Hampir satu bulan lebih Rusia telah menginvasi militer Ukraina. Merujuk pada laporan PBB, jumlah korban tewas yang sudah dilaporkan bervariasi, tapi setidaknya 9.800 tentara Rusia telah tewas dan lebih dari 1,276 nyawa warga sipil melayang. Tak hanya itu, baru-baru ini laporan terkait kekerasan seksual sebagai senjata konflik juga mengemuka. Ragam tindakannya bahkan tidak sebatas pemerkosaan.
Sementara korban-korbannya belum semua terdeteksi, diduga kasus kekerasan seksual yang terjadi di lapangan meliputi antara lain: perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, aborsi secara paksa, sterilisasi secara paksa, pernikahan secara paksa, dan segala bentuk kekerasan seksual lainnya yang terjadi kepada perempuan, laki-laki, anak perempuan atau anak laki-laki yang berada di wilayah sengketa.
Penggunaan pemerkosaan dan kekerasan seksual sebagai senjata perang merupakan isu yang belum ditangani secara serius di seluruh dunia. Sebelum riset mendalam mengenai tindakan tersebut, pemerkosaan dan perlakuan kekerasan lainnya selalu dianggap pemenuhan kebutuhan seks semata atau hal yang tidak sengaja dilakukan oleh pelaku perang (yang mayoritas laki-laki) karena tidak dapat menahan nafsunya.
Namun beberapa studi konflik termutakhir, termasuk yang dilakukan oleh Peace Research Institute Oslo/PRIO, memperlihatkan bahwa kekerasan seksual nyatanya tak bisa dipandang sebelah mata. Inge Skjelsbæk, profesor di PRIO menyampaikan bahwa seiring berjalannya waktu, wacana lama tentang gagasan bahwa pemerkosaan adalah sesuatu yang “tidak dapat dihindari terjadi dalam perang karena laki-laki adalah laki-laki”, menjadi tidak relevan lagi.
Melihat pola berbagai konflik, pemerkosaan malah dijadikan strategi perang dengan tujuan ancaman terhadap pihak lawan. Pernyataan Inge tadi diperkuat dengan data per Maret 2019 dari laporan PBB tentang kekerasan seksual dalam konflik yang menemukan bahwa pemerkosaan digunakan sebagai strategi perang di 15 negara di seluruh dunia, sebagian besar di Afrika dan Timur Tengah.
Proyek Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata (ACLED) telah mengidentifikasi bahwa pelaku utama serangan seksual ini cenderung berasal dari milisi politik regional dan pasukan keamanan negara. Dari hasil perbandingan jumlah kasus, ditemukan bahwa Republik Demokratik Kongo menduduki puncak daftar negara yang sangat rawan kekerasan seksual.
Berdasarkan laporan yang masuk ke PBB, mayoritas pelakunya berasal dari angkatan bersenjata negara. Sedangkan korbannya meliputi kelompok wanita (73%) dan anak-anak (25%). Yang miris, tindakan pemerkosaannya berkelindan dengan kekejaman lain seperti mutilasi, partisipasi paksa anggota keluarga dalam pemerkosaan, pemerkosaan berkelompok dan perbudakan seksual.
Walau sudah banyak laporan mengenai kasus kekerasan seksual di daerah pertikaian, faktanya banyak kasus pemerkosaan di wilayah perang tidak dilaporkan, karena ketakutan akan stigmatisasi sosial. Data dari Kongo sendiri memperkirakan pada tahun 2011, antara 1,69 dan 1,80 juta wanita telah diperkosa selama hidup mereka dan 3,07 hingga 3,70 juta telah dimanipulasi secara seksual oleh pasangannya.
Sebuah survey tahun 2014 yang dilakukan di Provinsi Kivu Utara menunjukkan bahwa 22% perempuan dan 10% laki-laki menjadi korban pemerkosaan di sana. Meski terus menerus dijadikan senjata perang, namum efektivitas kekerasan seksual sebagai strategi perang hingga kini masih rancu. Yang justru sangat jelas adalah dampak negatif pada korbannya.
Kerugian psikologis yang dialami korban berefek domino, bahkan bisa menghancurkan rasa kepercayaan diri dan traumatis jangka panjang; bagi korban laki-laki, mereka akan seringkali mempertanyakan kejantanan mereka. Di lingkup sosial, ketika terjadi kekerasan seksual, tingkat kepercayaan dan kohesi sosial akan semakin memburuk.
Rentetan efek negatif tersebut mendorong PBB untuk kemudian meluncurkan kebijakan internasional terkait pencegahan kekerasan seksual sebagai senjata perang, termasuk menguraikan konsep kejahatan perang dalam undang-undang Pengadilan Kriminal Internasional pada tahun 2002.
Selain itu, sejak 2008, Dewan Keamanan PBB telah mengutuk praktik tersebut dan terus mencari tindakan untuk melawannya, termasuk menempatkan Penasihat Perlindungan Perempuan dalam misi pemeliharaan perdamaian, penunjukan Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal untuk Kekerasan Seksual dalam Konflik, dan pembentukan sebuah program untuk mencegah dan menanggapi kekerasan seksual di wilayah konflik.
Di tingkat lokal, sejumlah aksi nyata juga perlu dilakukan untuk mengatasi penyebab kekerasan seksual, terutama ketika konfliknya telah usai. Yang pertama, pihak berwenang perlu meningkatkan upaya untuk menghilangkan stereotip dan norma- norma berbahaya, melalui pendidikan peka gender dan pelatihan agensi publik. Lebih lanjut, dukungan psikososial untuk anak-anak yang terpapar beragam kasus kekerasan harus diperkuat. Hal itu dipandang penting untuk menghentikan transmisi antar generasi terkait kekerasan berbasis gender.