PBNU menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2017 pada 23-25 November 2017 di Lombok Nusa Tenggara Barat. Alif.id turut menyambut hajatan tersebut dengan menurunkan tulisan-tulisan terkait ulama dan terkait Lombok. Tulisan pertama sudah kami terbitkan, kali ini tulisan kedua. Silakan….
——
Ada tiga argumen dari konstruksi kolonial mengenai jaringan ulama. Pertama, menempatkan sentralnya jaringan ulama Jawa (Nusantara) Abad-18 Masehi di Haramain (Mekkah) tanpa menghubungkannya dengan dinamika keislaman di Nusantara pada abad-abad sebelumnya.
Kedua, jaringan ini dianggap sebagai asal-muasal tumbuhnya benih keulamaan dan atau kesarjanaan Islam di Indonesia, karena sebelumnya belum ada. Ketiga, jaringan yang muncul pada akhir abad ke-18 ini dianggap sebagai titik-berangkat dari “Islam yang benar”, yakni Islam yang mengoreksi jenis ‘Islam abu-abu” atau Islam-sinkretik.
Ketiga argumen dari konstruksi kolonial tentang jaringan ulama Jawa abad-18 di Haramain memiliki cacat zahir. Misalnya, masifnya arus perjalanan dari Nusantara ke Tanah Suci pada awal abad ke-18 tidak semata dipicu oleh semangat menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama, tetapi lebih pada sebab menguatnya politik pengawasan kolonial terhadap jaringan ulama di Nusantara. Seperti dimaklumi, sejak abad-16 Masehi akhir, Kolonial Belanda telah mengawasi, mempersempit gerak, dan membasmi jaringan tarekat beserta ajaran tasawufnya untuk menekan militansi dan kuantitas perlawanan pribumi.
Keberadaan jaringan ulama Jawa Abad-18 itu faktual, tetapi harus ditempatkan dalam konteks yang lebih jernih, tidak dalam konteks yang diinginkan oleh kaum kolonial. Bagaimana pun, ulama-ulama Jawa yang mukim di Tanah Suci pada masa itu tetap menjalin hubungan dengan jaringan mereka di tanah air. Produk jaringan ini melahirkan beragam kelompok Islam yang tumbuh di Indonesia sampai saat ini, terutama kelompok tradisional dan kelompok pembaruan (saya tidak memakai istilah modernis di sini).
Banyak perbedaan antara kelompok tradisional dan pembaharuan, tetapi yang paling inti dan sederhana adalah perbedaan soal menerima tasawuf dan tarekat. Mereka yang tradisiona itu disebut juga “aswaja nahdliah”, karena mempertahankan tradisi bersanad, baik fikih, tauhid maupun tasawuf, serta memberi ruang bagi Islam yang didialogkan dengan kebutuhan tanah air dan budayanya. Sementara mereka yang pro pembaruan menolak tasawuf dan negoisasi dengan corak kultural, serta lebih berorientasi pada politik transnasional.