Sedang Membaca
Ibrahim bin Adham: Ketika Sang Raja Memilih Jalan Tasawuf
Hafis Azhari
Penulis Kolom

Pengarang novel "Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten"

Ibrahim bin Adham: Ketika Sang Raja Memilih Jalan Tasawuf

Mengingat beratnya beban dan tanggungjawab pemimpin untuk memikul amanat, tidak jarang raja-raja muslim (khalifah) yang menolak anaknya agar melanjutkan tongkat estafet kekuasaan. Dalam sistem kerajaan, biasanya anak laki-laki dipersiapkan untuk menduduki tampuk dinasti kerajaan. Tetapi, dalam sistem kekhalifahan, kursi kepemimpinan tak ubahnya jabatan publik yang mesti diwariskan kepada yang memiliki kapasitas dan kompetensi berdasarkan hikmah kebijaksanaan, keadilan dan permusyawaratan.

Bahkan, Khalifah kedua dalam Islam (Umar bin Khattab) tetap menolak anaknya untuk melanjutkan kursi kepemimpinan, meskipun masyarakat menilai Abdullah bin Umar memiliki syarat-syarat yang memungkinkan ia dapat dijadikan pemimpin yang adll. Tapi, Umar justru menghendaki agar puteranya dapat menjadi bapak dan kepala keluarga yang baik bagi istri dan anak-anaknya.

Barangkali Umar bin Khattab lebih paham dan mengetahui karakteristik puteranya ketimbang kebanyakan masyarakat awam. Sehingga, ia memiliki otoritas untuk menilai Abdullah bin Umar yang dikhawatirkan tak mampu mengemban amanat atau menegakkan keadilan. Bagi Umar, bersikap adil dan bijaksana kepada keluarga dan orang-orang terdekat adalah cikal-bakal yang membuat seseorang layak diangkat menjadi pemimpin adil di tengah masyarakatnya.

Alkisah, dalam puluhan abad silam, Nabi Ibrahim pernah meninggalkan istri dan anaknya (Ismail), sampai kemudian memancar mata air zamzam dari hentakan kaki bayi yang masih menyusu tersebut. Ketika sang anak tumbuh remaja, dan sangat menarik untuk dijadikan sahabat, Tuhan justru memerintahkannya agar mengorbankan anak yang dicintainya itu, sebagai simbol kebaktian dan penghambaan diri. Tuhan memerintahkannya agar membunuh Ismail dengan menyembelih dan mengalirkan darahnya ke tanah. Mungkin dalam konteks saat ini, perintah pengorbanan itu dimanifestasikan dalam bentuk penembakan dengan senjata, ketimbang disembelih dengan pisau maupun golok. Ibrahim menuruti perintah Tuhannya, meski kemudian sosok Ismail diganti dengan pengorbanan domba gemuk (harta), sebagai konsekuensi dan wujud kepatuhan pada perintah Tuhan.

Kecintaan pada harta dan anak-anak, memang diwanti-wanti dalam ajaran Islam (Alquran) agar tidak membuat manusia terbius dan terlena, hingga melupakan kebaikan dan kebaktian pada Allah Swt. Terlebih bagi seorang pemimpin umat yang harus menjadi teladan (uswah hasanah) di tengah budaya dan peradaban umatnya.

Untuk tulisan kali ini, saya ingin menampilkan seorang raja bernama Ibrahim bin Adham, yang merasa gerah ketika duduk di singgasana kerajaan, kemudian ia mengembara untuk mendalami ajaran-ajaran Islam. Sampai akhirnya, ia tertarik mendalami dan menjalankan lelaku dari ajaran-ajaran tasawuf. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansyur. Ia lahir di Balkh (sekarang bagian dari Afghanistan), dan masih memiliki garis keturunan dari khalifah kedua Umar bin Khattab.

Mencari mursyid

Ibrahim bin Adham meninggalkan takhta kerajaannya di Balkh (sekarang bagian dari Afghanistan). Garis nasabnya terhubung dengan Umar bin Khattab yang merupakan khalifah kedua dalam sejarah kepemimpinan Islam. Suatu hari, ia hengkang meninggalkan istana Balkh, lalu berangkat menuju Syam (Suriah) untuk menemui guru-guru tasawuf. Di antara guru-guru (mursyid) yang ditemuinya adalah Imam Baqir, Muhammad bin Ziyad al-Jumahi, al-A’masy, hingga Malik bin Dinar.

Rekam jejaknya cukup jelas. Ibrahim pernah bergelimang dalam kemegahan duniawi, di tengah kenyamanan menikmati status quo. Banyak orang berdecak kagum lantaran nekat memilih hidup zuhud dalam petualangan dan pengembaraan rohani. Namun demikian, untuk mencari makan dan menafkahi dirinya, Ibrahim bertekad untuk tidak mengemis, tetapi berusaha bekerja untuk mencari rizki yang halal.

Baca juga:  Kumpulan Renungan untuk Muhasabah Diri Disaat Kau Merasa Tak Berguna dan Putus Asa

Ia pernah menjadi kuli panggul, mengurus kebun, membantu panen buah-buahan, hingga menerima imbalan dari sang pemilik kebun. Setelah singgasananya ditinggalkan, kini ia menjejakkan kakinya di bumi manusia sebagai anak semua bangsa. Di sisi lain, masih banyak orang mengenalnya sebagai mantan raja yang memilih jalan tasawuf, meskipun ia berusaha untuk menyamar dengan pakaian lusuh dan penampilan ala kadarnya.

Karena ia pernah menikmati kemakmuran awal dan hidup serba ada, justru pilihannya untuk memilih zuhud menjadi perhatian khusus di kalangan para sufi di berbagai daerah, dari wilayah Suriah (Syam) hingga kota Mekah. Tidak jarang orang menjulukinya sebagai tokoh sufi yang unik dan eksentrik, meski ia tak terlampau mempedulikan julukan apapun yang disematkan kepadanya.

Kisah-kisah menarik mengenai dirinya, termasuk berbagai karomah yang dimilikinya, telah ditulis oleh para ulama dalam berbagai versi. Namun menurut saya, versi yang ditulis pujangga dan sastrawan lebih mengenai sasaran, karena keterampilan mereka dalam menuangkan gagasan sejurus dengan semangat zamannya. Uniknya perjalanan hidup sang maestro sufi ini, pernah pula ditulis oleh pujangga muslim Fariduddin Attar dalam “Tadzkiratul Awliya” atau “Manthiq at-Thayr”. Tetapi kali ini, izinkan saya membuat versi yang disesuaikan (elaborasi), agar dapat disimak oleh masyarakat yang hidup di era milenial saat ini.

Anak Ibrahim bin Adham

Selama puluhan tahun Ibrahim bin Adham menjalani hidup zuhud dalam kesendirian, hanya ditemani para sahabat yang juga menjalani lelaku hidup tasawuf. Seringkali, ia menetap di salah satu sudut kota Mekah, untuk kemudian melaksanakan ibadah di lingkungan Masjidil Haram (dekat Ka’bah).

Ketika sang anak tumbuh dewasa dan menjabat kesultanan di istana kerajaan Balkh (Afghanistan), sang ibu akhirnya mengabarkan perihal ayahnya yang mengembara dan menghilang entah ke mana. Namun kemudian, terdengar desas-desus tentang keberadaan sang ayah yang sedang menjalani lelaku hidup sufi di sekitar Masjidil Haram.

Kontan sang anak bersiap-siap dengan beberapa kaki-tangannya, sambil membawa 4.000 rombongan haji menuju Mekah. Barangkali ia dapat berjumpa dengannya setelah hasil penyelidikan mengabarkan bahwa sang ayah konon bergabung dengan para sufi di sekitar Kota Mekah. Saat pelaksanaan ibadah haji, puluhan orang dikerahkan untuk menyelidiki jejak ayahnya di sekitar Masjidil Haram.

Ketika seseorang mengantarkan sang anak untuk menjumpai ayahnya, si anak terheran-heran karena ia diajak memasuki pemukiman kumuh yang dihuni oleh masyarakat miskin di emperan kota Mekah. Saat ditunjukkan yang manakah Ibrahim bin Adham, sang anak terperanjat kaget dan seketika menjauh lantaran orang tua itu berpakaian kumal dan lusuh, sedang mengangkat kayu bakar bersama seorang temannya, tanpa mengenakan alas kaki.

Putera dinasti kerajaan Balkh itu menatap dari kejauhan dengan tetesan air mata yang berlinang. Ia penasaran untuk terus membuntuti ayahnya, yang kemudian ia dan pengantarnya menyusuri lorong-lorong menuju pasar yang ramai pengujung. Lalu, ia mendengar ayahnya berkata kepada para pedagang, “Ayo, siapakah di antara kalian yang mau membeli barang yang halal ini?”

Seorang tukang roti menyahut dengan lantang, “Mari, saya tukarkan roti yang halal ini dengan kayu bakar Anda.”

Baca juga:  Hikmah atawa Nasehat Imam Syafi'i

Sang anak menjauh, karena seandainya mengakui sebagai anak kandungnya saat itu, dikhawatirkan orang tua itu akan kaget dan histeris, atau boleh jadi ia akan terjatuh pingsan di hadapannya. Sang anak berpikir untuk mengambil langkah yang memungkinkan dapat berjumpa pada momentum yang pas, dalam keadaan tenang dan nyaman. Sehingga, rasa rindu selama puluhan tahun dapat tercurahkan dan terlampiaskan dengan sebaik-baiknya.

Ia mengurungkan niatnya untuk kemudian pulang ke istana kerajaan, dan meminta nasehat ibunya. Sang ibu kemudian mengusulkan, “Sebaiknya kamu tunda dulu pertemuan itu. Mungkin musim haji tahun depan bisa kita jumpai bersama-sama.”

Setahun kemudian

Ibrahim bin Adham sedang duduk tepekur bersama para sahabat dekatnya. Pandangannya menerawang, seraya menasehati mereka, “Sebaiknya kalian menjaga pandangan mata kalian, karena di musim haji tahun ini akan banyak anak-anak muda, termasuk para wanita yang ikut menunaikan ibadah haji.”

Pada saat pelaksanaan thawaf, seorang pemuda gagah nan tampan tiba-tiba mendekati Ibrahim bin Adham. Seketika ia membalas tatapan mata pemuda itu, seakan-akan menyelidikinya. Para sahabatnya terheran-heran, mengapa Ibrahim melakukan hal-hal aneh yang tidak selazimnya. Padahal, sebelum pelaksanaan haji ia sudah mewanti-wanti jamaah agar berhati-hati dengan pandangan mata.

Setelah pelaksanaan thawaf, beberapa sahabat menghampirinya, kemudian menegurnya mengapa Ibrahim melakukan ibadah sambil bertingkah aneh menatap seorang pemuda tampan tadi. “Apakah kalian juga memperhatikan saya?” tanya Ibrahim terkesiap.

Astaghfirullah al-adzim, ada apa Syekh?”

Dengan mata menerawang, ia pun mengingat peristiwa tadi saat pemuda itu mengamati gerak-geriknya. Tak lama kemudian, seorang sahabat menenangkannya, “Ya sudahlah, semoga Allah mengampunimu, Sahabatku.”

Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan Ibrahim bin Adham, salah seorang sahabat mengunjungi perkemahan rombongan haji dari Balkh (Afghanistan). Di antara ratusan jamaah, terdapat seorang pemuda sedang duduk di atas mahligai didampingi seorang ibu sambil membaca Alquran. Kemudian, ia meletakkan Alquran itu, ketika muncul seorang tamu menanyakan, apakah di tenda itu ada seorang putera dari Ibrahim bin Adham.

Pemuda dan ibunya menyambut kedatangan tamu sambil menyatakan bahwa kemarin pada saat pelaksanaan thawaf, sang pemuda sempat melihat gerak-gerik orang tua yang memperhatikan dirinya. Namun, ia belum tahu pasti apakah orang tua itu ayahnya atau bukan. Seketika itu, sang pemuda dan ibunya diantar untuk menemui Ibrahim bin Adham yang sedang duduk di salah satu sudut Ka’bah (Yamani) bersama para sahabatnya.

Begitu melihat suaminya, si ibu kontan menjerit histeris, tak mampu mengendalikan dirinya. “Itu ayahmu, Nak! Iya benar, itulah ayahmu!!”

Para sahabat Ibrahim terperangah kaget, seraya menitikkan air matanya. Ibunya masih menjerit-jerit di hadapan Ka’bah. Sang putera segera menghambur dan memeluk ayahnya erat-erat sambil menangis sesenggukan.

Ibrahim bin Adham menyambut pelukan sang anak yang pernah ditinggalkannya sejak puluhan tahun lalu, ketika ia masih menyusu pada ibunya.

Ia menatap wajah sang anak sambil memegang kedua bahunya, “Agama apa yang kamu anut, Nak?”

“Islam,” jawab sang anak pelan.

“Alhamdulillah, apakah kamu bisa baca Alquran?”

“Bisa, Ayah.”

“Alhamdulillah, lalu apakah kamu sudah mendalami agama yang kamu anut?”

“Sudah,” jawabnya mengangguk.

“Ya Allah, selamatkanlah kami….” Tangan dan muka Ibrahim menengadah ke atas. Seketika itu, puteranya yang masih dalam pelukan sang ayah, mengalami sesak nafas, terkulai lemas, sampai kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (16): Doa Ibu Imam Abdullah

“Kenapa Syekh… ada apa dengan anakmu?”

“Kenapa dia wafat dan menjadi korban?” tanya yang lainnya.

Bebagai pertanyaan berkecamuk di benak para sahabatnya. Mereka saling bersitatap, menanyakan apa yang menyebabkan kematian seorang putera tercinta, dalam pelukan ayahnya itu.

Kilas balik peristiwa

Selesai penguburan jenazah anaknya, Ibrahim duduk tepekur sambil dikelilingi para sahabatbya ia bercerita mengenang petualangan dan pengembaraannya dulu, saat tiba di Dzatul Irqi: “Suatu hari, di tengah padang pasir, saya pernah menyaksikan sekitar 70 mayat bergelimpangan, dengan darah keluar dari lubang-lubang telinga mereka. Namun kemudian, saya melihat sesosok tubuh masih bergerak-gerak dan bangkit dari onggokan-onggokan mayat itu.”

“Hai anak muda, ada kejadian apa di sekitar sini? Siapa kalian ini?”

Lalu ia menjawab terbata-bata, “Kami ini rombongan sufi yang menempuh perjalanan padang pasir untuk berangkat ke tanah suci Mekah. Kami sepakat untuk menjaga mulut-mulut kami serta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi kemudian, serombongan tentara menyerbu dan membantai kami seakan-akan kami ini gerombolan musuh yang akan menyerang mereka.”

“Tapi, kenapa kamu selamat, sementara yang lainnya mati?”

Pemuda itu tidak merasa takut, justru mendekati Ibrahim bin Adham seraya berbisik, “Itulah balasan yang diberikan Tuhan, karena ada sesuatu yang masih dicintai oleh kami, selain Allah.”

“Apa maksudmu, kenapa kamu sendiri masih hidup?” tanya Ibrahim lagi.

Pemuda itu menghadap ke onggokan mayat itu, lalu katanya, “Orang-orang yang meninggal itu sudah dianggap matang oleh Tuhan. Sedangkan saya masih dianggap mentah… termasuk Anda.” Setelah mengucap kata-kata itu, sang pemuda terkulai jatuh ke tanah, kemudian meninggal dunia.

Ibrahim pun menepiskan prasangka buruknya, bahwa apa-apa yang dilihatnya adalah kehendak Allah semata, bahkan penglihatan dirinya pun semata-mata karena kehendak Allah Swt.

Itulah yang diceritakan Ibrahim bin Adham kepada para sahabatnya. Perjumpaan dengan puteranya itu membuatnya sangat takut, karena rasa cinta yang berlebihan hingga melebihi cintanya kepada Allah. Suara hatinya kemudian berkata, “Ibrahim, kau bilang bahwa kau mencintai Aku, bahkan mengatakan pada mereka agar tidak berpaling kepada selain Allah. Tapi ternyata, hatimu sendiri lebih cenderung kepada puteramu ketimbang yang lainnya.”

Mendengar seruan itu, Ibrahim seketika berdoa: “Allahu Akbar, aku tak berdaya, kenapa anak ini merenggut perhatianku kepada-Mu, ya Allah? Bagaimana aku bisa mencintai-Mu jika kecintaanku begitu kuat kepadanya?”

Ia terdiam sejenak, kemudian sambungnya, “Ya Allah, ambillah salah satu di antara kami… aku atau anakku….”

Dengan demikian, kematian puteranya di depan Ka’bah saat itu, merupakan pemenuhan harapan atas doa-doanya tersebut.

Untuk itu, melalui tulisan ini saya berpesan kepada semua pihak, tak terkecuali kepada para kandidat maupun para mantan presiden, “Cintailah seseorang (sesuatu) sekadarnya saja. Anak-anakmu, harta dan kekuasaanmu hanyalah titipan yang sekejap mata saja. Jika cintamu berlebihan, hingga melupakan amanat Tuhan dan kemaslahatan, maka Anda adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya. Ketahuilah, sangat mudah bagi Tuhan untuk merenggut dan mengambil kembali apa-apa yang dimiliki-Nya, di manapun, dan kapan pun jika Allah menghendaki….” (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top