuhan. Dari masjid di desa Ishbilya, kedua pengembara itu melanjutkan perjalanan menuju pusat kota Baghdad melewati Distrik Idrissi dan Distrik Mustansirya. Suka duka mereka lewati bersama selama delapan hari perjalanan menebus padang pasir yang terik.

Di hari ke-13, sampailah keduanya di bibir kota Baghdad, kota yang sangat dikenal Abu Nuwas. Tapi dia heran, mengapa sejumlah jalan ditutup menuju pusat kota itu. Dua pekan meninggalkan kota Baghdad, pujagga kesayangan Khalifah Harun Al-Rasyid ini tak tahu perkembangan berita. Setelah mencari jalan tercepat menuju pusat kota Baghdad, sampailah ia dan tamunya di alun-alun kota peradaban Islam itu. Rupanya ada ratusan ribu orang berkumpul di sana hendak melaksanakan salat dan inilah yang membuat sejumlah ruas jalan menuju pusat kota ditutup. Mereka sengaja berkumpul di alun-alun kota meski di samping tanah luas itu terdapat sebuah masjid yang sangat besar, yang dibangun oleh Bani Abbasiyyah. Nah, ke tengah kerumunan orang banyak itulah Abu Nuwas masuk lalu mengajak Abul Augus salat berjamaah.

Baca juga:  Abu Miqosh, Sang Bakhil yang Dilema Rokok

Tapi, usai salat berjamaah, kedua pencari Tuhan ini menyaksikan sejumlah orang naik ke atas panggung lebar, lalu dari sana satu per satu mereka berorasi. Beberapa orasi mereka ada yang menggunakan kalimat yang tak selayaknya diperdengarkan usai salat, berisi kritik sosial dan kritik politik terhadap khalifah. Abul Augus yang jarang berkunjung ke pusat kota Baghdad terheran-heran menyaksikan pemandangan ini.

‘’Bagaimana, apakah sejauh ini Anda sudah menemukan Tuhan,’’ tanya Abu Nuwas pada rekannya usai mereka meninggalkan alun-alun kota.

‘’Belum sepenuhnya,’’ jawab Abul Augus dengan nada suara agak masygul. ‘’Di alun-alun tadi bahkan saya merasa tidak salat, jadi boro-boro saya menemukan Tuhan.’’

Abu Nuwas pura-pura terkejut sebab dia tahu arah pembicaraan tamunya. Dia biarkan Abul Augus meracau sendiri dari punggung untanya.

‘’Saya baru saja mendengarkan penjelasan Anda tentang perbedaan fahsya dan munkar, lalu sekarang saya seperti mengalami apa yang tadi Anda lukiskan. Perhatikan, saat menuju pusat kota tadi kita benar-benar merasa kesulitan. Banyak jalan ditutup gara-gara ratusan orang mau salat di tanah lapang. Bukankah ini mirip definisi dan contoh munkar yang tadi Anda jelaskan?’’

‘’Saya tak ingin buru-buru mengatakan apa yang mereka lakukan di alun-alun tadi adalah kemungkaran, siapa tahu mereka benar-benar berniat salat berjamaah,’’ sergah Abu Nuwas.

‘’Benar, saya juga tidak mengatakan itu kemungkaran, toh isi hati dan niat setiap orang melakukan apa saja di muka bumi ini hanya Allah yang maha tahu,’’ jawab Abul Augus hati-hati. ‘’Tapi , gejala dan karakternya mirip dengan definisi dan contoh munkar yang tadi Anda jelaskan. Ada perbuatan dan ada pihak lain yang terdampak langsung. Saya tidak yakin tujuan salat yang Allah perintahkan kepada umat manusia adalah justru menyulitkan orang lain. Bayangkan, betapa sulit kita tadi mencapai pusat kota Baghdad akibat kerumunan orang-orang tadi,’’ jelas Abul Augus berapi-api.

Abu Nuwas tak ingin melayani ajakan diskusi tamunya. Dia sedang mengantar tamunya menemukan Tuhan, bukan untuk bertengkar. Tapi, diam-diam sang pujangga senang, dari lontaran pikiran yang diungkapkan Abul Augus dia menilai tamunya telah menemukan pintu yang benar menuju penemuan Tuhan. Jadilah Abu Nuwas makin bersemangat menemani Abul Augus berjalan jauh meninggalkan pusat kota Baghdad, hingga dua hari kemudian, sampailah keduanya di sebuah masjid kecil di pinggir gurun antara Khadra dan Abu Ghuraib. Tapi, saat menambatkan unta di halaman masjid, keduanya baru sadar bahwa bekal makan mereka sudah habis. Mereka bingung, apa yang bisa mereka makan di kampung kecil di tengah gurun seperti ini?

Di tengah kebingungan, tiba-tiba datang sekelompok kafilah ke masjid itu. Dari pakaian mereka yang kumal, juga unta-unta mereka yang tidak berpelana, mudah ditebak, mereka adalah kaum Badui miskin yang tampaknya melakukan perjalanan jauh dan melelahkan. Usai menambatkan untanya, kepala kafilah menghampiri dan memberi salam persaudaraan pada Abu Nuwas dan Abul Augus. Dari pembicaraan yang singkat tapi hangat, kepala kafilah itu tahu kedua saudaranya yang baru ia temui ini sedang kelaparan di padang pasir tandus. Maka, tanpa basa-basi lagi, segera dia ambil makanan yang dibawa oleh kafilahnya lalu diserahkan pada keduanya.

Awalnya Abu Nuwas menolak karena dia melihat makanan itu sesungguhnya juga bekal terakhir yang dibawa kafilah itu. Jika bekal ini mereka terima, nanti malam kafilah ini akan kekurangan makanan juga. Tapi, setelah kepala kafilah itu memaksanya, akhirnya Abu Nuwas menerima makanan itu bersama linangan airmata haru. Abul Augus bahkan lebih dulu meneteskan airmata.

Baca juga:  Humor: Menurut Dosen UGM Abdul Gaffar Karim, Jumlah Muslim Tinggal 50%

‘’Mengapa Anda berikan makanan ini pada kami padahal bekal makanan Anda juga menipis sementara perjalanan Anda masih jauh,’’ tanya Abul Augus.

‘’Saudara lupa, saya bukan sedang mengurangi bekal makanan kafilah yang saya pimpin, tapi justru sedang menambahnya,’’ kata ketua kafilah itu bersemangat.

‘’Bagaimana bisa?’’ sergah Abul Augus tak habis pikir.

‘’Saudara ingat, pertama, Allah memerintahkan kita bersedekah dalam kondisi sempit maupun lapang dan Ia senang dengan apa yang kita kerjakan ini. Kedua, bukankah Allah juga yang berjanji, jika kita bersedakah satu, Ia akan mengganjarnya dengan 700 kali lipat. Bayangkan, sekarang saya memberi Anda berdua dua kantong gandum ini, nanti akan datang 700 kantong gandum ke punggung unta-unta kami.’’

‘’Bagaimana Anda yakin? Bagaimana seandainya 700 kantong gandum itu tidak datang dan Anda semua mati kelaparan?’’ cecar Abul Augus.

‘’Sekali Anda yakin bahwa Allah ada di samping Anda, jangan pernah meragukan kemampuan-Nya membagi-bagi rejeki. Buktinya Anda berdua sekarang sedang kelaparan di padang pasir, Allah tetap mengirimkan rejeki-Nya buat kalian dengan mengutus kami datang ke masjid ini,’’ kata kepala kafilah sambil menepuk-nepuk dada Abul Augus. ‘’Lagi pula, kalaupun benar 700 kantong gandum atau apa pun rejeki yang Allah akan lipatgandakan itu tidak datang pada kami nanti malam atau besok pagi, itu artinya kami semua akan mati. Jika itu yang terjadi, saya akan lebih berbahagia lagi. Itu berarti Allah yang kami yakini selalu ada di samping kami akan kami jumpai dengan sepenuh keyakinan dan kebahagiaan … ‘’

Sang kepala kafilah balik badan menuju kafilahnya lalu melahap perbekalan terakhir mereka, sementara Abu Nuwas dan Abul Augus makan pemberian mereka sambil meneteskan airmata. Ketika senja tiba, kafilah itu mohon pamit menembus padang pasir di hadapan mereka, sementara Abu Nuwas dan rekannya mengantar mereka dengan sejuta syukur dan sukacita. Ketika gelap mulai merambat, Abu Nuwas mengajak kawannya segera melanjutkan perjalanan tapi Abul Augus menolak.

‘’Kita bermalam di masjid ini saja dan besok kita kembali ke rumah masing-masing.’’

‘’Lho, bukankah kita masih harus mencari Tuhan?’’

‘’Tidak, saya sudah menemukan Allah, Tuhan yang selama ini hilang dari saya tapi Anda nikmati keberadaan-Nya dalam zikir-zikir Anda,’’ jelas Abul Augus dengan nada yakin.

Abu Nuwas hanya terdiam.

‘’Sebetulnya, ketika di awal perjalanan Anda memilih jamak ta’khir dengan mengatakan salat harus mengasyikkan, dengan salat seseorang tak boleh tersiksa atau menanggung beban, saya hampir menemukan Tuhan. Allah menurunkan syariat agama pasti untuk membahagiakan semua hamba-Nya, bukan untuk mempersulit mereka. Ketika kafilah pertama yang kita temui menunjukkan kepedulian mereka pada unta-unta yang kelelahan berkat salat mereka, saat itu saya sebenarnya telah berjarak lebih dekat pada Tuhan yang saya cari. Ketika saya tak merasa bahagia dengan salat berjamaah di alun-alun karena apa yang kita lakukan itu justru membuat orang lain sengsara atau menghalang-halangi aktivitas mereka, sesungguhnya saya merasa tengah diajarkan makna dan tujuan salat yang sesungguhnya. Tujuan salat itu menyelamatkan kemanusiaan, bukan malah melenyapkannya.’’

Abu Nuwas masih terdiam.

‘’Saudaraku Abu Nuwas, sore ini adalah puncak saya menemukan Allah. Sedekah di tengah kemiskinan yang dilakukan kafilah Badui itu pada kita sore ini adalah inti dari tujuan salat yang sesungguhnya, yakni menjaga kemanusiaan. Tanpa pemberian mereka mungkin malam ini kita sudah mati kelaparan. Salat yang mereka lakukan membuat mereka yakin kemanusiaan harus dijaga di mana pun mereka berada, bukan malah melenyapkan kemanuisan itu sendiri. Sekarang saya tambah paham mengapa Allah memerintahkan kita salat. Allah tak butuh salat manusia karena Allah adalah Tuhan yang maha kaya, tak membutuhkan apa pun. Kalaupun Ia perintahkan manusia melaksanakan salat, itu karena manusia memang butuh salat yang dengannya mereka menjadi makhluk spiritual yang terus terpanggil untuk menjaga dan menjunjung tinggi kemanusiaan.’’

Kini Abul Augus memimpin perjalanan. Dia sudah menemukan Tuhan. (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
7
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top