“Get involved! Look beyond the comfort zone of the community and become an invaluable asset in the improvement of broader society…”
Pesan di atas disampaikan oleh Myriam Francois pada suatu wawancara mengenai harapannya terhadap sesama muslimah yang hingga kini masih dimarjinalkan oleh masyarakat Barat. Nasihat itu dilatarbelakangi oleh kekecewaan Myriam bahwa banyak kebijakan diskriminatif terhadap muslimah, seperti pelarangan cadar hingga aturan pemakaian burkini di daratan Eropa, khususnya Prancis yang ia sebut sebagai bentuk Islamophobia terselubung. Menanggapi situasi ini, tidak hanya demonstrasi dan protes yang perlu dilakukan. Namun, lebih dari itu semua, para perempuan muslim harus lebih banyak aktif serta berkontribusi secara masif di ranah publik untuk melawan balik citra negatif yang selama ini dideskripsikan oleh media.
Pemikiran visioner dan kelantangan Myriam dalam berbicara seperti tadi, tidak timbul secara serta merta. Pergulatan potensi diri hingga ide-ide brilian sudah ia akrabi saat berada di lingkungan keluarga. Sebagai perempuan yang lahir besar dengan lingkungan yang demokratis, Myriam sejak kecil sudah terbiasa mendapatkan ruang terbuka dalam berekspresi yang selanjutnya membantu Myriam mendukung cita-citanya, termasuk potensinya dalam seni peran. Hal itu ia tunjukkan dari kepiawaiannya menjadi aktris sejak usia 12 tahun melalui film Sense and Sensibility pada tahun 1995. Setelah bermain apik dalam karier akting perdananya tersebut, ia kemudian ditawari kembali beberapa peran, yakni pada Paws (1997) dan New Year’s Day (2001).
Namun saat beranjak dewasa, Myriam justru lebih tertarik menekuni bidang akademis. Diterima di Universitas Cambridge, dan mengambil studi sosial dan politik, ia pun banyak mengakrabi teori-teori filsafat dan isu-isu terkini yang ramai diperdebatkan di masyarakat, termasuk kontroversi tentang Islam dan terorisme yang mencuat setelah peristiwa 11 September. Sebagai orang yang aktif dalam forum diskusi, awalnya Myriam melihat Islam adalah suatu sistem kepercayaan yang asing. Menyaksikan betapa banyaknya nyawa melayang dan motif ideologis yang dibawa-bawa oleh pelaku membuat Myriam kemudian sangat emosional dan begitu marah terhadap Islam.
Usai berdebat dengan temannya tentang konsep dasar Islam dan merasa tidak puas, ia lalu mencari tahu sendiri bagaimana sesungguhnya Islam itu melalui Al-Quran dengan harapan ia akan membuktikan sendiri bahwa tudingan negatifnya terhadap Islam akan terlihat jelas. Alih-alih semakin membenci Islam, ia justru semakin menyadari bahwa persepsinya tentang Islam malah semakin salah.
Surat Al Fatihah yang pertama ia baca membuatnya tercengang akan betapa indahnya hakikat Islam. Semakin banyak ayat yang ia baca, semakin terbuka pula pemikirannya terhadap nilai-nilai Islam dalam mengatur kehidupan umat manusia. Terlebih, semua yang termuat dalam Al-Quran seakan-akan mencerminkan gabungan berbagai pemikiran filsafat yang ia pelajari sejauh ini. Ia mengakui mendalami Kalamullah membuatnya menemukan jawaban dari misteri sumber kehidupan.”Sebagai seseorang yang selalu memiliki minat dalam filsafat, Alquran terasa seperti puncak dari semua renungan filosofis saya. Hal ini semacam kombinasi perenungan Kant, Hume, Sartre dan Aristoteles. Entah bagaimana Al-Quran dalam sekejap berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis mendalam yang diajukan selama berabad-abad tentang eksistensi manusia dan menjawab satu yang paling mendasar terkait alasan mengapa manusia diciptakan.”
Tak lama setelah itu, ia pun mantap bersyahadat di usia 21 tahun pada tahun 2003. Meski kini ia sudah menjadi muslim selama hampir 17 tahun, ia mengaku tidak menyukai label mualaf yang kerap dilekatkan publik padanya. Alasannya sederhana, mualaf menurutnya hanya berlaku sementara. Ketika sudah bertahun-tahun, seharusnya penyebutan mualaf tak perlu lagi digaungkan. Selain membuat tak nyaman, seringkali banyak orang memandangnya secara berbeda, bahkan tak jarang bukan simpati yang ia dapat, justru diskriminasi dan pemaksaan pendalaman agama dari sesama muslim yang cukup ekstrim. Padahal menurutnya, berislam adalah sebuah proses belajar seumur hidup. Bahkan bagi seseorang yang dibesarkan dan menganut Islam sejak kecil sekalipun, ia belum tentu mau mempelajari, memahami, hingga mempraktikkan Islam secara paripurna. Sehingga, bagi Myriam, label mualaf dan muslim seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya hal itu hanyalah soal waktu serta kemauan diri untuk terus berproses.
Kini di sela-sela mempelajari Islam secara mendalam, ia juga aktif memperjuangkan isu-isu umat melalui beragam media, dari film dokumenter hingga diskusi publik. Sebagai jurnalis, akademisi, produser, dan penulis, ia berusaha mengenalkan Islam dan menepis berbagai persepsi negatif tentang Islam di kalangan publik. Acara dokumentasinya pun sudah ditayangkan oleh banyak media, termasuk Channel 4 dan BBC 1. Bahkan beberapa proyeknya telah masuk nominasi penghargaan-penghargaan bergengsi untuk kategori best investigative documentary 2018, seperti ‘the Truth about Muslim Marriage’, ‘the Muslim Pound’, dan ‘A Deadly Warning: Srebrenica Revisited’.
Di samping kesibukannya memotret sisi lain kehidupan kaum muslim yang jarang terekam oleh media, Myriam juga tercatat sebagai peneliti di the Centre of Islamic Studies (CIS), SOAS University London dan the Centre for Global Policy. Perempuan berdarah campuran Inggris-Prancis tersebut saat ini sedang fokus melakukan studi mengenai dinamika integrasi sosial yang dialami oleh umat islam di Inggris Raya. Hasil riset yang ia lakukan, bukan hanya tertuang dalam bentuk jurnal ilmiah, tetapi juga terpublikasi melalui media masa mainstream seperti the Guardian, the Telegraph, CNN, dan lain-lain.
Menilik banyaknya kontribusi yang ia lakukan, tak ayal perempuan peraih gelar doktor dari Universitas Oxford tersebut dinominasikan sebagai salah satu “40 under 40” European Young Leaders pada tahun 2017. Dengan berbagai raihan yang sudah dicapainya, Myriam ternyata tak cukup puas sampai disitu. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menyadari bahwa kebijakan diskriminatif yang diterima oleh umat muslim di Barat sesungguhnya hanya sekeping puzzle dari gambaran besar realita kesenjangan sosial. Ia berargumen bahwa salah satu penyebabnya adalah budaya dominan ras kulit putih yang tersokong dengan faktor politis kuat yang tidak disadari oleh publik, hingga mengakibatkan tersingkirkannya kelompok masyarakat lainnya. Situasi ini ia istilahkan dengan whiteness culture.
Dengan dampak whiteness yang masif namun tidak disadari, ia lalu tergerak untuk menyediakan platform bagi publik untuk bersuara dan berdiskusi secara bebas yang bernama ‘we need to talk about whiteness’. Harapannya, seluruh lapisan masyarakat kemudian lebih sadar akan adanya privilege gap di lingkungan sosial, yang selanjutnya membuat mereka tergerak untuk berubah dan menciptakan ruang kontribusi serta partisipasi yang lebih luas bagi siapapun, tidak pandang latar belakang yang melekat sejak lahir pada dirinya.