“Gerakan” puritanisme ajaran Islam, tampaknya sudah menjalar ke ustaz kampung. Apa yang diajarkan dan apa yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW menjadi acuan boleh atau tidaknya melakukan sesuatu bagi umat Islam. Tradisi mapati bayi (yang masih dalam kandungan) pun dipersoalkan.
Ada sebagian kelompok yang melarang adanya mapati karena itu tidak diajarkan oleh Rasulullah dan dianggap bid’ah. Sebagian kelompok ada yang menolak sebagian dari ritual mapati.
Pengalaman penulis mengikuti pengajian mapati (empat bulan kehamilan) di kota Pati bagian selatan, yang diadakan oleh adik ipar. Pengajian mapati diakhiri dengan menaruh kendi di depan rumah. Harapannya, kendi itu ketendang oleh jamaah yang pulang dari pengajian.
Jika kendi itu pecah, maka anak yang ada dalam kandungan adalah laki-laki sedangkan jika kendi tersebut utuh, maka anak yang ada dalam kandungan adalah perempuan.
Entah itu petunjuk atau kemalangan, kendi tersebut malah diambil dan diletakan di tempat yang tinggi oleh salah satu ustaz kampung sambil seraya berkata, “ajaran siapa ini?”, hingga akhirnya kendi itu tidak tertendang oleh jamaah yang pulang dari pengajian.
Di satu sisi itu petunjuk, karena setelah proses kelahiran sang bayi positif berjenis kelamin perempuan. Namun, di sisi yang lain statement ustaz kampung tersebut merupakan kemalangan bagi tradisi lokal yang dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Acara pengajian mapati pada intinya adalah wujud rasa syukur. Bayi pada usia empat bulan di dalam kandungan adalah saat ruh ditiupkan ke dalam jasad janin. Untuk itu, ibu hamil beserta keluarga bermohon kepada Allah SWT agar sang janin kelak menjadi anak yang saleh/salehah, sempurna, mulia, berakal, alim, bermanfaat, terberkati, dan bijaksana.
Di dalam pengajian itu, tersisip doa pengharapan dari orang tua yang menginginkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, Keinginan yang sangat manusiawi bagi semua orang. Untuk itulah tradisi menendang kendi untuk “meramal” jenis kelamin sang janin itu dilakukan. Tradisi itu pada dasarnya bertujuan untuk membangun suasana kekerabatan khas Jawa, tanpa harus dikaitkan dengan ajaran agama.
Di beberapa daerah doa sisipan tersebut tidak selalu sama. Ada yang menggunakan tirai bambu, jika tirai tertelungkup, maka anak adalah laki-laki. Sedangkan jika terlentang, maka anak adalah perempuan. Ada juga dengan rujak, jika rasa rujak itu manis segar, maka diprediksikan kelamin bayi adalah perempuan. Sementara jika sepat dan pedas artinya bayinya adalah laki-laki. Masih banyak lagi tradisi lokal yang menyertai upacara mapati.
Keinginan mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandungan adalah wajar dan lazim. Oleh karena itu, teknologi yang makin canggih pun diciptakan guna memenuhi keinginan manusia. Untuk mengetahui jenis kelamin bayi, fasilitas USG baik yang dua dimensi (2D), 3D, bahkan sekarang 4D sudah tersedia. Namun, bahkan teknologi pun acapkali tidak tepat. Begitu pula tradisi mapati. Tak ada yang memegang teguh tradisi itu serupa memegang teguh keyakinan.
Kejelasan jenis kelamin sang bayi tentunya ketika ia sudah lahir ke dunia. Dalam praktiknya, penggunaan USG untuk melihat jenis kelamin bayi biasanya pada usia 20 minggu kehamilan atau setara dengan 5 bulan. Deteksi melalui USG lebih lama satu bulan dibandingkan dengan pengajian 4 bulan kehamilan atau mapati.
Saya ingin menanggapi pernyataan ustaz kampung bahwa praktik prediksi jenis kelamin bayi setelah pengajian mapati adalah tidak diajarkan dalam Islam. Saya berpendapat hal itu tidak tepat.
Allah SWT dalam QS. Al-Ra’d/13:8 berfirman :
ٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تَحۡمِلُ كُلُّ أُنثَىٰ وَمَا تَغِيضُ ٱلۡأَرۡحَامُ وَمَا تَزۡدَادُۚ وَكُلُّ شَيۡءٍ عِندَهُۥ بِمِقۡدَارٍ ٨
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.
Dari ayat tersebut, tidak ada salahnya kita memohon kepada Allah untuk ditunjukkan apa jenis kelamin bayi yang masih dalam kandungan. Sedangkan untuk memudahkannya kita minta pertanda kepada Allah SWT, jika bayi ini laki-laki maka pertandanya “begini”, jika bayi itu perempuan, maka pertandanya “begitu”.
Prinsip ini lah yang dipraktekan secara turun-temurun oleh para nenek moyang kita sebelum alat medis USG itu ada untuk memprediksi jenis kelamin bayi yang masih dalam kandungan. Bahkan kita tidak mengetahui siapa yang memulai tradisi ini.
Pernyataan ustaz kampung yang mempertanyakan ajaran dalam praktik prediksi jenis kelamin bayi dalam upacara mapati, memicu kita untuk menjelaskan ulang relasi agama dan budaya yang ada dalam lingkungan kita, khususnya budaya lokal yang memuat kearifan lokal atau local wisdom. Lagipula, jika sesuatu hal tidak ada ajarannya, bukanlah belum tentu hal itu dilarang?
Dengan harapan, kita masih bisa menghargai tradisi leluhur yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, atau bahkan yang malahan sangat islami.