Sedang Membaca
Cerita Haji dari Lombok
Hasan Basri Marwah
Penulis Kolom

Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, Pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta

Cerita Haji dari Lombok

Kotak besi itu berukuran cukup panjang, lebih dari satu meter dengan lebar lebih dari setengah meter. Bahannya besi sepenuhnya. Sampai 1983, koper besi itu masih tergeletak di bawah “berugak” (bangunan bertiang empat atau lima di pulau Lombok untuk tidur, salat, dan menerima tamu) di rumah kakek.

 

Menurut kakek, koper besi itu yang dibawa oleh buyut saya ketika menunaikan ibadah haji pada akhir abad-19. Saya memastikan angka “akhir abad-19” karena sejumlah buyut saya yang lain sudah bergelar ‘haji’ ketika pada 1894 mereka melawan para menak Bali (dari Karang Asem) yang berkuasa di Lombok sejak abad-17.

 

Rekaman dari ingatan tentang koper besi dan pemberontakan fisik ‘para buyut’ saya melawan penindasan menak Bali di akhri abad-19 itu akan diputar kembali oleh oleh kampung saya begitu upacara persiapan pemberangkatan haji dimulai, tepatnya setelah Lebaran Ketupat pada setiap tahunnya. Kampung saya bernama Karang Genteng, Pagutan, Kecamatan Mataram.

 

Sebelum membaca tulisan Henri Chambert Loir tentang haji, atau etnografi Snouck Hurgronje soal Makkah, atau memoar Ahmad Djajadiningrat maupun kitab Tuhfatun Nafis-nya Sultan Ahmad dari Riau, saya mendengar dan merekam kronik perjalanan haji  yang dituturkan ulang setiap tahun di kampung saya.

 

Cerita tuturan yang bersifat tahunan itu agak valid jika dicocokkan dengan para peneliti haji. Misalnya, soal enam bulan (jika tidak ada kendalan) perjalanan haji pada akhir abad-19 menggunakan kapal kargo (barang) yang disediakan para penjajah.

 

Banyak jamaah haji sampai awal abad-20 di kampung saya membawa keris dan tombak dalam jumlah cukup banyak di dalam koper besi mereka. Senjata itu dibawa sebagai alat membela diri dari gangguan rampok, rompak dan begal di laut, dan terutama ketika sampai di tanah haram yang masih kurang aman. Cerita tentang banyaknya perampokan dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah misalnya. Belum lagi pemerasan yang dilakukan oleh penduduk kepada para calon haji dari Jawa.

Baca juga:  Rokat Pamengkang di Madura, Ikhtiar Merawat Islam dan Tradisi

 

Sebagian lain, senjata itu adalah titipan dari sanak keluarga yang meminta si calon haji menjamas senjata mereka di makam Kanjeng Nabi atau minimal di makam si Singa Padang Pasir, Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutahallib. Saya mewarisi satu bilah keris yang pernah dijamas oleh salah satu buyut saya di makam Kanjeng Nabi dan sejumlah sahabatnya.

 

Para calon haji juga membawa kain kafan dengan ukuran cukup banyak karena tidak jarang mereka sakit dan kemudian meninggal di dalam perjalanan. Berbagai upacara persiapan haji di kampung, seperti akan digambarkan berikut, menunjukkan bahwa perjalanan haji dipahami seperti perjalanan seseorang menuju kematian. Setiap jamaah yang berangkat sudah mati sebelum mati sehingga harus pasrah total. Dari sebelum berangkat, dalam perjalanan, waktu pelaksanaan, sampai mereka kembali ke Tanah Air diadakan acara tahlilan seperti rangkaian tahlilan orang meninggal di kalangan pesantren.

 

Selain senjata yang sudah dijamas, beberapa oleh-oleh yang umum dibawa pulang dari Tanah Suci ialah debu, tanah, batu jairanah, potongan kain makam-makam di Baqi’ dan Ma’la, dan sejumlah hizb dan awrad (yang paling banyak Dalailul Khairaat lengkap dengan silsilah ijazahnya). Tidak sedikit dari oleh-oleh tadi masih disimpan oleh keturunan para haji dari abad lalu.

 

Dengan perjalanan yang yang sulit, di masa kolonial yang kelam, korupsi (pemerasan aparatur kolonial, petugas dan para syaikh haji ), dan penghinaan orang Arab kepada orang Jawa (Nusantara) menjadikan para haji abad lalu benar-benar sepenuh hati memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan haji. Ini hanya bisa digambarkan dengan ungkapan Imam al-Ghazali, bahwa haji itu terdiri dari tiga perkara: tekad, rindu, dan cinta.

Baca juga:  "Jene-jene Sappara", Upacara Adat yang Mengajak Bergotong-royong, Bersatu, dan Bertawakal

 

Rangkaian upacara pemberangkatan haji di kampung saya terkesan ribet. Begitu Lebaran Ketupat selesai, kepala kampung membagi jadwal pendirian “tetaring” sesuai dengan jumlah jamaah haji yang akan berangkat setiap tahunnya. Sampai hari ini orang kampung saya menyamakan para calon haji yang menumpangi kapal canggih Boeing berseri 747 dengn calon haji abad lalu yang menumpangi kapal kargo laut yang transit di puluhan dan ratusan pelabuhan selama enam bulan.

 

Tetaring semacam lincak panjang dan lebar dengan atap anyaman kelapa yang sangat rapat. Tiang-tiangnya dari pohon pinang yang sudah berumur. Tapi belakangan sudah diganti dengan bambu petung karena pinang sangat sulit didapatkan. Panjang “lincak” itu tidak rata, tergantung halaman rumah para calon haji. Tetaring ideal itu harus panjang, sampai sepuluh meter atau lima belas meter. Tapi sekarang tanah pekarangan sudah menyusut seiring kepadatan demografi. Kata orang kampung sebelah, Gusti Allah sudah berhenti menciptakan tanah, hanya menciptakan anak manusia saja.

 

Setiap calon haji menyediakan sarapan bagi orang sekampung yang membantu mereka membangun “tetaring”. Jika jumlah jamaah haji yang berangkat sedikit, maka calon haji memasak sekitar satu sampai satu setengah kwintal beras dengan lauk ayam atau lelung (bebalung dalam istilah Sasak). Jika jamaah haji yang berangkat banyak, jumlah makanan yang dikeluarkan lebih sedikit.

 

Dulu “tetaring” dibangun begitu calon haji sudah mendapatkan kepastian keberangkatannya dari pemerintah. Dan tanpa dibantu orang sekampung. Beberapa tetangga rumah dan keluarga dekat secara bergiliran datang menyicil “tetaring” sampai akhir bulan Syawal.

 

Baca juga:  Tidak Ada Hal Baru dalam Pidato Presiden Jokowi di Munas NU

Setelah “tetaring” selesai diadakan acara “pembukaan ziarah haji”. Pada 1980-an, acara ini biasanya berbiaya besar karena calon haji akan menyembelih satu sampai dua sapi untuk selamatan ini. Acara ini semacam “walimatus safar” kalau bagi orang Islam kota. Bedanya, acara ziarah ke calon haji ini diisi dengan tahlilan, doa, dan sedekah. Kemudian setiap malam diadakan Barzanjen atau membaca nazam Aqidatul ‘Awam secara bergilir. Sejak ziarah haji dibuka sampai calon haji berangkat ke penampungan haji yang disediakan pemerintah, para calon haji harus menerima tamu siang-malam dari orang sekampung, sanak-keluarga, handai taulan, sahabat, karib, dan sebagainya.

 

Begitu Lebaran Ketupat usai, saya biasa mendengarkan ibu-ibu rumah tangga di kampung bergosip soal harga beras,gula, telur, handuk atau sarung yang akan mereka bawa ziarah kepada para calon haji. Setiap ibu rumah tangga membawa dua kilo-setengah gula pasir, sekilo telur atau lebih, handuk atau sarung. Jika calon haji berjumlah dua puluh orang, bisa dihitung pengeluaran setiap ibu rumha tangga.

 

Ada satu pertanyaan dari para calon haji zaman milineal kepada saya, kenapa pelakasanaan haji zaman sekarang menganjurkan haji tamattu’, bukan haji ifrad seperti yang dijalani oleh leluhur kita dulu? Saya jawab, tidak ada dalam kitab-kitab berbagai mazhab fikih. Anjuran melaksanakan tamattu’ daripada ifrad sepenuhnya karena alasan bisnis haji. Pertimbangan bisni dalam ziarah sebagai muasal kata pelesir dan pelancongan adalah yang paling banyak mendinamisir perjalanan haji. Wallahu’Alam.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top