Dua tahun lalu, Sarada Peri, asisten mantan Presiden Barack Obama, menulis artikel pendek yang berjudul “Empathy is dead in American Politics”. Isinya kurang lebih bernada protes dan menyayangkan sikap para polisi yang tidak peka dan kurang berempati pada nasib pekerja kelas bawah dan golongan menengah di sana. Kondisi ini kemudian berdampak pada terpilihnya Trump yang jeli mengambil strategi untuk memenangkan suara mereka. Meskipun keterpilihan Trump nyatanya tidak langsung membuat kondisi perekonomian negeri Paman Sam meningkat secara signifikan. Dan hasilnya justru lebih mengecewakan, karena apa yang disampaikan saat kampanye nyatanya lebih ditujukan untuk kepentingan Trump dan koleganya, bukan masyarakat Amerika secara keseluruhan. Namun, adopsi strategi politik ini ternyata tidak sebatas ada di Amerika, tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya.
Di negeri kita, kondisinya kurang lebih sama. Rakyat dibuai dengan segala janji dan iming-iming menggiurkan ketika kampanye, dan setelah kandidat tersebut terpilih, suara rakyat bagaikan hembusan angin yang hanya menumpang lewat: dirasakan, tapi diabaikan. Dari persoalan banjir hingga virus corona, pihak pemerintah hanya menanggapi sekenanya. Bahkan setelah corona telah positif masuk ke Indonesia, alih-alih memperbaiki layanan kesehatan dan meningkatkan insentif bagi garda terdepan di pusat pelayanan publik, terutama klinik-klinik dan rumah sakit agar penularannya dapat dikendalikan, ini malah pemerintah justru merumahkan 70-an tenaga medis di Depok. Di awal justru lebih memprihatinkan, pemerintah lebih terfokus pada imbas ekonomi dan arus investasi dibanding merumuskan langkah-langkah pencegahan epidemik corona yang makin meluas.
Selain virus corona yang ditanggapi enteng oleh pemerintah, bencana banjir di beberapa titik di Indonesia juga disikapi dengan respon sama. Nomor hotline resmi pemda tidak aktif, media sosial wakil rakyat tidak responsive, bahkan beberapa pejabat justru melawat ke luar negeri dan terlihat abai dengan kondisi sebagian besar rakyatnya. Yang menyedihkan, bukan hanya perhatian yang tidak diberikan, sedikit berempati pada penderitaan rakyat pun tidak. Dalam suatu wawancara terkait penangan banjir, sekda DKI dengan santai berseloroh, “Dinikmati saja. Itu kan soal manajemen air. Tubuh kita dua pertiga air.”
Tanggapan yang mengecewakan dari politisi kita tadi sebenarnya hanyalah cerminan bahwa menunjukkan empati dalam politik tidak lagi penting, terutama ketika pejabat sudah duduk dalam zona nyaman mereka. Zona nyaman yang dimaksud adalah posisi ketika mereka memiliki basis pemilih loyal atau mereka tidak dibebani target untuk terpilih kembali pada periode berikutnya. Akademisi Yale, Paul Bloom menambahkan bahwa dalam komunikasi politik, menyampaikan empati tidak selalu memberikan profit elektoral. Kadang kala hal ini bagaikan bumerang yang justru menyerang citra politisi itu sendiri. Di zaman dulu, bisa saja seorang politisi berlagak seperti bunglon, berkata manis pada kelompok A, kemudian di lain waktu menyatakan hal yang sama pada kelompok B. Di era terbuka dengan tren media sosial seperti sekarang, strategi tersebut tidak lagi efektif. Pemilih, sama halnya seperti hubungan personal, lebih cenderung meminta politisi untuk bermonogami: fokus kepada aspirasi mereka, tidak pada yang lain. Sehingga ketika politisi tersebut mendua kepada kelompok lain yang berseberangan dengan loyalis mereka, itu sama saja dengan bunuh diri politik. Simpatisan mereka menjadi kurang percaya.
Jadi, secara tidak langsung kurangnya empati politisi kita mungkin dikarenakan mereka hanya fokus pada loyalis mereka semata. Saat fans club mereka tidak terkena dampak banjir atau dapat memaklumi kelambatan respon pemerintah dan malah membela mereka mati-matian, rakyat mayoritas lantas diabaikan atau hanya didengarkan menjelang pemilihan dalam waktu dekat. Maka, tidak heran bila ketika level problematika yang dihadapi publik sudah sampai di level akut, kita masih akan mendengar golongan individu-individu yang memuja-muji para elit setinggi langit. Padahal, politisi yang bersangkutan sudah jelas tidak menerapkan kebijakan dengan optimal.
Yang mengkhawatirkan, apabila kemorosotan empati politisi juga meluas ke ranah publik. Psikologis senior, Michael Bader menjelaskan bahwa kegagalan pemerintah dalam merespon penderitaan masyarakat akan menimbulkan dampak negatif berkepanjangan, bukan hanya dari segi ekonomi rakyat yang makin memburuk tapi juga dapat menimbulkan trauma psikologis. Efeknya pun tidak main-main, dari kinerja publik yang menurun hingga melebarnya kesenjangan sosial.
Lebih lanjut, dengan kondisi komunitas yang mengalami krisis kepercayaan pada pemerintah seperti sekarang, tentu akan lebih rentan membuat individu-individu untuk memberontak, main hakim sendiri, atau melakukan tindakan kriminalitas. Contoh nyatanya bisa kita lihat ketika sejumlah warga mengamuk dan merusak fasilitas AEON Mall Jakarta Timur karena pihak mall dituding tidak memenuhi izin lingkungan dan menyebabkan perumahan dekat lokasi terkena dampak banjir.
Tindakan serta merta warga tersebut tentu tidak lepas dari bagaimana pemerintah jauh lebih mengedepankan keuntungan praktis dan tidak mempertimbangkan bagaimana imbas ekologis dari pembangunan mall. Bila keegoisan politisi-politisi ini bila dibiarkan dan terus bertahan, tentu membuat kita dengan mudah menebak bagaimana nasib bangsa kita di tahun-tahun berikutnya: jika tidak makin suram, ya mungkin hanya bisa jalan di tempat.