Beberapa waktu lalu, saya masih ingat dalam suatu acara pertemuan sastra di kaki Candi Borobudur, Magelang, yang membahas tentang karya sastra berlatar setting di zaman kerajaan Majapahit (Gajah Mada). Saat itu, beberapa penulis yang menyebut dirinya ‘novelis sejarah’ menyerang dan memaki-maki karya seorang penulis (sebut saja Fulan) yang pernah mengambil referensi dari Klenteng Sam Poo Kong, serta menyebut Nyo Lai Wa sebagai salah satu dari raja-raja Majapahit.
Yang tak habis pikir dalam pengamatan saya, banyak sekali para sastrawan dan penyair yang terlampau menilai Fulan sebagai seniman “sableng” yang layak dikriminalisasi. Caci-maki berhamburan, ditujukan kepada editornya yang hadir pada saat itu. “Berani-beraninya si Fulan itu menyebut ada raja Majapahit dari keturunan Tionghoa!” demikian selorohan seorang novelis menggebu-gebu. Sebagian dari mereka tersenyum, beberapa dari mereka tertawa terbahak-bahak. Timbul pikiran nakal dari seorang sahabat yang turut hadir, membisiki saya untuk menyebarluaskan momen menegangkan itu melalui medsos hingga menjadi viral. Tapi saya menolak usulan itu, karena menyangkut citra dan kredibilitas dunia kepenulisan dan kesastraan Indonesia.
Kesalahan apa yang dilakukan si Fulan? Kenapa mereka yang hadir kalang-kabut tak karuan. Bukankah Fulan itu hanya menulis sebuah karya fiksi yang sah-sah saja mengambil dari rujukan manapun sebagai sumber datanya. Fulan tak pernah menyatakan dirinya sebagai ‘sejarawan’ yang memang bekerja berdasarkan fakta dan data yang akurat. Para historiografer memang tidak boleh mengada-ada, tetapi novelis lebih pada kekuatan nalar dan imajinasinya. Kalau saja misalnya, Herman Janutama menulis novel (bukan karya ilmiah) lantas menyebut-nyebut Sumpah Palapa adalah karya yang merujuk dari pemikiran Ali bin Abi Thalib (Nahjul Balaghah) itu pun sah-sah saja. Tapi masalahnya, Herman menulis karya ilmiah, hingga layak menjadi perdebatan publik apakah dia itu pantas dinobatkan sebagai penemu kesultanan Majapahit, ataukah tidak layak sama sekali?
Kembali kepada pertemuan sastrawan di kaki Candi Borobudur yang lebih bernuansa mistik ketimbang diskusi ilmiah. Tarik-menarik kepentingan senior dan yunior, dominasi penulis lama ketimbang pendatang baru, hingga ke soal perebutan kekuasaan untuk mendominasi pengaruh mereka di dunia penerbitan hingga media massa. Lebih baik saya mengamit lengan sahabat saya, meluncur ke jalan Malioboro untuk membeli beberapa buku yang layak dibaca pada minggu itu.
“Bukankah si Fulan itu menulis karya sastra? Apa yang mesti dipersalahkan jika pun dia menulis Gajah Mada menikah dengan Syahrini atau Ayu Ting Ting? Apa yang menjadi tujuan mereka sebenarnya?” Saya tak perlu menjawab keluhan sahabat saya, “Nanti kamu akan paham sendiri jawabannya.” Saya membelikannya sebungkus rokok. Setelah menghisapnya beberapa kali, sahabat saya nampak begitu tenang dan tidak lagi rewel.
Bahkan seorang Pramoedya Ananta Toer yang menguasai banyak literatur sejarah, tetap belum bisa dikatakan sejarawan, manakala ia menulis Arus Balik, Bumi Manusia atau Anak Semua Bangsa, yang memang bahan bakunya adalah sejarah Nusantara. Tetapi, karena ia menulis karya sastra, maka lebih layak dikatakan sebagai pegiat sastra, yang melahirkan buku novel bercitarasa sejarah, namun ia tetap bukan buku sejarah. Kecuali di usia senjanya, ketika ia menyelesaikan beberapa jilid buku sejarah “Kronik Revolusi Indonesia”.
Beberapa saat setelah acara bedah buku Perasaan Orang Banten yang pernah diadakan Rumah Dunia, Banten, saya sempat ngobrol dengan orang tua yang memperagakan goloknya dengan pakaian khas jawara Banten. Suaranya kurang terdengar jelas, lirih, samar-samar, tapi sepintas saya mendengar pengakuannya seakan dia adalah titisan dari Presiden Soekarno. Hal itu mengingatkan saya ketika menjadi pembicara dalam acara bertajuk “Jurnalisme Keagamaan” di Kota Denpasar yang diselenggarakan Kementerian Departemen Agama. Di aula hotel tiba-tiba muncul seorang pemuda tambun berwajah bulat dan tembem, ikut makan malam bersama kami, serta mengaku-ngaku dirinya adalah titisan Gajah Mada.
Dalam ilmu sejarah, sesuatu dapat dikatakan sebagai kepastian kalau ada bukti dan data yang valid dan akurat. Tentu saja kebenaran sejarah tak bisa diterima jika berdasarkan wajah yang mirip, atau dimirip-miripkan. Terlebih hanya berdasarkan wangsit dukun yang memberi petuah setelah bersemedi 40 hari 40 malam di Gunung Kawi, Lawu atau Gunung Karang.
Seperti halnya tafsir Alquran atau Alkitab, hakikat sejarah tidak bisa bermakna tunggal. Belum tentu seorang sejarawan sepakat ketika ada sejarawan lain memberi fatwa bahwa Gajah Mada beristri satu, dua atau empat. Atau dia frustasi dan putus asa karena ditolak cintanya oleh Dyah Pitaloka dari Pasundan. Lalu, memilih bujangan seumur hidup. Bahkan ketika Kidung Sunda menyebut nama Ken Bebed sebagai istri Gajah Mada, itu pun belum menjadi bukti kebenaran yang valid. Karena sebuah tembang dan dongeng yang dikisahkan para tetua, masih belum bisa dijadikan sumber primer yang berbobot A1.
Konon, ada seorang paranormal yang tidur di atas makam Gajah Mada di Bali, serta mendapat petunjuk wangsit tentang kerajaan Majapahit. Ingin saya tegaskan sekali lagi, ketika data-data tentang kelahiran dan kematian sangat minim, setiap peneliti tidak berhak menentukan kepastian sejarah bahwa Gajah Mada wafat di Bali, Lombok maupun Madagaskar. Jawara dan dukun paling sakti sekalipun, yang mengaku-ngaku dirinya dapat ilham hanya gara-gara tidur di atas gundukan tanah yang diklaim sebagai makam Gajah Mada, dia tidak berhak memastikan bahwa itu adalah makam Gajah Mada. Jikapun ia menyatakan kebenaran yang pasti, pernyataan itu hanyalah bohong dan dusta belaka.
Dalam literatur Alquran, kebenaran sejarah dinyatakan secara eksplisit dalam surat al-Kahfi ayat 22, tentang perdebatan kaum Quraisy yang mempersoalkan bukti ilmiah dari sejarah Ashabul Kahfi. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa orang-orang yang sembunyi dalam gua untuk menghindari anarkisme raja zalim itu adalah tiga orang bersama anjingnya. Ada yang mengatakan lima orang bersama anjingnya, bahkan ada yang menyatakan tujuh orang bersama anjingnya. Dalam ayat ini Tuhan menegur mereka yang berdebat bertele-tele menyangkut masalah yang tidak substantif diperdebatkan. Padahal, hanya Allah Yang Maha Tahu kebenarannya.
Bukan hanya kebenaran dan validitas data sejarah. Pada ayat berikutnya (al-Kahfi: 23-24) Allah memperingatkan Rasul agar tidak memberikan kepastian terhadap janji yang akan diputuskan hari esok. Katakanlah ‘Insya Allah’ terhadap sesuatu yang belum pasti. Karena sebesar apapun ambisi, hasrat dan cita-cita sang penguasa, pada akhirnya setiap individu dibatasi oleh kesehatan tubuhnya, kemampuan ekonominya (rezeki), rasa lelah, kantuk dan lupa, ilmu yang terbatas, terutama dibatasi pula oleh umur dan ajal yang kepastiannya hanya ada dalam genggaman Allah Swt.