Sepak bola dan Afrika bisa diibaratkan sebagai anomali. Di satu sisi, sepak bola adalah olahraga yang paling digemari di sana, di sisi lainnya sepak bola Afrika banyak menyimpan catatan kelam: kedok perdagangan manusia, hak siar mahal yang tak pernah dinikmati mayoritas warga sana, hingga tingkat kerusuhan yang tinggi ketika gelaran liga.
Namun, di antara beragam torehan miris tadi, Afrika tetaplah Afrika. Kawasan ini seakan tak pernah berhenti melahirkan talenta cemerlang yang tak hanya membuat penonton terpukau karena gocekannya di lapangan, tetapi juga karena sikap kedermawanan para olahragawannya yang memancing kekaguman.
Salah satu bintang terang dari benua hitam itu saat ini adalah Sadio Mane. Terpilih sebagai pemain terbaik Afrika 2019, pria kelahiran 10 April 1992 tersebut menambah deretan pesepakbola muslim asal Afrika, selain Mohammed Salah dan Yaya Toure, yang menggerakkan banyak anak kurang mampu di sana untuk bermimpi meraih asa dari lapangan hijau.
Tumbuh besar di kampung kecil bernama Bambali di Senegal, Sadio Mane kecil terbiasa hidup dengan segala keterbatasan. Tiap pagi, ia akan dibangunkan ketika ayam berkokok untuk segera membantu mengolah ladang sebelum berangkat ke sekolah.
Di wilayah tropis itu, semua orang bermata pencaharian sebagai petani, tidak ada profesi lain yang bisa dikerjakan. Meski berasal dari keluarga miskin dan harus terpisah dari ayah ibunya karena mereka tak sanggup membiayai kebutuhan dasarnya, Sadio Mane tidak pernah mengeluh. Hiburan sehari-harinya adalah menonton tim sepakbola kampung yang dilatih oleh pamannya. Dari sana, ketertarikannya akan sepakbola tumbuh.
Semenjak memperhatikan bagaimana anak-anak di desanya bermain, impiannya untuk meniti karier di lapangan hijau semakin menguat. Sayangnya, hal ini justru ditentang Sana Toure, paman yang dititipi oleh orangtuanya untuk mengasuh Mane, padahal adik ayahnya tersebut sehari-hari mengelola tim lokal dengan nama Kansala. Sebagian besar anggota keluarga Mane sendiri dikenal sebagai pemuka agama. Sehingga, dari kecil ia sudah digadang-gadang menjadi imam kampung, meneruskan estafet dari sang ayah, atau minimal berpendidikan tinggi agar membantu keluarganya terhindar dari jerat kemiskinan.
Bagi orangtua dan kerabat bernomor punggung 10 di Liverpool dan timnas Senegal tersebut, sepakbola hanyalah permainan belaka, menjadi atlet profesional seakan hanya angan-angan yang tidak mungkin diwujudkan. Menghadapi penolakan dari keluarganya tidak membuat Mane lantas putus asa. Bila dilarang bermain, ia akan tetap berlatih diam-diam dengan perlengkapan seadanya, apapun yang ada di sekitarnya, ia manfaatkan. Dari botol bekas hingga pot plastik, ia gunakan untuk melatih skill-nya. Mengagumkan!
Melihat potensi dan bakatnya, akhirnya keluarga Mane bersikap jauh lebih longgar. Ia diperbolehkan bermain sepak bola. “Hanya pendidikan tetap harus diprioritaskan,” begitu pesan kerabat terdekatnya.
Mane mengangguk, bertanda setuju. Karena ia sejak kecil sudah begitu yakin bahwa sepak bola adalah hidup dan passion-nya, “le football pour moi c’est ma vie parce que de mon badge je connais que le football et je voulais devenir footballeur”
Sehingga, ketika datang kesempatan untuk menjajal peruntungan di Dakar, ibukota Senegal, ia memilih memberontak dan kabur, tanpa berucap pamit satu patah kata pun kepada keluarga intinya. Pagi-pagi buta, ia berangkat naik bus dan menempuh perjalanan darat terlama yang pernah ia alami, itu pun hanya diketahui oleh teman dekatnya, Luc Djiboune.
Sesampai di Dakar yang berjarak kurang lebih 40 KM, Mane yang mengenakan kaos dan sepatu lusuh membuat kepala sekolah sepakbola di sana hanya bisa geleng-geleng kepala. Untunglah, ia tetap diizinkan untuk ikut bermain dan menunjukkan talenta besarnya. Bahkan ia sempat berjumpa dengan pencari bakat sepakbola dari Prancis yang kemudian membawanya ke klub profesional pertama Mane, FC Metz.
Di sisi lain, keluarga di kampung halamannya gusar karena Mane tiba-tiba menghilang. Bahkan sahabatnya sendiri memilih bungkam ketika “diinterogasi” oleh ibunya. Saat kembali, Mane mengaku hari itu adalah hari terburuk baginya. Ia diberondong berbagai pertanyaan akan masa depannya.
Namun, pada saat itu juga, ia memilih terbuka dan bertekad bulat memutuskan: ia bersikukuh menggeluti dunia sepak bola. Spontan, ia dianggap abnormal, bahkan gila. Tapi, Mane tak bergeming. Selanjutnya, mereka pun membuat kesepakatan: ia dipersilakan meniti karier di sepak bola, namun ia harus menyelesaikan sekolahnya terlebih dahulu.
Mane akhirnya setuju. Bahkan keluarganya menjual semua hasil panen untuk membantu Mane kecil mewujudkan impiannya. Usai menamatkan sekolah setingkat SMA, ia kembali berlatih dengan akademi sepak bola “Generation Foot”, sebelum selanjutnya meniti karier pertamanya di Prancis. Di Prancis, hampir saja karirnya tamat, karena sempat mengalami cedera parah dan harus dioperasi. Untungnya dia segera sembuh total.
Di tahun 2012, Sadio kemudian bergabung dengan tim asal Austria, Red Bull Salzburg. Tampil apik bersama klub yang dijuluki Die Roten Bullen tersebut, pria dengan tinggi 1,75 meter ini berhasil memboyong dua gelar liga lokal: juara the Austrian Football Bundesliga dan the Austrian Cup di musim 2013-2014.
Kecemerlangan Mane pun menarik perhatian Southampton yang mengikatnya dengan kontrak mahal seharga 11,8 juta Poundsterling. Selama berada di the Saints, Mane tampil sebanyak 75 kali dan berhasil menjadi pemain protagonis kalem dengan rekor 45 gol dan 32 assist. Bahkan ia sempat mencetak hattrick tercepat dalam waktu 176 detik saja saat Southampton memenangkan pertandingan melawan Aston Villa pada tahun 2015 lalu.
Tak berselang lama, Klopp (akhir-akhir ini digosipkan hengkak karena cekcok dengan Klopp) yang terkagum-kagum dengan performa fantastisnya kemudian mendorong manajemen Liverpool untuk merekrut pemain yang kini bertandem dengan Mo Salah dan Roberto Firmino itu. Meski tidak mengumumkan ke publik harga transfer Mane, namun diperkirakan harga transfernya mencapai 34 juta Poundsterling atau sekitar Rp 597 milyar. Angka yang luar biasa!
Setelah bergabung dengan the Reds, ternyata penampilan Mane semakin moncer. Tak hanya membawa Liverpool memenangkan trofi keenam UEFA Championship, Mane dan kompatriotnya juga berhasil membawa Liverpool meraih peringkat kedua Liga Premier Inggris musim lalu. Meski di timnas Senegal sendiri, ia belum seberuntung itu.
Di tahun 2017 ketika gagal mengeksekusi penalti dan membuat Senegal melepas asa dalam the Africa Cup of Nations, warga yang marah kemudian merusak rumah serta mobil Mane di Bambali secara membabi buta. Syukurlah, keluarganya sempat melarikan diri dan masih dapat selamat.
Dua tahun berikutnya, ia sempat membawa ‘Singa Teranga’ masuk ke babak final di event yang sama, namun kekalahan tipis dari Aljazair 1-0 mengakibatkan Mane kembali pulang kampung dengan tangan hampa.
Kenihilan Mane membawa gelar bersama timnas Senegal tersebut sempat menuai caci maki berkepanjangan. Dari dicap kurang nasionalis hingga tidak pernah becus saat bermain bagi negaranya, adalah makanan sehari-hari Mane selama seminggu setelah tim kebanggan negeri di kawasan Afrika barat ini gagal juara. Meski sedih mendengarnya, Mane paham bahwa tiap kekalahan, apalagi di final tentu sangat menyakitkan. Oleh karenanya, ia terus berharap di masa mendatang, ia dapat tampil lebih baik dan menorehkan rekor dengan tim nasional.
Untuk saat ini, yang bisa ia lakukan adalah bekerja keras dan memberikan sumbangsih terbaik kepada kampung halaman dan masyarakat Senegal yang membutuhkan, di antaranya membangun sekolah, masjid, rumah sakit, dan klinik-klinik kesehatan. Pembangunan pelayanan dasar yang ia lakukan, bukan tanpa dasar. Realita pahit akan ayahnya yang meninggal karena sakit dan hanya bisa mengkonsumsi obat herbal karena tiadanya rumah sakit di wilayahnya dulu, terus terngiang di kepala Sadio. Hal sentimental tersebut kemudian menggerakkannya menjadi pribadi yang rendah hati dan dermawan.
Secara rutin ia berdonasi kepada anak yatim piatu dan masyarakat kurang mampu di sana. Sosok Mane yang baik nan bersahaja juga diakui oleh Abu Usamah Al-Tahabi, imam Masjid Al Rahma di kawasan Toxteth, Liverpool. Ia menceritakan bahwa Mane sering datang ke masjid dan bahkan kerap ikut membantu membersihkan toilet serta tempat wudu, “he is not a person looking for fanfare. There’s no arrogance.” Baru-baru ini, ia mentransfer Senegal sejumlah 41.000 Poundsterling untuk melawan wabah korona.
Dengan berbagai kebaikan yang ia terus catatkan, Mane ingin menegaskan pada keluarganya bahwa meski ia gagal menjadi imam di kampung halaman, ia tetap tak akan berhenti berdakwah dari lapangan hijau melalui kesederhanaan dan keteladanan.