Kita mengenal karya monumental Ibnu Atha’illah, Al-Hikam yang mengacu langsung dari keagungan Alquran dan sunnah Nabi. Dalam kitab tersebut, Ibnu Athaillah sangat piawai dan terampil sebagai pemandu jalan spiritualitas yang terang dan menerangkan. Ia dapat dikatakan “guru spiritual” yang menyalakan obor untuk menunjukkan segala arah di setiap kelokan jalan berliku, hingga manusia dapat menempuh jalan keselamatan, bahkan menyelamatkan sesamanya.
Corak pemikiran Ibnu Atha’illah nampak unik dan berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada aspek ma’rifat. Di antara tokoh-tokoh sufi lainnya, Ibnu Atha’illah tidak mengedepankan aspek-aspek teologis murni, melainkan diimbangi dengan unsure pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Kitab Al-Hikam seakan menjadi poros dan panduan, bahkan perlawanan terhadap realitas dunia yang hiper-modern saat ini.
Di era globalisasi yang gegap-gempita dengan kecenderungan dunia (hedonisme), Ibnu Atha’illah bukan semata mengajarkan kita agar menghindari dunia untuk kepentingan akhirat. Akan tetapi, kita pun dituntut agar mampu bersaing dalam kancah pergaulan yang materialistik. Ia menyadari betul ketertinggalan umat Islam secara ekonomi dan kultural, namun ia tidak menganjurkan kezuhudan yang eksklusif dan mengisolasi diri. Baginya, kemakmuran dan kesejahteraan diperlukan, tetapi ia harus menjadi jembatan (washilah) untuk dapat mensyukuri nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan makhluk-makhluk lainnya.
Tarekat Ibnu Atha’illah
Sekali lagi, Ibnu Atha’illah tidak menganjurkan kita agar meninggalkan dunia yang sudah ada ini. Realitas hidup, fisik, materi, sandang-pangan-papan, bahkan profesi yang kita miliki, harus lebih disimpelkan dan disederhanakan. Dalam kesederhanaan itu, akan menumbuhkan jiwa syukur, karena kita dapat menikmati sebuah rasa. Bukan dengan hidup bermewah-mewahan (mubazir), juga bukan dengan meninggalkan dunia sama sekali. Karena dengan membanting stir meninggalkan kenikmatan duniawi, membuat manusia abai dan kehilangan rasa syukurnya. Sebaliknya, hidup serba glamor dan bermewah-mewahan, akan membuat manusia berlaku zalim atas nikmat dan anugerah Allah.
Lalu, jalan tengah antara sifat kikir yang dilarang agama, dengan sifat loyal dan boros yang dimurkai Allah, adalah menafkahkan harta sesuai jalur yang semestinya. Di situlah Islam menggarisbawahi konsep sedekah, infaq maupun zakat, yang harus dialokasikan sesuai peruntukannya.
Sama halnya dengan ketaatan pada Allah yang harus mutlak, berbeda dengan kepatuhan pada orang tua yang cenderung konservatif. Kepatuhan buta pada orang tua (makhluk) tidak diindahkan oleh agama, di sisi lain manusia harus bersikap hormat dan menghargai kedua orang tuanya, apa pun paham, mazhab maupun agamanya. Jalan tengah yang dianjurkan Ibnu Atha’illah sesuai dengan perintah Allah dalam Alquran, bahwa setiap manusia harus menyikapi orang tuanya dengan bijak dalam kehidupan di dunia ini. Kalaupun berbeda pendapat dan pandangan, juga harus dikemukakan dengan santun dan penuh rasa hormat.
Ibnu Atha’illah termasuk salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan filosof dan ulama besar Imam Al-Ghazali. Ia lebih cenderung pada asketisme, pelurusan dan penyucian kalbu (tazkiyah an-nafs). Kualitas tasawuf yang moderat ini lebih bertumpu pada manajemen qalbu. Sehaluan dengan pendahulunya Abu al-Hasan As-Syadzili, bahwa dengan hati yang bersih, maka seluruh organ-organ tubuh yang mewakili “nyawa” manusia, akan tersucikan dengan sendirinya.
Bagi Ibnu Atha’illah, dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang terus-menerus meninabobokan. “Sesungguhnya, dunia yang hanya berfungsi sebagai permainan dan senda gurau (alla’bu wallahwu) itulah yang dibenci kaum sufi,” tegas Ibnu Atha’illah. Termasuk di dalamnya dunia entertainment dan bisnis, jika sampai lengah dan melupakan Allah, maka manusia akan dibutakan dari rasa syukur, bahwa semuanya itu adalah titipan dan amanah dari Sang Khaliq.
Penghamba dunia
Kita perlu memperolah harta kekayaan, boleh menjadi pengusaha yang kaya raya, tetapi hati kita tak boleh bergantung pada harta dan kedudukan duniawi. Untuk itu, kita tak perlu sedih dan frustasi ketika pada waktunya Allah mengambil apa-apa yang kita miliki. Di sisi lain, kita pun tak boleh pongah dan bangga diri, saat kenikmatan dan kelapangan berada di tangan kita.
Konsep pemikiran Ibnu Atha’illah dalam kitab Hikam-nya, seakan menorehkan jalan tengah yang menjembatani sikap apatis pada sebagian sufi yang menjauhi dunia, di sisi lain sikap angkuh dan egois para penguasa dan hartawan yang sibuk mencari kedudukan duniawi. Bagi Ibnu Atha’illah, maqam ma’rifat dapat ditempuh dengan dua jalan yang esensial. Pertama, jalan “mawahib” yang dikaruniakan langsung kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Kedua, jalan “makasib” yang diperoleh melalui usaha dan perjuangan seorang individu melalui berbagai pelatihan spiritual (riyadlah) seperti zikir, rajin wudlu, salat sunnah, puasa dan amalan-amalan lainnya.
Bagi Ibnu Atha’illah, untuk mencapai derajat-derajat yang lebih tinggi, seseorang harus mengawali dari maqam “taubat” terlebih dahulu. Sebab, tujuan akhir tak mungkin tersampaikan jika tanpa disertai syarat-syarat prinsipil yang menjadi jembatannya. Cara taubat tersebut adalah dengan merenung dan menyendiri (khalwat) disertai membuka memori masa lalu, perihal kesalahan dan kekhilafan yang pernah diperbuat.
Dengan jalan itu, manusia dapat bermuhasabah dan introspeksi diri, sehingga terampil menjadi ahli sabar dan ahli syukur. Dia akan senantiasa bertobat dan beristighfar jika ia mendapati perbuatannya yang dilarang agama, dan ia pun senantiasa bersyukur jika melakukan kebaikan (ketaatan) pada perintah Allah Swt.
Adapun mengenai konsep “zuhud” dalam pemikiran Ibnu Atha’illah adalah kesederhanaan pada sesuatu yang dihalalkan, seperti makanan, pakaian, maupun perabot dan aksesoris yang bersifat duniawi. Meskipun semuanya itu diperbolehkan tapi manusia harus memiliki rasa takut (khauf) untuk tidak menggunakannya secara berlebihan.
Dalam perkara takut ini. Ibnu Atha’illah menyebutnya “zuhud batin” yang dapat diperoleh dengan cara merenung (ta’ammul), agar manusia terhindar dari keangkuhan dan egoisme pada penampilan luar, gelar, pangkat, jabatan kedudukan dan seterusnya.
Mengenai konsep “syukur” sangat terkait erat dengan upaya menyampaikan nilai-nilai kebaikan yang dianugerahkan Allah (tahadduts binni’mah). Bahwa segala kebaikan dan amal saleh yang kita lakukan, hakikatnya lantaran Allah memberi kesempatan, ruang dan waktu, bahkan kekuatan untuk dapat melaksanakannya dengan baik.
Memelihara rasa takut
Rasa takut (khauf) yang dimaksudkan Ibnu Atha’illah, akan meniscayakan seseorang untuk memanfaatkan amanah dan anugerah Allah dengan seotimal mungkin. Sebab, kasih sayang Allah mudah saja dicabut, sehingga manusia terpuruk dalam kehinaan dan kenistaan. Sungguh mudah bagi Allah untuk mengambil kembali harta-kekayaan maupun kekuasaan yang digenggam mati-matian dalam kehidupan dunia ini. Ketakutan pada hukum kepastian yang ditentukan Allah, jika manusia terlena pada aksesoris yang dibanggakan.
Selayaknya manusia berpegang hanya kepada Allah, karena jika Dia berkehendak untuk mengabulkan harapan (roja) dan cita-cita manusia, tak ada kekuatan apapun yang bisa menghalangi dan merintanginya. Juga tak ada kekuatan apapun yang dapat memberi pertolongan, jika Allah berkehendak untuk mencegah dan menghentikannya. Setelah itu, apapun yang dikaruniakan, sedikit maupun banyak, berposisi dalam kedudukan tinggi maupun rendah, hendaknya disertai perasaan ikhlas dan ridho bahwa itulah yang terbaik diberikan Allah bagi kebutuhan hidup manusia.
Untuk itu, puncak dari segala maqam manusia adalah “mahabbah”, bahwa agenda dan rencana terbaik manusia pada akhirnya harus memasrahkan diri pada rencana Allah. Dan manusia harus ikhlas dan sumarah bahwa itulah yang terbaik. Keikhlasan dan keridhoan pada keputusan Allah itulah yang membuat manusia mencapai derajat dicintai oleh-Nya. Rasa cinta itu didasarkan atas ketulusan hati kepada pihak yang dicintainya, tanpa mengharap-harap balas budi maupun balas jasa. Jika pun balas budi itu diberikan oleh Yang dicintai-Nya, ia akan pasrah menerima bentuk apapun balas budi yang dianugerahkan kepadanya.
Biarlah Allah Yang Maha Tahu balasan terbaik dari setiap hamba-hamba yang dicintai-Nya. Allah Maha Adil, dan Maha Membalas setiap kebaikan dari hamba-hamba-Nya. []