Sebelum jatuh banyak korban karena wabah Corona di Indonesia, virus ini sempat santer disebut tentara Allah untuk menyerang pemerintah China yang zalim terhadap masyarakat muslim Uighur. Kini, dengan masuknya Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat presentase kematian pandemi Corona tertinggi di dunia, narasinya pun berubah: Corona adalah akal-akalan pemerintah China untuk mengubah tatanan politik dunia. Bahkan pembelian alat tes Corona, perangkat keselamatan tenaga kesehatan, dan sarana prasarana medis lainnya pun turut dipolitisasi.
Di tingkat global, pandemi Corona oleh beberapa politisi seperti Presiden Amerika Serikat dan Presiden Brazil, dianggap sebagai alat politik yang ingin menjatuhkan kredibilitas mereka. Bahkan, dalam jumpa pers resmi, Donald Trump berulang kali menyebut Corona sebagai ‘Chinese Virus’ dengan alasan virus tersebut berasal dari China. Sekilas pernyataan tersebut memang benar karena ia mengaitkannya dengan asal lokasi penyebaran virus. Namun, sikapnya kemudian membuat publik memiliki sentimen negatif terhadap warga Amerika keturunan/peranakan China yang berdampak pada tindakan diskriminatif dan rasisme.
Bernada sama dengan Trump, presiden Brazil Jair Bolsonaro juga memandang bahwa Covid-19 hanyalah flu biasa yang tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan ketika pemerintah lokal Sao Paolo dan Rio de Janeiro mendeklarasikan status darurat Corona, ia menganggap hal tersebut hanyalah akal-akalan gubernur serta media massa, “The people will soon see that they were tricked by these governors and by the large part of the media when it comes to coronavirus.”
Di sisi lain, Brazil sudah mencatatkan dua ribuan kasus dan menjadi negara dengan rekor tertinggi Covid-19 di kawasan Amerika Latin. Melihat Bolsonaro yang mengentengkan Corona, banyak warga Brazil yang meluapkan kekecewaannya dengan melemparkan pot dari balkoni tiap jam setengah sembilan malam saat dilakukan lockdown lokal.
Padahal jika benar pemerintah China memang sengaja memanfaatkan Corona sebagai senjata biologis untuk menekan populasi dan mengguncangkan tatanan global, mereka tentu tak perlu repot-repot membungkam dokter Li Wenliang yang melaporkan kasus ini untuk pertama kali. Belum lagi, dilihat dari timeline penyebaran virus di Wuhan, pemerintah China kemudian memberlakukan lockdown ketat kepada penduduk untuk menekan jumlah korban jiwa. Jika mereka sendiri yang membuat virus tersebut, tentu kebijakan ini tidak perlu dilakukan. Seandainya alasan penyanggahnya adalah untuk membatasi populasi, tentu hal tersebut bertentangan dengan kebijakan pemerintah China di awal 2016 yang sudah mencabut kebijakan satu anak bagi pasangan suami istri.
Sayangnya, teori konspirasi China di balik Corona tidak berhenti sampai disitu. Pengelakan beberapa pemimpin dunia terhadap dampak buruk Corona lalu memperpanjang efek domino sirkulasi teori konspirasi yang sudah terlebih dulu beredar di media sosial kita. Padahal mengingatkan anggota keluarga, saudara, hingga kolega, terutama dari golongan lansia tidaklah mudah. Saya sendiri pun mengalaminya.
Dalam satu WhatsApp grup, seorang ibu-ibu mengedarkan postingan panjang bahwa Corona adalah senjata politik tersembunyi Amerika Serikat untuk menghancurkan ekonomi China. Wuhan yang menjadi sumber awal pandemi dijadikan target utama karena merupakan salah satu wilayah penopang kekuatan industri dan lokasi dibangunnya jalur sutra demi memperkuat posisi geopolitik China di tataran internasional. Sehingga, tidak salah bagi Amerika untuk kemudian mengirimkan intel mereka untuk menyebarkan virus ini agar selanjutnya China secara keseluruhan lumpuh, dan kemudian Amerika dapat memenangkan perang dagang. Menanggapi hal tersebut, sudah selayaknya orang yang menerima pesan berantai ini untuk tidak perlu terlalu cemas dan memperbanyak doa dan ibadah. Sebab perkara Corona jika dilebih-lebihkan akan membuat panik masyarakat, terlebih jika kebijakan pemerintah pusat dan daerah berjalan tidak beriringan.
Membaca postingan panjang tadi, saya sebenarnya malas menanggapi karena memang saya bukan anggota aktif pada grup tersebut, tapi karena khawatir anggota lainnya justru menganggap enteng perkara covid-19, saya pun buka suara, “Terima kasih banyak atas postingannya. Tapi, jika Amerika Serikat berada di balik semua ini, kenapa negara mereka justru tidak mengisolasi dan mengembangkan vaksin dari awal? Bukankah Trump justru merespon wabah dengan sangat lambat?”
Postingan bernada sama dengan tudingan Amerika sebagai dalangnya juga saya peroleh dari video singkat dari grup WA lainnya, kali ini seorang ustadz dengan nada tegas menyatakan bahwa virus Corona jelas merupakan senjata biologis Freemason untuk mengendalikan populasi manusia. Dan kita sebagai umat muslim tidak perlu takut dan panik karena kita diwajibkan berwudhu sebelum salat, dan itu sudah sangat cukup untuk melawan Corona. Jika pun ada umat muslim yang terkena virus tersebut, itu menandakan bahwa ia lalai kepada Allah dan telah melakukan maksiat sebelumnya. Mendengar ceramah tersebut, saya langsung mengernyitkan dahi prihatin.
Apa pasal? Sudah terbukti dalam berbagai kasus, Corona tidak pandang bulu dalam menyerang siapapun, tanpa melihat tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya korban berjatuhan seusai tablig akbar di Malaysia. Jika benar Corona tidak menyerang muslim yang sedang beribadah, sudah barang tentu mereka akan selamat sekembalinya dari pengajian. Namun yang terjadi adalah 212 kasus dari total kasus Corona di Malaysia menyebar dari tablig akbar yang diadakan di kompleks masjid Sri Petaling.
Lain lagi bila menggunakan teori cocoklogi dalam menganalisis virus Corona. Dalam hal ini, Amerika seringkali dicatut sebagai aktor utama. Bagaimana tidak, berbagai produk hiburan Hollywood sudah menceritakan bagaimana mereka memiliki jalan cerita yang sama dengan pandemi Corona yang kini mewabah. Dari film ‘Contagion’ hingga novel karya Dean Koontz, ‘The Eyes of Darkness’ dengan ciamik mendeskripsikan bagaimana dampak negatif virus terhadap kelangsungan hidup manusia. Belum lagi, prediksi tepat Bill Gates yang kebetulan juga berkewarganegaraan Amerika tentang pandemi penyakit dalam berbagai kesempatan, termasuk presentasi singkatnya dalam TEDx pada 2015 silam. Hal ini semakin memperkuat tuduhan bahwa Amerika adalah dalang pembuat Corona yang kini mengancam jiwa.
Tapi, apakah benar demikian? Jurnal ilmiah ‘Nature’ edisi Februari lalu mempublikasikan hasil riset yang menunjukkan bahwa virus corona, hingga 96 persennya identik dengan genom virus corona pada kelelawar. Penelitian ini secara tidak langsung membantah teori konspirasi yang menyebut corona adalah produk rekayasa laboratorium dan bukan dampak dari evolusi alamiah. Selain itu, bila Amerika berada di balik wabah Corona, dengan kondisi kasus Corona di Amerika yang kini jauh melampaui China dan Italia, pemerintah Trump jelas melakukan bunuh diri masal. Jumlah korban jiwa di sana semakin meningkat dan ternyata pemerintah pusat dan lokal pun sama tidak siapnya dalam menghadapi pandemi ini.
Tercatat, kota besar seperti New York pun mengalami krisis sarana pra sarana pelayanan kesehatan seperti di Indonesia. Dan bila menuruti narasi konspirasi menuduh Amerika, mungkin dalam kasus ini apa yang dilakukan pemerintahan Trump seperti senjata makan tuan. Corona bukan hanya menimbulkan banyak korban jiwa di China dan negara adidaya tersebut, tetapi juga di Italia dan berbagai belahan dunia lain. Virus Covid-19 juga tidak memandang status sosial, dari pangeran Charles hingga epidemiologis konsultan film ‘Contagion’, Ian Lipkin pun ikut terkena.
Terlepas dari berbagai teori konspirasi tadi, Bill Gates dan Jack Ma yang disangka mendanai pembuatan corona, malah sudah turun tangan dan menggelontorkan jutaan dolar untuk mendanai riset vaksin dan membantu peningkatan layanan di berbagai kawasan dunia. Teladan dari keduanya kemudian mengingatkan saya pada pernyataan filsuf Prancis, Michel Foucault dalam ‘the Birth of the Clinic’, “the illnesses of some should be transformed into the experience of others.” Seharusnya pengalaman wabah di suatu negara menjadikan bangsa lain belajar untuk mencegah hal serupa, bukan malah berleha-leha yang kemudian justru harus berjibaku dan menderita karena hanya teori konspirasi serta narasi fiktif biopolitik yang pemerintahnya percaya. (RM)