Berdasarkan catatan para pemerhati sejarah dan kebudayaan Sasak disebutkan bahwa bentuk dasar masjid-masjid di Lombok adalah seperti masjid Rambitan Lombok Tengah, masjid Gunung Pujut Lombok Tengah, masjid Songak Lombok Timur dan Masjid Bayan Beleq Lombok Utara, di bawah kaki Gunung Rinjani. Empat masjid itu disebut-sebut dan sama-sama mengklaim sebagai masjid kuno Sasak. Masjid-masjid tua dan bersejarah itu, secara umum, tak ada kerusakan berarti pasca gempa beruntun baru-baru ini.
Masjid Rambitan di Lombok Tengah, yang diperkirakaan berdiri akhir abad ke-16, memiliki posisi tersendiri. Sepintas tidak ada perbedaan, tetapi jika ditelisik lebih seksama memiliki beberapa bagian yang relatif lebih partikular dan utuh. Misalnya, pada puncak atap tumpangnya atau tajuk mangkurat (susunan jagad) dalam perbendaharaan Jawa, terdapat ornamen burung dari kayu yang berukuran sangat kecil.
Pada beberapa masjid tua di Jawa, seperti masjid pribadi milik Ki Ageng Gribig, Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, terdapat juga ornamen burung kayu pada puncak atapnya.
Ornamen burung kecil, burung perkutut menurut keterangan pengurus masjid, di masjid Rambitan, menunjukkan bahwa masjid ini terkait dengan tokoh tertentu dalam sejarah Islam tradisional di pulau Lombok. Perkutut dalam pengucapan orang Sasak adalah pethuk sehingga terdengar tuthuk yang berarti “penghabisan”.
Burung adalah amsal pencapaian ruhani dalam khazanah tasawuf Islam. Ibnu Arabi dalam kitab Tarjumanul Asywaq membahas burung Thawus atau Cendrawasih sebagai perlambang dari keruhanian manusia: satu-satunya aspek terpenting mansia yang mampu menembus lapisan langit kegaiban, atau perlambang ibadah sebagai mikraj manusia. Dalam terjemah Nusantara, burung-burung pada masjid merujuk pada capaian ruhani para pendirinya.
Dalam kepercayaan masyarakat Rambitan sendiri, masjid mereka tidak bisa dilepaskan dari sosok historis dalam sejarah Islam tradisonal Lombok, yakni Wali Nyatok yang dimakamkan tidak jauh dari letak masjid Rambitan.
Makam Wali Nyatok tercatat salah satu kuburan yang paling ramai dikunjungi umat Islam di Lombok. Dibuka sekali dalam sepekan, pada hari Rabu, sesuai dengan wasiatnya kepada para pengikutnya.
Nyatok kadang diartikan “nyata” tetapi bisa juga berarti “satu” atau “nyatu” atau wahdat: mengingatkan pada gelar yang disandang oleh Sunan Bonang, salah satu Wali Songo, yang dimakamkan di Tuban, Jawa Timur.
Mendiang TGH Najmudin Makmun, ulama Lombok kenamaan, menyebutkan kedatangan dua pemuda dari Jawa pada abad 15 Masehi ke Lombok dalam rangka menyebarkan Islam, yakni Raden Dateng dan Raden Farnas. Keduanya diasuh oleh suami-istri bernama amak dan inak Buthuh. Raden Dateng kemudian dikenal sebagai Wali Nyatok.
Para sejarawan Sasak mengkaitkan kedatangan dua wali dari Jawa tersebut dengan sosok Sunan Giri Prapen, Gresik, yang disebut sebagi tokoh tunggal penting penyebar Islam di pulau Lombok dan Indonesia Timur lainnya. Padahal tidak sedikit bukti lain mengenai kehadiran Sunan Kalijaga, Maulana Magribi, Syekh Siti Jenar, dan Wali Jawa lainnya dalam menopang Islam tradisional di Lombok. Artinya, Islam di Lombok berjejaring secara genetik dengan Islam di Jawa dan kawasan lainnya di Nusantara. (Baca tulisan menarik: Lima Riwayat Sunan Kalijaga)
Sayangnya, belakangan situs-situs penting Islam di Lombok mengalami Arabisasi, seperti pada kasus Wali Nyatok yang diganti dengan nama Ghaust Abdurrozak yang diyakini datang langsung dari negeri Bagdad, Irak.
Masyarakat Rambitan meyakini masjid mereka dulunya adalah masjid milik Wali Nyatok untuk beribadah, olah ruhani (khalwat), dan tempat mendaras ajaran Islam. Oleh karenanya, sampai hari ini masjid Rambitan dipakai oleh masyarkat sekitar tetap digunakan melaksanakan ibadah salat lima waktu untuk merawat kesinambungan posisi, fungsi dan maknanya dengan masa lalu.
Tidak seperti masjid tiga masjid kuno lainnya yang hanya digunakan untuk ritual keagamaan pada saat bulan mulud tiba. Hubungan masjid Rambitan dengan Wali Nyatok sekaligus menepis fabrikasi para orientalis dan kalaboratornya soal sinkretisme dalam jagad Islam tradisional. (Baca tulisan menarik: Kisah dari Masjid Syekh Hasan Sulaiman)
Masjid Gunung Pujut dan Masjid Beleq Bayan dikaitan dengan praktek Islam minimalis, tidak sempurna, yakni “Islam Wate Telu”, sehingga melahirkan rongga kesenjangan dengan kalangan Islam umunnya di Lombok. Terciptalah dikotomi “Islam Watu Telu” berhadapan dengan “Islam Watu Lima”. Di mana yang Watu Telu secara salah kaprah dianggap sebagai bentuk Islam kurang sempurna yang harus disempurnakan oleh kalangan “Islam Watu Lima”.
Masjid Rambitan terletak di desa Rambitan, kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Dari Bandar Internasional Lombok (BIL) berjerak sekitar 10 kilometer. Posisinya sederetan dengan desa wisata Sade dan pantai Kuta Lombok. Masjid Rambitan berdiri di kaki perbukitan.
Rumah-rumah penduduk berdiri di bagian lebih tinggi dan di bawah kaki bukit mengelilingi masjid. Ukuran bangunan masjid Rambitan tidak terlalu besar, seukuran dengan surau pada umumnya: 7,80 M x 7,60 M. Masjid Ramabitan banya ada bagunan inti tanpa beranda.
Di luar terdapat sebuah sumur yang disebut kolam berukuran 2,50 M dengan garis tengah bagian atas 5 M dan 3 M pada bagian bawah. Seluruh unsur bangunan dominan dari ilalang yang diikat memaki tali ijuk, sejenis akar gantung yang sangat tahan lama. Di bagian ini terdapat empat tiang utama penyangga bangunan dengan kurang lebih 28 sampai 30 tiang kecil yang menopang dinding masjid yang terbuat dari pagar bambu.
Lantai masjid sepenuhnya tanah, tingginya kurang semeter dari fondasinya. Ukuran mihrab dan pengimaman menyesuaikan ukuran bangunan. Mimbar khatib yang terdiri dari bahan bambu terasa terlalu kecil. Dan yang paling mencolok adalah sebuah bedug pusaka yang sangat jarang ditabuh.
Keseluruhan tata bangunan masjid Rambitan berupaya mengkesplisitkan pengalaman keberagamaan pendiri dan masyarakatnya, dan seperti kata ahli semiotika Italia, Umberto Eco, menuntaskan tantangan estetis, historis, dan spritual masyarakatnya tanpa memerlukan penghakiman kalangan manapun.