Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang pelit sekali. Saking kikirnya, ia selalu memikirkan bagaimana cara terbaik agar ia tak terlihat memiliki banyak harta, sehingga orang-orang di sekitarnya tidak akan meminta apapun darinya walau barang sedikit.
Hingga suatu hari, ia berkeliling ke desa-desa tetangga. Di desa pemberhentiannya terakhir, ia menemukan desa yang mana semua penduduknya suka menolong dan dermawan. Lalu, si laki-laki pelit tersebut berpura-pura menjadi orang yang sangat miskin agar para penduduk desa itu iba padanya. Tanpa menaruh curiga, warga pun memberikannya santunan banyak sekali, dari makanan, uang, dan juga baju.
Berkali-berkali berbohong untuk mendapatkan bantuan, akhirnya kedok pria tadi terendus oleh salah satu penduduk desa. Sebabnya, ada warga yang tidak sengaja melewati kediaman si laki-laki pelit saat ia bergegas menutup pintu rumahnya dengan menenteng santunan secara mengendap-endap. Lucunya, tak lama kemudian, laki-laki tersebut membuka pintu kembali untuk keluar dengan baju compang camping dan memasang wajah memelas.
Merasa tertipu, akhirnya para penduduk desa itu tak lagi memperdulikannya. Mereka terus saja melanjutkan aktivitas, mengacuhkan rengekan si laki-laki kikir. Terlebih mereka telah mengetahui apa yang dilakukan laki-laki itu dengan pemberian susu kerbau dari warga: ia diam-diam menimbunnya dan tak mau sedikit pun berbagi kepada tetangga sebelah. Bahkan ia cuek saja saat orang-orang menanyakan darimana ia mendapatkan susu sebanyak itu, lantas menutup pintunya keras-keras agar orang di sekelilingnya diam, tak lagi bertanya.
Tidak hanya menimbun susu kerbau, pria tersebut juga memendam hartanya di sebuah lubang supaya tak ada seorang pun yang tahu keberadaannya. Menanggapi sikap kikirnya yang menahun, semua penduduk desa, termasuk desa yang murah hati tadi hanya tersenyum. Mereka justru kasihan terhadap laki-laki itu karena telah terperdaya oleh banyaknya harta yang ia miliki.
Keesokan harinya, datanglah seorang penunggang kuda yang tersesat. Mukanya pucat, ia tak tahan lagi menahan lapar dan dahaga. Untunglah, dari kejauhan, ia bisa melihat beberapa rumah penduduk. Dengan segera, ia mempercepat laju kudanya agar paling tidak bisa meminta paling tidak seteguk minuman. Tak lama, sampailah ia dirumah laki-laki pelit tadi untuk mengharap barang sedikit makanan dan minuman agar melegakan perutnya yang kosong. Sayangnya, baru hendak turun dari kudanya, lelaki pelit itu justru menghardiknya dengan marah,
“jangan turun disini wahai penunggang kuda! Aku ini tak punya apa-apa. Aku juga tak punya makanan maupun minuman, walau hanya sebatang rumput.”
Ditolak mentah-mentah, si penunggang kuda pun melanjutkan perjalanan dengan sempoyongan. Ia menahan kesakitan dan kelelahan hingga membuatnya tertabrak pohon di tengah hutan. Setelah terjerembab jatuh, dengan sisa tenaga yang ada, ia kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan memutar kudanya memasuki desa yang para penduduknya terkenal suka menolong tadi.
Saat berhenti di sebuah rumah, beberapa warga yang melihatnya dalam kondisi kacau balau lalu segera keluar untuk menawarkan bantuan dan menyambutnya dengan sangat baik. Mereka pun menolong sang penunggang kuda untuk turun dari kudanya, dan juga membantu mengikat hewan tersebut agar tak lari saat tuannya beristirahat. Tanpa bertanya apapun, si pemilik rumah juga memberikan suguhan terbaik, membantu merawat lukanya, hingga membiarkan si tamu misterius itu terlelap bersama kudanya yang telah kekenyangan.
Ketika kondisinya sudah pulih benar, penunggang kuda itu akhirnya meminta izin untuk pamit. Ia menyampaikan terima kasih pada penduduk yang telah membantunya dengan tulus, bahkan tak segan-segan memberikannya petunjuk bagaimana ia dapat kembali ke pusat kota yang menjadi tujuan pulangnya. Saat penunggang kuda memacu kudanya kembali, ia terus memikirkan kebaikan hati para warga desa. Mereka betul-betul ikhlas membantunya, tanpa bertanya siapa dia, kenapa keadaannya seperti itu, serta bagaimana ia bisa sampai desa tersebut.
Selang beberapa hari, desa tadi dihebohkan dengan datangnya serombongan pasukan berkuda dari kerajaan. Seakan tak percaya apa yang mereka lihat, para penduduk desa itu pun berhamburan keluar dari rumahnya. Tamu mereka kini membawakan sejumlah kuda dan keledai yang mengangkut banyak makanan dan emas yang dibagikan pada tiap-tiap penduduk.
Saking terkejutnya, mereka hanya menerima dengan terbengong-bengong seakan tak percaya dan masih bertanya-tanya siapa dalang dibalik banyak hadiah di tangan mereka. Setelah semua penduduk mendapatkan bagiannya, pemimpin pasukan yang berada di posisi paling belakang akhirnya muncul dan memperkenalkan diri. Ia segera turun dari kudanya, dan menyalami satu per satu penduduk desa. Seketika itu juga penduduk desa mengetahui siapa dia. Dia adalah sang penunggang kuda yang tersesat dan kelelahan, yang ternyata seorang raja di wilayah mereka.
Dengan perasaan bahagia dan terharu, sang raja kemudian menyampaikan terima kasih kepada seluruh penduduk desa dan mengundang mereka ke istana untuk menghadiri jamuan khusus. Saat perjamuan, ia memanjatkan syukur tak terkira bahwa ada banyak orang dermawan di wilayah yang ia pimpin. Mendengar kebahagiaan pemimpinnya, warga desa yang baik hati itu pun turut gembira serta menikmati seluruh hidangan dengan riang.
Hingga di tengah-tengah acara, sang raja dikagetkan oleh suara tangisan seseorang yang merengek meminta masuk. Karena raja penasaran, ia meminta pengawalnya untuk mempersilakan orang tersebut masuk dan menyampaikan keluhannya.
Ternyata, yang menghadap raja adalah si laki-laki kikir yang menolak membantunya beberapa waktu lalu. Di hadapan raja, ia menangis tersedu-sedu,
“kenapa engkau tidak menuju rumahku dulu? Dan kenapa engkau tidak menjadi tamuku saja? Andai saja engkau menjadi tamuku maka aku tentu juga turut diundang dan ikut memperoleh bongkahan emas.”
Mendengar alasannya itu, semua orang tertawa serta memintanya untuk segera pulang. Melihat raut muka penyesalannya, sang raja pun hanya bisa menggeleng-geleng kepala, terheran-heran bagaimana bisa seorang yang pelit ini bisa hidup di tengah-tengah orang-orang dermawan.