Ini soal kewajiban dari keyakinan saya untuk memberikan kesaksian bahwa Cak Rusdi Mathari adalah orang baik. Pertama, mudahah-mudahan Cak Rusdi husnul khootimah.
Bahasanya bisa jadi ‘kikuk’ alias pakewuh lantaran adab yang dicekokkan dari kecil oleh lingkungan, seperti “mudah-mudahan husnul khotimah” itu. Padahal sudah banyak bukti (syawahid) bahwa yang didoakan adalah orang baik.
Kedua, mudah-mudahan mendapatkan kesyahidan karena Cak Rusdi meninggal dalam keadaan sakit berat dan lama.
Dalam kitab Futuhal Ghaib-nya Sidi Syekh Abdul Qodir Jaelani dinukil hadis riwayat Imam Turmidzi yang disahihkan oleh pentakhrij hadis Wahabi (Imam Albani) disebutkan bahwa Kanjeng Nabi SAW bersabda, “Flu sehari akan menghapus dosa setahun” (humiya yaumin kaffaratu sanatin).
Apalagi mereka yang sakit berat dan dalam waktu yang lama. Insya Allah sakitnya adalah rahmat dan bagian dari pembersihan dosa yang dilakukan Allah kepada hamba-Nya.
Saya jadi teringat kisah seorang sufi yang sakit berat. Disebutkan bahwa sang sufi adalah seorang wali besar. Pada suatu hari datanglah para sufi lain menziarahinya. Para penziarah menangis tersedu-sedu melihat kondisi sang wali.
Dengan tenang sang wali bertanya, “Apa yang membuat kalian demikian sedih? Kondisiku? Sakitku? Oh, amboi, perlulah kalian ketahui, ya, jika rahasia sakit yang disertai kerelaan hamba dibukakan kepada manusia, maka seluruh manusia akan minta sakit. Maka janganlah bersedih dan menangis.”
Ketiga, Cak Rus dipanggil pada hari Jumat, hari yang paling mulia di antara hari-hari lainnya. Menurut sebuah hadis yang hanya dinukil dalam Ihya-nya Imam Ghazali dikatakan, barang siapa yang meninggal pada hari Jumat, surga jaminannya.
Perlu diketahui bahwa Imam Ghazali sangat memberi tempat khusus soal “hari Jumat” dalam kitab Ihya. Beliau mengatakan bahwa bidah (dalam artian dhalalah atau sesat) dalam sejarah Islam adalah umat Islam tidak menghormati datangnya hari Jumat.
Cak Rus sudah mengantongi modal tebal (insyai Allah) untuk memastikan keamanan dan kenyaman dari perjumpaannya dengan kekasih sejatinya. Tiga bukti zahir yang saya sebutkan belum tentu dianugerahkan Allah kepada pimpinan ormas, apalagi ormas yang kerjanya menakuti dan bikin orang tidak nyaman. Lebih tidak terjamin lagi kalau anugerah tersebut diperuntukkan-Nya bagi para penulis status Facebook, penulis media cetak dan daring, sak pemilik medianya. Apalagi kalau isi status dan tulisannya hanya hoak.
Cak Rus tumbuh di tengah muslim “apa adanya” (istilah Gus Dur), yaitu muslim yang besar di tengah tradisi Islam ketat tapi kami tidak menyangkal kalau kami berlumur dosa. Tidak seperti muslim idealis yang ingin tampil kinclong walau latar belakangnya berlumur dosa dan kebencian. Mereka punya ajaran namanya maksa, yaitu memaksakan tampilan seideal mungkin sampai mereka menganggap diri mereka sederajat dengan Kanjeng Nabi SAW. Inilah sebenarnya muslimin yang dari masa kecilnya tidak tumbuh dalam tradisi Islam ketat: tidak kenal ngaji kitab gundul, tidak tahu syiiran Jawi, dan secara umum tidak kenal tradisi santri. Ketika dewasa baru belajar baca Alquran dan tiba-tiba kampanye “kembali Alquran dan Sunah”.
Kaum muslimin “apa adanya” berbeda, mereka sering terlihat santai dan penuh kelakar. Dalil kelakarnya juga tidak main-main, khazanah tasawuf. Ya, kadang kami bersembunyi dan mencari pembenaran dari ucapan dan cerita orang suci, para wali, bagi perbuatan dosa yang kami lakukan, dan sering kami ulang (isror). Tradisi sufisme yang kami warisi itu bukan saja sumber kelakar, tapi sumber vitalitas kami dalam mengarungi kehidupan yang cadas dan pedih.
Kami bersyukur bahwa tradisi Islam yang kami warisi bersumber dari para wali walaupun banyak yang meragukan kebenaran dari para wali tersebut. Bukti dari kebenaran para wali itu tidak harus digali melalui kacamata sejarah dan peralatan akademis segala. Orang-orang seperti Cak Rus adalah bukti riil dari keberadaan tradisi Islam para wali di Indonesia ini.
Bergaul dengan siapa saja, menggunakan akal sehat dalam membaca situasi, dan menebarkan kenyaman bagi siapa saja (karenyak tiyasing sesami). Paling penting adalah memastikan dapat mengerjakan hal yang berguna bagi orang banyak. Semua bersumber dari ajaran para wali (tentunya bersumber dari Kanjeng Nabi) bahwa rahmat (kasih sayang) Allah mendahului dan memperluas segala sesuatu: makanya kami biasa tertawa dalam segala situasi.
Bulan Mei 2017, Cak Rus berkirim pesan via Messenger. Saya agak gelagapan menjawab karena masih punya hutang, hutang janji. Beberapa bulan sebelumnya ia mengirimkan alamat rumahnya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.
Waktu itu, saya berjanji mengiriminya tarjamah kitab Hikam Madyaniyah karangan Syekh Abu Madyan, seorang suci abad sebelas Masehi dari Suriah yang merupakan guru Syaikhul Akbar IbnubArabi. Nama Syekh Abu Madyan susah diingat,dihapal oleh mereka yang kotor hatinya, kecuali setelah tawassul berkali kali (matehahi).
Saya ingkar mengiriminya kitab tersebut. Dalam pesannya terakhir, Cak Rus memaafkan, dan meminta saya melupakan soal pengiriman kitab tersebut.
Saya pernah mendengar namanya semasa kerja di Jakarta. Tapi pertama kenal tahun 2015 di angkringan Mojoknya Puthut EA ketika merembuk mihnah (ujian) sastra Indonesia yang mengorbankan penyair Saut Situmorang.
Kami bercakap dalam bahasa Madura. Saya merasakan getaran dalam bahasa Maduranya. Dia mencakapi saya dengan bahasa Madura halus. Cak Rus berasal dari Probolinggo, Jawa Timur. Dan seperti orang madura lainnya, dia pekerja keras dan hangat.
Saya sering membaca tulisannya, baik di blog atau status Facebook. Gaya tulisannya memiliki sanad yang bersambung kepada banyak penulis dari generasi sebelumnya sehingga tulisannya hampir saja melahirkan sebuah mazhab tersendiri. Dan, di antara kita semua –teman, pembaca, atau muridnya– sudah belajar darinya. Itu semua tentu melengkapi kenyamanan perjalananya.
Takziyah, Cak. Husnul khootimah dan dalam kesyahidan.
Maaf mau koreksi mas, kakak saya berasal dari situbondo jawa timur, bukan probolinggo. Saya adik kandung mas rusdi – terima kasih.