Sedang Membaca
Wejangan Kiai Maemun, Agar NU Luwes dengan Pemerintah
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Wejangan Kiai Maemun, Agar NU Luwes dengan Pemerintah

Ketua Umum PBNU, Rais 'Am PBNU dan Presiden RI di atas panggung arena pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2017 di Lombok, NTB

Papan pemisah antar ruang kelas dibuka. Dua ruang belajar di Pesantren Darul Falah, Pagutan, Mataram, Nusa Tenggara Barat, mendadak menjadi aula. Pukul delapan pagi Waktu Indonesia Tengah, sekitar 200 kiai peserta Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2017 telah berkumpul. 

Mereka duduk lesehan dan berimpitan. Sebagian peserta berdiri, melongok dari jendela, karena tidak kebagian tempat. Peserta perempuan belum terlihat.

Mereka menanti ceramah sesepuh Nahdlatul Ulama Kiai Maemun Zubair. Kiai Maemun, yang berumur 92 tahun, dihadirkan dari Rembang Jawa Tengah di tengah-tengah Munas Alim Ulama dan Konbes NU untuk memberikan pesan pada peserta sebelum bersidang.

Tepat pukul 8.30, Kiai Maemun berbicara. Dia diapit lima orang kiai yang usianya jauh lebih muda.

“Saya usia 92 tahun. Syekh Umar Sumbawa, dari Ampenan,  itu guru saya di Mekkah. Meskipun belum pernah ke Ampenan saya dekat dengan daerah ini,” kata kiai Maemun mengawali. Peserta menyimak dengan khusuk. Kalimah pembuka Kiai Maemun ini khas kiai-kiai saat pidato jika “tampil tandang”, mengatakan kedekatan dengan mengungkapkan silsilah keilmuan yang tersambung. Dalam tradisi Aswaja (ahlus sunnah wal jamaah), silsilah keilmuan levelnya tidak kalah dekat dengan silsilah kekeluargaan.

Selanjutnya Kiai Maemun bicara tentang dasar-dasar pengambilan hukum yang kaitannya untuk merespon peraturan-peraturan  produk negara. 

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (6): Ulama Sumbawa dan Upaya Rekonstruksi Sejarah Kesultanan Islam Sumbawa

“Saya mohon jawaban yang luwes. Saya minta jangan melawan hukum pemerintah,” tuturnya.

200 kiai peserta Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2017 telah berkumpul di Pesantren Darul Falah, Pagutan, Mataram, Nusa Tenggara Barat. (Dok. Panitia Munas)
200 kiai peserta Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2017 telah berkumpul di Pesantren Darul Falah, Pagutan, Mataram, Nusa Tenggara Barat. (Foto: Hamzah Sahal)

Forum bahtsul masail atau pembahasan masalah-masalah keagamaan di Munas Alim Ulama Lombok ini memamg banyak mengetengahkan isu yang terkait regulasi pemerintah, seperti pengelolaan tanah dan dana haji untuk untuk infrastruktur.

Tidak dijelaskan lebih lanjut mengapa saran itu perlu disampaikan oleh Kiai Maemun. Namun yang jelas, NU memang tidak sungkan untuk bersuara keras pada pemerintah. Contoh Munas di Cirebon tahun 2012 yang melarang tidak bayar pajak jika dikorupsi terus. Dalam jumpa wartawan, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menjelaskan langsung terkait itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa NU bukan menentang pemerintah dalam soal pajak, tapi memperingatkan pemerintah agar duit rakyat tidak dikorupsi.

Ketika ulama dan umara berjabat tangan (Dok. Panitia Munas)
Ketika ulama dan umara berjabat tangan (Dok. Panitia Munas)
Dalam Munas di Lombok, Kiai Maemun meminta NU berhubungan baik dengan pemerintah. “Jika ada pertentangan antara hukum Islam dan Undang-undang, maka sampaikan dengan baik kepada pemerintah tentang hukum Islam tersebut. Jangan frontal terhadap pemerintah, apalagi sampai memusuhi pemerintah meskipun sebagian produk UU tidak sesuai dengan Islam,” jelas Kiai Maemun, yang pada acara pembukaan Munas dan Konbes NU (23/11) melantunkan doa penutup.

Mempertahankan nilai

Peneliti LIPI Amin Mudzakkir, menilai bahwa sikap politik NU terhadap pemerintah didasarkan pada prinsip keagamaan tertentu. Termasuk dalam prinsip itu adalah perjuangan mempertahankan nilai-nilai dan institusi-institusi Islam tradisional.

Baca juga:  Islam dan Moderasi: Cara Naili Mengenalkan Keberagaman ke Mahasiswa FISIP UIN Walisongo Semarang

Oleh karena itu, menurut Amin,  sikap politik NU terhadap pemerintah bisa sangat keras jika pemerintah dianggap mengabaikan prinsip keagamaan tertentu itu. Dalam hal ini misalnya penolakan rencana Five Days School yang kemudian diakomodasi oleh pemerintah.

“Hubungan NU dan pemerintah yang sekarang ini saya rasa sudah ideal. Relasinya didasarkan pada pertimbangan prinsipil atau normatif tertentu. Meski tentu saja dalam praktiknya hubungan ideal itu tergantung pada kepemimpinan seseorang, baik di NU maupun pemerintah,” kata Amin.

Dihubungi secara terpisah, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan sependapat dengan Kiai Maemun. Pesan dan kritik umat kepada bangsa ini harus disampaikan sesuai prinsip yang diyakini oleh umat, dalam ini adalah Nahdliyin. Prinsip itu adalah bahwa  taushiyah bil haq (dengan kebaikan) harus seiring dengan tausiyah bis sabr (dengan sabar).

“Sikap frontal terhadap pemerintah justru bisa memunculkan konflik horisontal antarumat (karena adanya perbedaan pandangan di level horisontal),  juga antarumat dengan pemerintah. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politiknya sendiri,” kata Azra.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top