Para tokoh kunci kemerdekaan ini, dari mulai Soekarno hingga Sudirman, dari Hatta hingga Wahab Chasbullah, dari Wahid Hasyim hingga Tan Malaka, dari Yamin hingga Agus Salim, dari Bagus Hadi Kusumo hingga Sjahrir, punya perbedaan masing-masing. Bahkan ada perbedaan tajam di antara mereka, yang tidak jarang pula bertengkar di meja pertemuan ataupun ruang terbuka.
Catatan-catatan sejarah menceritakan mereka yang dari jauh tampak sama itu, ternyata beda mazhab atau haluan, entah dalam keagamaan, budaya, ekonomi, politik, hingga selera baju. Tidak hanya itu, mereka pun seringkali berbeda dalam menyikapi penjajah Belanda, Inggris, Jepang, sekutu, ataupun musuh yang note bene “pribumi”. Iya, pribumi pun bisa menjadi musuh, lantaran memberontak ataupun karena berpihak pada penjajah.
Kita tahu misalnya, Soekarno kerap berbeda dengan Hatta, dalam menyikapi Belanda. Soekarno suka frontal, sementara Hatta, suka berunding.
Pandangan Wahid Hasyim atau Soedirman lebih cocok dengan Soekarno daripada dengan Hatta. Tapi Wahid Hasyim, seperti diceritakan Greg Barton, punya hubungan hangat dengan Hatta. Keduanya suka bertemu dan salat berjamaah di masjid Matraman, Jakarta.
Soedirman juga berbeda organisasi dengan Wahid Hasyim. Satunya Muhammadiyah, satunya NU. Namun, keduanya akrab dan suka bertemu. Bahkan, seperti diceritakan Saifudin Zuhri, Wahid Hasyim dan Soedirman, seperti punya ikatan batin. Jangankan dengan Soedirman, Wahid Hasyim yang pijakan politiknya berlandaskan agama, itu saja dekat dengan Tan Malaka, yang haluan politiknya kiri.
Gus Dur dulu suka cerita bahwa Tan Malaka suka bertandang ke rumah bapaknya di Matraman, dan diskusi berjam-jam. Gus Dur bilang, Tan Malaka datang dengan nama samaran: Paman Husain.
Para tokoh perang Jawa pun, 1825-1830, antara Pangeran Diponegoro dengan Kiai Mojo, punya perbedaan yang tidak sepele. Tapi keduanya mampu bertahan, saling menjaga diri, bertahun-tahun dalam kebersamaan, demi kepentingan yang lebih besar, melawan penjajahan.
Di tengan segala macam dan tetek bengek perbedaan itu, mereka, para pahlawan itu, satu suara: negeri ini harus bangkit, tidak boleh terus-terusan ditindas. Di sinilah, mereka tampaknya memiliki kesadaran penuh untuk harus saling menghormati, saling melindungi, saling bantu, bahkan saling berguru. Dan ini kunci yang saya simpulkan dari bacaan-bacaan atau cerita-cerita sejarah bahwa beliau-beliau punya sikap dan perilaku sama dalam memperjuangkan kehidupan: bermujahadah, berijtihad, dan berjihad.
Mujahadah itu menahan diri dari kesenangan-kesenangan yang tidak perlu. Ijtihad itu berpikir keras, cerdas dan bersih demi keputusan terbaik. Jihad itu berperang dengan keikhlasan melawan penindasan dan ketidakadilan.
Apakah para pahlawan kita tidak punya celah dan kekurangan?
Jangan salah, mereka bukan tidak punya masalah ekonomi, mereka bukan tidak punya ego masing-masing, mereka bukan tidak pernah saling tersinggung, mereka bukan tidak punya perbedaan, bahkan mereka bukan tidak punya kepentingan pribadi. Mereka, para pahlawan, manusia juga, seperti kita.
Namun, mereka sadar bahwa kepentingan rakyat harus dijunjung tinggi, bahwa kemaslahatan bersama harus diperjuangkan, bahwa segala macam penindasan tidak boleh didiamkan.
Mereka sadar pula bahwa perjuangan wajib dilakukan bersama-sama. Cita-cita besar, mengangkat harkat dan martabat bangsa yang hampir semua seginya berbeda, tidak akan mampu diatasi sendiri ataupun satu-dua kelompok.
Perbedaan agama, perbedaan haluan politik, perbedaan ras dan suku, berbedaan pakaian, perbedaan organisasi, perbedaandang menghadapi sesuatu, tidak boleh merobek persatuan dan kebersamaan.
Para pahlawan kita –semoga Tuhan mengharumkan dan memuliakan mereka– punya kesadaran penuh bahwa kepentingan pribadi, semua ego, semua yang sesaat, semua yang kecil, semua yang buruk, harus dikubur, demi cita-cita bersama: Indonesia Merdeka!