Sedang Membaca
Kisah-kisah Hikmah (1): Al-Asma’i dan Seorang Badui

Alumni Pondok Pesantren Gontor yang kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar, Cairo Mesir.

Kisah-kisah Hikmah (1): Al-Asma’i dan Seorang Badui

Whatsapp Image 2020 08 03 At 10.51.50 Pm (5)

Suatu hari seorang penyair tersohor bernama lengkap Abd Al-Malik ibn Quraib Al-Asmai sedang duduk di sebuah majelis untuk menerangkan salah satu ayat dalam surah Al-Maidah:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ

“was-sariqu was-sariqatu faqta’u aidiyahuma jaza’am bima kasaba nakalam minallah”

Lalu ia mengakhirinya dengan kalimat

وَاللهُ غَفُوْرٌرَحِيْم

“wallahu ghofurun rahiim”

Setelah menyebutkan ayat tersebut, seorang Badui berdiri dan bertanya, “firman siapa ini wahai Al-Asma’i?”

Lalu Al-Asma’i menjawab tegas, “ini adalah firman Allah.”

Mendengar jawaban tersebut, si Badui tadi justru menyangkal dan menggeleng-gelengkan kepala, pertanda tidak menyetujui apa yang baru saja disampaikan oleh Al-Asma’i.

Sikap laki-laki Badui tadi sontak membuat lingkaran majelis tersebut ramai dibuatnya. Orang-orang yang berada di situ serta merta mencaci maki si Badui karena ia jelas-jelas mengingkari firman Allah melalui Al-Asma’i.

Yang menarik, justru Al-Asma’i tetap tenang dan tidak menunjukkan pertanda emosi, kemudian ia menanyakan alasan penolakan orang badui tersebut, “wahai kau Orang Badui! Apakah kamu termasuk penghafal Al-Qur’an?”

Si Badui menjawab lempeng, “tidak.”

Lalu Al-Asma’i bertanya lagi, “apakah kamu hafal surat Al-Maidah yang dimana terdapat ayat ini?”

Ia pun masih menjawab sama, “tidak.”

Setelah mendengar dua kali jawaban yang dilontarkan sang Badui tersebut, Al-Asma’i menanyakan alasan mengapa ia menganggap bahwa ayat yang ia sebutkan bukanlah firman Allah. Dan sang orang badui itu menjawab dengan percaya diri “Wahai Al-Asma’i! Sungguh ayat yang engkau sebutkan bukan lah firman Allah,” lalu ia mengulang ayat Al-Maidah ayat 38 tadi,

Baca juga:  Hikayat Hujan: Jangan Biarkan Kemarau di Hati

“was-sariqu was-sariqatu faqta’u aidiyahuma jaza’am bima kasaba nakalam minallah.”

Lalu ia mengakhirinya dengan lafal, “wallahu aziizun hakim.”

Al-Asma’i pun menyadari kesalahannya di akhir firman Allah tersebut, ‘Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’ dan bukan ‘Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’

Al-Asma’i pun takjub pada kecerdasan orang badui tersebut, karena ia dapat mengetahui kesalahan ayat meski ia tidak menghafalnya sama sekali. Saking  penasarannya, ia akhirnya menanyakan bagaimana si Badui dapat mengetahui kesalahannya tersebut.

Dengan tenang, orang Badui itu pun menjawab,

“Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ia Maha Perkasa, tidak ada sesuatupun yang dapat mengalahkan-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam menetapkan ketentuan-Nya dan menentukan syari’at-Nya. Maka dari itu, ia memotong tangan-tangan para pencuri. Jika didalam ayat tersebut disebutkan bahwa Allah Maha Pengampun, lagi Maha penyayang maka Ia tidak akan menetapkan hukum potong tangan bagi para pencuri,” jelasnya.

Orang Badui tersebut sangat memperhatikan dengan teliti bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang hukum yang tegas dalam Islam yaitu adalah hukuman potong tangan bagi para pencuri agar kita terhindar dari kerusakan dan untuk mengancam bagi siapa saja yang melakukan perbuatan mencuri. Maka ayat tersebut tidak masuk akal jika diakhiri dengan kalimat ‘Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang’, karena ayat ini bukan termasuk dalam konteks ampunan dan kasih sayang tetapi penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan.

Baca juga:  Kisah-kisah Hikmah (6): Aku Kembali dengan Sepasang Sepatu Hunain

Mendengar kejelian si Badui, Al-Asmai lantas berdecak kagum. Sangatlah tak pantas baginya untuk meremehkan orang lain, walau ia seorang yang tak pandai baca tulis sekalipun.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top