Sedang Membaca
Social Distancing di Tengah Kesenjangan Sosial Ekonomi
Hasna Azmi Fadhilah
Penulis Kolom

Peneliti dan pemerhati politik yang tinggal di Jatinangor Sumedang. Bisa dijumpai di akun Twitter @sidhila

Social Distancing di Tengah Kesenjangan Sosial Ekonomi

1 A Coronasocialdistance

Sore itu, sehari sebelum presiden mengeluarkan himbauan untuk social distancing (mengurangi pergerakan yang tidak perlu dan lebih menekankan aktivitas di dalam rumah), saya keluar untuk berbelanja kebutuhan bulanan. Setibanya di toko retailer, beberapa kebutuhan dasar stoknya memang jauh lebih berkurang. Jika ada barang yang hilang dari pasaran, ya stok masker dan hand sanitizer.

Sedangkan berbagai kebutuhan pokok lain, bila dilihat sekilas, suplainya masih aman. Setelah selesai membeli apa yang saya perlukan, saya iseng mengamati keranjang belanja dan kereta dorong para pelanggan. Sebagian besar mereka tidak ada yang membeli stok berlebih-lebihan.

Meski tidak ada panic buying di level ekstrem yang saya asumsikan, banyak orang sudah mulai waspada. Contoh sederhananya, jika mereka biasa hanya membeli 1 kardus mie instan, karena kekhawatiran pandemik Corona, orang yang memiliki kemampuan finansial cukup akan menggandakan jumlah pembelian mereka.

Dari segi kesehatan, efek Corona jauh lebih signifikan. Toko yang saya datangi menyemprotkan cairan disinfektan kepada pengunjung yang datang, sebagian besar pembeli pun memakai masker untuk berjaga-jaga dan sebagai sarana minimal perlindungan. Bahkan ada beberapa individu yang juga melengkapi diri dengan baju berlapis dan sarung tangan.

Keluar dari toko, justru pemandangan terbalik yang saya dapatkan. Berbagai pelaku usaha informal, dari mang-mang batagor, penjual siomay keliling, hingga tukang tambal ban beraktivitas secara normal: telapak mereka terbuka, dan tentu intensitas cuci tangan lebih jarang.

Ketika ditanya, apakah mereka tahu tentang wabah Corona, hampir semua mengiyakan dan tak menampik bahwa hal tersebut berbahaya. Bahkan saya sempat mengobrol panjang dengan penjual pempek keliling yang harus kerja ekstra karena sekolah-sekolah banyak yang libur. Ia berharap sekali wabah ini segera selesai karena banyak kebutuhan yang harus ia penuhi dan penghasilannya pun hanya dari jualan.

Baca juga:  Menghampiri Kematian (4/Habis): Sumbangan Besar NDE Muslim

Di sela-sela obrolan kami, ia juga mengungkapkan jika pemerintah bisa lebih sigap, mungkin kejadiannya tak sampai seperti ini. Saya lalu menghela nafas panjang serta sontak teringat bagaimana pemandangan di dalam dan luar supermarket memberikan gambaran kesenjangan sosial ekonomi yang nyata.

Sebab realita tadi, beberapa akun media sosial sembari bercanda mengatakan bahwa Corona ini sebenarnya penyakit orang kaya karena sejauh ini beberapa tokoh terkenal lah yang secara terbuka mengumumkan diri positif Corona. Bagaimana tidak, selain mereka dapat memiliki akses dan informasi yang cukup tentang pemeriksaan Corona dan mampu membayar biaya pengujiannya, risiko jangka panjang mereka amatlah kecil dibandingkan pegawai rendahan yang bisa terancam dipecat bila berstatus sebagai penderita. Padahal sejatinya, mungkin ada lebih banyak orang yang berasal dari kelompok ekonomi rentan juga terindikasi sama. Bedanya? Mereka tak terdata dan tak sanggup menanggung stigma sosial dan biaya pengobatan.

Seorang kawan saya di Yogyakarta bercerita, biaya uji Corona disana seharga sekitar 500-700 ribu rupiah, dengan gajinya yang enam kali lipat, sebenarnya bisa saja ia melakukan uji coba untuk berjaga-jaga. Namun, ia berdalih bahwa uang sebanyak itu lebih baik ia gunakan untuk membayar cicilan dan kebutuhan rumah tangga. Pada kelompok warga dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah, jika hanya demam, flu, serak, dan batuk berdahak, opsi yang murah dan ramah di kantong tentu bukan memeriksakan diri secara mandiri ke pusat deteksi Corona. Alternatif yang paling mudah diakses ya kemungkinan hanya mengarah pada pembelian obat di warung tetangga.

Baca juga:  Covid-19 di Pesantren: RMI NU Mengharap Pesantren Menjalankan Protokol Covid-19

Dengan kondisi negara tanpa sistem jaminan sosial memadai seperti Indonesia, pandemik Corona akan memberikan dampak yang lebih buruk kepada kelompok rentan, seperti para pekerja informal tadi. Selain sangat minimal dalam hal proteksi diri, mereka juga tidak memiliki alternatif pendapatan lain dalam kondisi sakit. Walau, saat sakit pun, banyak di antara mereka akan lebih memilih bekerja dibandingkan tidak memiliki penghasilan dan harus menghadapi risiko pemecatan.

Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain yang menghadapi wabah Corona juga menghadapi permasalahan sama. Di Italia, supir taxi hingga pekerja bayaran rendah juga tidak pernah memiliki opsi untuk bekerja dari rumah. Kebijakan nasional lockdown atau isolasi diri secara total bukan hanya mengakibatkan mereka kehilangan penghasilan, tetapi juga memaksa mereka berhutang dan mengetatkan pengeluaran.

Di sisi lain, ketika harus berbelanja kebutuhan pokok, mereka kalah sigap dengan orang-orang kaya yang langsung memborong habis stok pasta hingga gulungan tisu toilet. Padahal, kunci perlawanan Corona adalah gaya hidup sehat dan sistem imunitas diri yang kuat. Dengan kondisi krisis seperti ini, pekerja kelas bawah bukan hanya memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena virus, tapi juga semakin menjerumuskan mereka ke dalam jebakan lingkaran kemiskinan.

Realitas seperti ini terbukti ketika pandemik Spanish flu terjadi di New Haven Connecticut, Amerika. Kasus infeksi tinggi rata-rata terjadi di daerah pemukiman padat penduduk yang dihuni oleh pekerja kasar dengan pendapatan rendah. Bukan hanya memakan korban hingga 675 ribu jiwa, pandemik tersebut membuat kondisi ekonomi kawasan terpuruk selama sepuluh tahun.

Baca juga:  Santri, Pesantren dan Kemandirian Ekonomi

Melihat kenyataan yang ada, menjaga jarak sosial tentu harus dibarengi dengan solidaritas sosial. Isu kesehatan publik bukan sebatas persoalan individu karena penyakit tidak memiliki batas pemisah antara kaya dan miskin. Mengutip pakar kesehatan publik Nicole Errett, “If there’s one person who can’t get treatment, that person is posing a risk to everyone.”

Ketika kita memiliki privilege bekerja dari rumah dan dapat mempraktikkan social distancing secara penuh, mari tunjukkan perhatian kita pada sesama: berbelanjalah secukupnya, tidak perlu sampai panic buying. Jika ada kelebihan uang, bantulah usaha kecil dengan memberikan tambahan tip bagi mereka. Kenapa?

Sebab, pada akhirnya persoalan mati tidak memandang kita masih miskin atau kaya. Namun hal terpenting dalam berbagai situasi ginting adalah bagaimana kita memelihara rasa kemanusiaan dengan menerapkan toleransi tinggi terhadap sesama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top