Itu pertanyaan teman saya, seorang muslimah yang tidak berjilbab. Belum saya jawab, pertanyaannya muncul lagi: Apa pandangangan NU tentang “jilbabisasi” secara umum dan secara khusus yang terjadi di sebuah sekolah di Sumatra Barat?
Saya jawab: NU mewajibkan jilbab. Tetapi kewajiban itu didakwahkan dan dipraktikkan secara kultural di masyarakat, tidak melalui tangan negara semisal UU atau Peraturan Daerah. Terkait jilbabisasi di sebuah sekolah yang mencuat akhir bulan Januari lalu, jelas itu bertentangan dengan asas kehidupan bernegara. Lebih-lebih sekolah di Padang itu menerapkan juga pada orang yang tidak memeluk Islam, maka itu bertentangan, tidak diperkenankan agama. Orang Islam jangan sekali-kali menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini prinsip ya, atau pokok, jangan dipandang remeh!
Untuk melihat jawaban yang presisi, secara resmi sebagai sikap institusi NU, kita harus merujuk buku Ahkamul Fuqaha yang berisi hasil keputusan agama ulama NU. Tetapi bukan tidak mungkin, “pasal jilbab” tidak akan ditemui di sana. Kenapa? Sebab, sudah jelas dibahas dalam literatur-literatur keislaman. Jilbab di NU bukan musykilat yang harus dipecahkan seperti hukum pasektomi, reksadana, wakaf uang, atau persolan-persoalan baru yang tidak ada dalam teks-teks keagamaan.
Sementara itu, “jilbabisasi” secara umum atau dalam praktik di masyarakat, NU sepakat. Orang bersekolah di NU atau pesantren, ya wajib mengenakan jilbab, tidak boleh tidak. NU melalui ribuan pesantrennya, melalui ulamanya dan para santrinya, meminta umat Islam menjalankan syariat Islam, termasuk di dalamnya jilbab. NU dan pesantren, bersama elemen atau komunitas Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, punya andil besar dalam melakukan “islamisasi”, termasuk “jilbabisasi” hingga “junubisasi”. Ya, maklum dong, karena itu perintah agama.
Mau NU atau bukan, selagi dia muslim, dibebani berdakwah atau amar ma’ruf nahi mungkar. Tentu saja beban ini ada syaratnya, tidak asal “ballighuu ‘anni walau ayah, sampaikan dari saya walau satu ayat..”
Ratusan tahun pesantren menjalankan misi dakwah tersebut. Namun, sekali lagi, itu semua dilakukan oleh ulama pesantren secara kultural. Dalam film dokumenter berjudul “Jalan Dakwah Pesantren” yang saya buat, dijelaskan metode dakwah para ulama, baik di level masyarakat ataupun kehidupan bernegara (catatan: NU juga sepakat dan mendorong beberapa sistem syariah yang dipraktikkan melalui tangan-tangan negara atau jalur politik. Semisal UU Peradilan Agama, yang antara lain ada perkawinan segala macam hukum-hukum munakahat. Ada juga UU Wakaf, zakat. Beberapa tahun terakhir UU Perbankan Syariah Tahun 2008. Yang termutakhir ada UU Jaminan Produk Halal Tahun 2014. Kenapa NU sepakat “UU Syariah” seperti itu? Jawabnya, antara lain, karena tidak berpotensi adanya praktik diskriminasi pada nonmuslim. Ini perlu dibahas khusus)
“NU dan pesantren itu memasyarakatkan Islam dan mengislamkan masyarakat. Kalau kalangan Islam politik itu mengislamkan negara dan menegarakan Islam. Jelaskan bedanya?” begitu saya sering mengatakan jika ada yang bertanya bedanya NU dengan Hizbut Tahrir, golongan Ikhwan atau sejenisnya (kita tahu golongan Islam politik saja berbeda-beda dalam tathbiqusy syari’ah…. Wah, lama sekali saya tidak mengucapkan atau menulis “penerapan syariat” dalam bahasa Arab..haha).
Bagaimana dengan model jilbabnya, ada yang tampak leher dan sebagian rambutnya ada yang tertutup rapat? Di sinilah NU keren! Silakan berdebat di wilayah ini. Jilbab wajib, tetapi caranya berjilbab ulama berbeda pendapat. Begitu kan jumhurul ulama berpendapat?
Karena ada perbedaan atau tidak sepakat dalam tata cara, maka semua orang harus saling menghargai. “A-ijtihadu laa yunqadlu bil ijtihad, sebuah ijtihad atau pendapat tidak boleh menegasikan ijtihad lain,” begitu kata kaidah fikih. Saya kira di sini NU dan ulama pesantren jelas sekali sikap dan cara berpikirnya: tawasut dan tasamuh, moderat dan toleran. Saling mengharagai.
Loh jangankan jilbab, di Indonesia ini kiblat saja ada bedanya. Demikian juga tata cara salat lima waktu. Salat itu ajaran agama, perintah Tuhan, tetapi cara salat kan beda-beda, ada yang kunut, ada yang tidak. Ada yang sedakep, ada yang tidak. Salat itu rukun Islam loh ya, nomor dua, sesuatu yang wajib adanya. Namun itu saja dilaksanakan tidak seragam. Belum lagi al-fatihah, yang menjadi rukun dalam salat. Di sana ada yang memasukkan basmalah sebagai bagian dari surah, ada yang tidak. Yang percaya basmalah bagian dari dari al-Fatihah saja cara bacanya berbeda, ada yang jahr, ada yang sirr. Dan masih bergunung-gunung perbedaan lain, yang tak kalah penting, yang lebih penting, mohon maaf, dari jilbab.
Pertanyaannya, salat saja berbeda-beda, masa jilbab yang bukan rukun Islam harus seragam? Masa mau diterapkan lewat tangan negara? Jangan aneh-aneh! Agama tidak memperkenankan kita ber-ghuluw dan ber-tatharruf dalam menjalankan agama.