Tidak banyak orang percaya, bahwa amanat intelektual yang termasuk berat pada abad ini adalah; meyakinkan manusia mutakhir bahwa Islam itu beragam; Islam itu tidak mengindap cacat bawaan: kekerasan; Islam merupakan sesuatu yang menempati kerak paling gelap dalam kesadaran dan subjektivitas modern.
Semua itu saya timba dari ikhtiar membaca beberapa buku dalam kajian paskakolonial, terutama buku Orinetalisme karya mendiang Edward Said. Dalam karya tersebut, Said dengan cara yang puitik-imaginatif menegaskan bahwa Islam terlelak di jantung kesadaran modern, susunan diri modern atau subjektivitas modern (yang beragam itu).
Dalam retorika yang agak sarkas, bahwa Islam terletak pada kerak terbawah ‘neraka’ yang dibayangkan manusia modern. Dan di kerak terbawah ada lagi ruang paling tergelap yang ditempati oleh seorang imam dari para penganut bid’ah: Muhammad!
Baca juga:
- Mengenal Intelektual Iran Hamid Dabashi
- Haul ke-14 Edward Said: “Seseorang Telah Mengubah Susunan Mawar Itu”
- Louis Massignon, Orientalis Dua Citra
Trajektori dari gagasan Said yang menempatkan Islam, terutama sebagai pengalaman kultural, dalam memahami pengalaman kolonial dan ketimpangan politik, ekonomi, dan kultural dunia berhulu pada keraguannya mengenai humanisme terisolir yang diindap oleh hampir seluruh segmen dan kelompok manusia.
Menjelang meninggalnya, Said kira-kira menyimpulkan demikian: tidak ada perubahan mendasar di kalangan Eropa dan Amerika soal Islam. Pernyataan ini harus dipahami sebagai ‘keluhan’ Said tentang minimnya perubahan dari seluruh ikhtiarnya merekonstruksi humanisme itu sendiri.
Keyakinannya bahwa humanisme yang berdarah dan kejam selama beberapa abad itu bisa dipulihkan dengan membuka percakapan dengan internal humanisme Barat itu sendiri.
Hamid Dabashi menyatakan bahwa mengharapkan perubahan pandangan tentang Islam,Timur-Tengah, dan dunia di luar Barat dari orang Eropa dan Amerika adalah salah satu aspek yang sedikit naif dari Said, dan itu melupakan kelanjutan dari percakapan-solider dari negara-negara dunia ketiga sendiri.
Tidak itu saja, Dabashi melihat bahwa solidaritas manusia mutakhir akan tumbuh ketika meradikalkan keterlemparan manusia dalam “worldiness” (umumnya dipahami sebagai kekuasaan), bahwa manusia mendapatkan dirinya terhubung dengan kehidupan duniawiah yang sepenuhnya mereka pahami seiring dengan menanjaknya kapasitas pikiran mereka yang semakin rapuh dan mengindap celah-tragis (a tragic-flaw).
Kerapuhan itu hanya bisa dikurangi dengan mendorong kerja-intelektual yang dilandasi oleh semangat ketelitian (biasanya melalui disiplin filologi cum sastra dan filsafat) dan keterhubungannya dengan sekalian umat manusia.
Sebuah suara kemanusiaan tidak melahirkan pelainan, tetapi justru menegaskan keterhubungannya dengan berbagai tradisi kemanusiaan. Ketika seseorang menyebut diri sebagai seorang muslim di dalam worldiness, maka keislamannya tidak menghalanginya untuk menghubungkan diri dengan sesama manusia.
Persaudaraan berdasarkan Islam melebar menjadi persaudaraan antar sesama anak bangsa yang melebar lagi menjadi persaudaraan kemanusiaan. Begitulah solidaritas, persamaan, kesetaraan, dan sebagainya yang terristerial atau membumi.
Pada konteks dunia yang sedang timpang, ketimpangan politik dan ekonomi yang menganga terlalu lebar melahirkan beragam bentuk kekerasan dan penindasan esktraktif yang terbiarkan. Kondisi ini memicu mengerasnya supremasi ras, etnis, agama, dan paham tertentu yang kelam dan tragik. Memamah kekerasan menjadi kebiasaan harian melalui berbagai medium yang sangat rinci menyusun tindakan setiap orang, berdamai dengan kekerasan dalam keseharian.
Teror tidak menjadi retorika politik imperium saja, tetapi berkecambah secara laten dalam setiap kesadaran banyak manusia.
Singkatnya, teror menjelma politik pembiaran anti-kemanusiaan dengan berbagai alasan pragmatis: kenyamanan yang bersemayamam pikiran dan keimanan. Wal-Allahu ‘alam bishawab.