Mahatma Gandhi pernah menyatakan bahwa seorang humanis sudah pasti seorang nasionalis, tetapi seorang nasionalis belum tentu menjadi humanis. Bila kita geser pada perspektif agama, dapat pula diartikan bahwa seorang humanis sudah pasti seorang religius. Tetapi, pengertian “religius” di sini bukan dalam arti harfiah maupun tekstual, melainkan benar-benar manusia beriman sejati yang percaya dan yakin pada kekuasaan Yang Maha Esa.
Apakah manusia beragama sudah identik menjadi manusia humanis dan nasionalis? Semestinya begitu, jika orang itu dapat memahami ajaran agamanya dengan baik. Sebab, agama mengajarkan kita menghargai dan menghormati kemanusiaan maupun kewarganegaraan. Kita diperintahkan menghargai umaro (yang baik) dan menuruti aturannya. Sama halnya kita pun diajarkan agar berguru pada ulama yang baik. Tentu dengan pengecualian, karena jikalau kita mendapatkan bukti-bukti kebenaran, bahwa ulama yang kita hormati tidak benar, atau pemimpin negara yang kita hargai juga tidak benar, maka kita harus menghindarinya, atau berpaling darinya dengan cara-cara yang terhormat.
Seorang beragama yang tidak nasionalis dan tidak menghormati pemimpin negaranya, bukanlah seorang religius yang baik. Artinya, dia memang beragama secara KTP atau ritual, tetapi dia bukan seorang beriman yang baik. Mungkin saja dia mengenakan jubah, berjenggot dan jidatnya menghitam, tetapi belum tentu dia seorang yang memiliki kualitas iman dan kesalehan yang mumpuni.
Seorang nasionalis yang menjunjung tinggi bangsa dan negaranya, serta melindungi umat beragama di negeri yang dipimpinnya, sudah tentu seorang humanis, dan boleh jadi seorang religius yang baik. Terkait dengan ini, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang pemimpin musyrik yang menyelenggaraan penataan bernegara dengan baik dan adil, lebih mulia derajatnya ketimbang pemimpin muslim yang anarkis dan berlaku sewenang-wenang.
Di sisi lain, ada tipikal kaum humanis yang tidak mengikatkan diri sebagai penganut agama tertentu, namun dia menjadi warganegara yang baik. Secara kasatmata kita melihat mereka tidak religius, tetapi boleh jadi dia saeorang beriman yang percaya pada kekuasaan Sang Khalik yang menggenggam jagat raya ini. Barangkali kita mengenalnya dengan “agnostik” yang tidak mengikatkan diri pada agama tertentu namun ia seorang yang percaya (theis). Nah, tulisan ini mencoba merumuskan peristilahan yang akrab dengan nuansa keindonesiaan, serta keilmuan masyarakat intelektual kita.
Rasulullah sendiri pernah meragukan kapasitasnya sebagai manusia utusan, terutama sebelum datang surat “al-Dluha” yang memperingatkan Muhammad agar jangan ragu dan bimbang karena Tuhan tak akan meninggalkannya juga takkan membencinya. Artinya, setiap manusia boleh jadi memiliki potensi untuk bimbang dan ragu dalam fase kehidupannya. Apakah saya ini benar? Apakah jamaah dan kelompok kami yang paling benar? Ataukah, selama ini kita merasa benar, karena tidak melihat dan memahami adanya kebenaran yang lebih luhur di luar sana?
Jangan-jangan yang selama ini kita anggap baik dan benar, lantaran kita tidak peka melihat adanya potensi kebenaran di luar sana?
Sekelompok masyarakat Baduy Arab yang menghormati aturan adat dan agamanya, suatu kali bertanya pada Rasulullah, apakah kami ini sudah beriman? Rasulullah kemudian menjawab, bahwa mereka baru “berislam” tetapi belum beriman dengan baik. Karenanya, dibutuhkan proses untuk mencapai fase kepekaan dan luasnya wawasan keilmuan, hingga seseorang dapat dikategorikan sebagai manusia beriman yang dewasa.
Seorang humanis yang liberal belum dikatakan seorang humanis yang baik, manakala ia melanggar aturan-aturan nasionalnya sebagai seorang warganegara, juga mengganggu keseimbangan hidup beragama (dan berbudaya) dalam tatanan organisasi kebangsaan. Memang ada batas-batas yang menunjukkan seseorang dapat dikatakan religius, humanis maupun nasionalis. Dan ketiganya memiliki potensi ketaatan dan penyimpangannya.
Dalam ajaran Islam dan setiap agama yang baik di dunia ini, mesti mengajarkan perbedaan antara orang dekat, orang terdekat dan orang jauh. Dalam hal ini Albert Einstein pernah menyatakan, bahwa jika kita ingin menjadi humanis yang agung, maka kita harus mengenggam seluruh semesta untuk mencintai semuanya. Tetapi faktanya, manusia diciptakan serba terbatas, dan juga dibatasi oleh lingkungan keluarga dan saudara-kerabat tertentu, bahkan di negeri mana ia harus memutuskan sebagai masyarakat dan warganegara.
Secara alami, bahkan kita pun tak bisa menentukan diri, harus lahir dari siapa, kapan dan di negeri mana. Bahkan, kita tak bisa memilih sebagai umat Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, ataukah umat Nabi Muhammad. Kita sudah diciptakan ada dan mengada. Kita diperintahkan untuk lebih menghargai nilai-nilai keberadaan dan kedekatan kita. Siapa keluarga, saudara-kerabat, guru, pemimpin, serta kapan, di negeri mana kita hidup? Kita semua bertanggungjawab untuk mengamalkan nilai-nilai yang lebih utama dan prioritas, ketimbang sibuk mendahulukan hal-hal yang kurang prinsipil dan sampingan belaka.
Kita diperintahkan agar menjadi seorang religius, sekaligus nasionalis dan humanis. Bahkan, kita diperintahkan untuk menghormati orang tua, apapun agama, bangsa, dan betapa pun kurang sepakatnya kita pada kepercayaan dan perbuatan yang dilakukan mereka. Jika pun kita perlu menentang dan menghindari mereka, tetap ada batas-batas moral untuk memperlakukan mereka dengan baik selama hidup di dunia. Ini pelajaran universal yang ada dalam petuah Confucius, Alexander Agung, Sidharta Gautama hingga Rasulullah Muhammad Saw.
Kita tidak berhak memonopoli ajaran kebaikan sebagai milik agama kita saja. Kita tidak berhak memandang agama kita secara saklek dan eksklusif, seakan-akan ia menjadi satu-satunya penerapan umum bahwa tanpa ajaran itu kehidupan umat manusia akan biadab dan menyimpang dari kebenaran.
Agama yang kita anut sebagaimana orang tua kita, diciptakan oleh ketentuan Tuhan secara adil dan proporsional. Jika kita dianugerahkan terlahir dan terdidik sebagai “muslim”, tak bisa merasa angkuh dan sombong bahwa kita telah mendapat jaminan surga. Lalu, mendiskreditkan agama lain, bangsa lain, dan kepercayaan lain, kemudian diklaim sebagai kafir yang pasti menjadi ahli neraka.
Kita tidak berhak mengklaim diri sebagai pemegang kewenangan tunggal atas kunci surga. Bahkan, nabi kita walaupun memberi syafaat, namun hakikatnya bukanlah Sang Pemegang kunci surga. Hanya Allah-lah Yang berwenang di atas segala kewenangan makhluk-makhluk-Nya.
Kalaupun seluruh penghuni langit memprotes, kenapa orang yang merasa dirinya soleh itu dimasukkan ke dalam neraka? Mereka hanya bisa memprotes dan hanya Allah Yang Maha tahu jawabannya, bahwa “merasa” belumlah identik dengan “menjadi” yang sebenarnya.
Boleh jadi seorang guru memprotes, mengapa Tuhan menggolongkan muridku sebagai penghuni surga yang lebih tinggi kedudukannya dari aku? Tetapi, hanya Allah Yang Maha tahu kualitas keilmuan seseorang yang lebih ditakar dari nilai keikhlasannya, ketimbang mengharap-harap prestise, pujian manusia, maupun kedudukan duniawi.
Siapa tahu orang yang kita anggap “ahli maksiat” ternyata mendapat ampunan dan kedudukan baik di sisi Allah, sementara kita yang masih sibuk menilai dan menganggap orang lain kotor dan jahat, belum sempat bertobat dan masih bergelimang keangkuhan dan kesombongan hingga akhir hayat?
Kita kadang menganggap penting apa yang ada di sekitar kita, padahal sudahkah kita bersikap bijak untuk melihat dan memahami apa-apa yang dianggap penting oleh orang lain? Jangan-jangan apa yang kita anggap baik dan benar selama ini, ternyata dalam pandangan Allah adalah sesuatu yang keliru dan menyimpang?
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mestinya sudah melampaui linatasan dari semua kategori itu. Seorang muslim yang baik, mesti dia seorang religius, humanis dan nasionalis juga. Seorang non-muslim yang memperjuangkan nasionalisme negaranya, mungkin saja bukan seorang religius, tetapi tentu dia seorang humanis yang peduli pada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan hanya mungkin ditegakkan oleh mereka yang memahami kualitas kebenaran dan kebaikan, terlepas dari manapun sumber kebaikan dan kebenaran diperoleh. Bisa bersumber pada agama, filsafat, kepercayaan, maupun dari nilai-nilai luhur kearifan lokal.
Pemahaman agama yang terlampau mengikatkan diri pada hukum-hukum baku secara lateral dan tekstual, boleh jadi akan terkalahkan peran dan fungsinya oleh tradisi dan kearifan lokal yang mampu beradaptasi dengan perkembangan global. Seorang yang taat pada hukum-hukum agama, namun tidak mengindahkan (menjelekkan) hukum-hukum perubahan dan kemajuan yang sama-sama anugerah Allah juga, berarti ia percaya pada sebagian ciptaan Tuhan tetapi mengingkari sebagian lainnya.
Islam adalah agama universal, dan hendaknya seorang muslim mampu beradaptasi bahkan sanggup berdiri di baris depan dalam menghadapi tantangan universalitas. Sebagai umat penengah (ummatan wasatha) kita harus sanggup mewarnai zaman, dan tidak hanya menjadi buih dalam arus gelombang yang tak menentu.
Mari kita mengadakan muhasabah untuk terus berkaca dan intropeksi diri, senantiasa bersikap rendah diri di hadapan Tuhan, serta rendah hati di hadapan manusia dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. ***