Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2017 pada 23-25 November di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mengapa Lombok? Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, mengatakan, Munas di Lombok ini mengulang kembali saat perhelatan 1997 yang dipimpin Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Alasan lain, tentu ada. Alif.id turut menyambut perhelatan itu dengan membagi beberapa tulisan keislaman dalam bingkai kebudayaan, terkait Lombok, "pulau seribu masjid"...
____________
Mengatakan Wali Songo hanya terkenal di pulau Jawa itu sama halnya menyatakan bahwa sebutan santri itu hanya berlaku bagi mereka yang ormasnya Nadlatul Ulama (NU). Ini parah, karena pernyataan semacam itu mengafirmasi pendapat para orientalis dan indonesianis soal Islam di Indonesia.
Misalnya, M.C Ricklefs dalam Islamization and Its Opponents ( NUS, 2012) dengan asertif mengatakan bahwa tidak terdapat bukti historis yang sepenuhnya dapat dipercaya mengenai kesembilan wali tersebut (Wali Songo) serta karya-karya mereka. Artinya, wali Songo itu fiksi belaka, dongeng khas Jawa sehingga tidak faktual dan tidak mungkin dikenal di wilayah lain.
Pendapat Ricklefs ini niscaya berbeda dengan umat Islam Indonesia, yang meyakini bahwa Wali Songo itu suatu jaringan kekerabatan, keilmuwan, dan ingatan. Alhasil, kesembilan wali itu selalu terasa hidup di tengah mereka dengan cara memberikan makna baru mengenai koneksi keberislaman mereka dengan segala daya upaya (ijtihad) para wali membumikan Islam di Nusantara.
Sebut saja ziarah, haul, dan paling utama adalah mengamalkan ajaran mereka. Contoh amalan adalah mencintai agama sekaligus mencintai tanah air, menyemarakkan agama dengan langgam seni dan budaya, serta bersikap kreatif dalam mengarungi perubahan.
[caption id="attachment_205431" align="aligncenter" width="300"]
Ilustrasi: instalasi karya perupa Nasirun. Perahu menyatukan dunia[/caption]
Lima riwayat
Adalah sesuatu yang penting bahwa nama-nama seperti Sunan Bonang, Syeikh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri Prapen, dikenal di berbagai daerah di Nusantara. Saya ingin menggenapkan dengan menceritakan lima riwayat tentang Sunan Kalijaga di pulau Lombok, yang tentu terkait pula dengan keberadaan sunan-sunan lain.
Pertama, di ujung Timur pulau Lombok, di desa Suwela, tidak berapa jauh dari Labuan Aji, pelabuhan yang menghubungkan pulau Lombok dengan pulau Sumbawa, terdapat makam raja-raja Selaparang. Di areal pesareyan ini terdapat petilasan Patih Gadjah Mada yang yakini sebagai tempat bertemunya antara sang patih Majapahit dengan Sunan Kalijaga.
Para peziarah dari luar pulau Lombok sering terlihat memanjatkan doa di sekitar petilasan ini. Seorang peziarah dari Jogja mengatakan kepada saya bahwa pertemuan dua tokoh yang tidak sezaman itu adalah tonggak penting dari penabalan Islam Nusantara.
Kedua, di sekitar makam Selaparang terdapat desa-desa yang terkait dengan mereka yang dimakamkan, seperti Pohgading dan Bagek Papan. Kedua desa ini meyakini bahwa leluhur mereka datang dari Jawa. Tidak persis, Jawa mana.
Berdasarkan catatan keluarga dan riwayat yang mereka rawat, pada abad-15 Masehi, tiba seorang bernama Djaya Prana yang mendarat di Labuan Tereng (dekat pelabuhan Lembar hari ini), kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Timur sampai di Sumur Batu, di Bagek Papan, Lombok Timur.
Selang beberapa tahun, Djaya Prana disusul oleh adiknya yang bermana Wijaya Krama ke Lombok. Tokoh Djaya Prana ini dalam versi Jogajakrta dan Solo adalah kakak dari Sunan Kalijaga. Kedatangan Sunan Kalijaga ke Lombok untuk menemui kakaknya yang menetap di Lombok.
Tokoh Djaya Prana ini kemudian di makamkan di Pesareyan Sultan-Sultan Mataram Islam, Kotagedhe, Yogyakarta. Dalan versi serat Centhini, Djaya Prana atau Andaya Prana adalah nama lain dari Sunan Kalijaga.
Hal serupa disebutkan juga oleh Husien Djadjadiningrat, bahwa ketika berada di Cirebon, Sunan Kalijaga memakai nama Djaya Prana. Jadi dalam tafsiran sejumlah sumber, Djaya Prana dan Sunan Kalijaga adalah satu orang dengan dua nama.
Ketiga, terkait dengan penyempurnaan ilmu batin Sunan Kalijaga yang diterimanya dari Syeikh Siti Jenar. Dalam beberapa serat disebutkan kalau Sunan Kalijaga adalah menantu sekaligus murid kesayangan Syeikh Siti Jenar. Dalam mata rantai atau sanad tarekat Akmaliyah, terdapat sanad yang berujung di Syiekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, baru kemudian bersambung ke ke Sultan Pajang sampai Sultan Agung.
Syeikh Siti Jenar mengajarkan Martabat Tiga, tapi karena dinilai sangat ekstrim, maka oleh Sunan Kalijaga ditata-ulang menjadi Martabat Tujuh. Penjelasan tentang kronik Martabat Tiga dan Martabat Tujuh membutuhkan ruang tersendiri. Ketika Syeikh Siti Jenar meninggal, Sunan Kalijaga memerlukan dirinya datang ke pulau Lombok untuk menyempurnakan ilmu tarekatnya kepada Pangeran Sangupati, seorang murid Syeikh Siti Jenar yang lebih senior.
Terjadilah pertemuan keduanya di desa Bayan, di bawah Kaki Gunung Rinjani. Bayan sendiri adalah tempat para ulama penganut tarekat Watu Telu (bukan Islam Watu Telu seperti dibincangkan selama ini).
Bukti pertemuan ini adalah adanya makam Pangeran Sangupati yang bersebelahan dengan Makam seorang yang disebut Sahid di sebelah Barat Masjid Pusaka Bayan. Nama “Bayan” sendiri adalah kode dari jaringan nama tempat (toponimi) yang didiami oleh para penganut ajaran Martabat Tiga Syeikh Siti Jenar, di Jawa atau di mana pun.
[caption id="attachment_205433" align="aligncenter" width="300"]
Selaparang (foto: panduanwisata.id)[/caption]
Keempat, Sunan Kalijaga memiliki seorang putra kesayangan bernama pangeran Saridin. Tanpa alasan yang jelas, Pangeran Saridin menghilang, dan diperkirakan menuju arah ke Timur. Karena sangat sayang dengan putranya, Sunan Kalijaga mencarinya sampai ke arah Timur, tepatnya ke pulau Lombok.
Kelima, Sunan Bonang yang dikenal sebagai Syeikh Wahdat adalah guru dari Sunan Kalijaga juga. Salah satu kelebihan guru dan murid ini adalah memiliki ilmu seperti Nabi Yunus AS, akrab dengan para penguni laut.
Dalam banyak cerita disebutkan bagaimana Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga melintasi lautan dengan menumpangi seekor ikan besar yang menjadi sahabat setia mereka. Di sebutkan bahwa dalam suatu perjalanan, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga singgah di beberapa tempat di pulau Lombok sehingga riwayat dua wali yang mengarungi lautan dengan menumpangi seekor ikan besar sangat terkenal di pulau Lombok.
Lima riwayat tentang keberadaan Sunan Kalijaga di Pulau Lombok menunjukkan bahwa Wali Songo adalah jaringan manakib keulamaan yang dikenal di Indonesia, tidak hanya di pulau Jawa. Wallahul Haadi ila Sawa’is Sabil.