Ketika pertama kali tiba di hotel tempat menginap para petugas haji di Jeddah, aku langsung masuk ruang makan, dan langsung antri makan malam. Maklum, perut keroncongan setelah menempuh perjalanan 450an km dari Madinah, dengan waktu tempuh hampir 5 jam. Sebetulnya di perjalanan dibagi makan siang, namun aku memilih tidur.
Agak terkejut aku, pas giliran ambil nasi, kehabisan piring. Untung saja, seorang anak muda dengan tergopoh-gopoh membawa setumpuk piring, persis lewat di depanku. “Permisi..” katanya lirih. Aku tersenyum dan berterima kasih.
Di tengah makan malam itu, mataku sesekali memperhatikan pergerakan anak muda pembawa piring tadi. Dia cekatan mengganti air galon, menambah lauk, membersihkan lantai yang basah, mengumpulkan piring kotor, menyiapkan tisu, dan lain-lain. Wajahnya yang masih tampak sangat muda membuat berbeda dengan orang seisi ruang makan yang rata-rata umur 40-50an tahun.
Setiap hari aku melihatnya di ruang makan yang muat 100an orang itu. Jika tidak ada di ruangan, dalam hati saya bertanya, “Di mana itu anak muda?”
Senen, 27 Juni 2022, saat makan siang, aku mengajaknya ngobrol. Seperti pertama kali ketemu, siang itu dia juga ada di depanku. Kali ini dia sedang ngejok lauk.
“Lauknya apa, Mas?”
“Sop kikil..”
“Wuihh.. Full kolestrol..Petugas haji pasti suka..hehehe…”
Dia tersenyum, sambil menyambut ajakanku bicara, “Ini khas Jawa Timur..”
Dari lekuk-lekuk bicaranya, aku menebak asal kampungnya, dan aku “tembak”, “Madura, Mas?”
“Pamekasan,” jawabnya singkat.
***
Adalah Muhammad Zekki, nama anak muda yang kuajak ngobrol itu. Lahir di Pamekasan 10 Oktober 1998. Belum 23 tahun, betul-betul muda.
Berangkat ke Saudi awal Nopember 2017. Berbekal visa amil (pekerja), dia bekerja sebagai mutawif atau guide atau pemandu jemaah umrah. Dia tinggal di Mekkah karena yang mengajak Zainul Fatah juga tinggal di sana. Berbekal visa Amil (pekerja) dia bekerja sebagai mutawif atau penghantar jemaah umrah dari Indonesia. “Awal-awal ya ikut saja, bantu-bantu. Setelah paham, jadi mutawif sendiri,” ujarnya singkat.
Zekki, hemat bicara, terkesan pendiam. Mungkin karena dia harus konsentrasi mengawasi kebutuhan konsumsi untuk ratusan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji daerah kerja Bandara. Saat kuajak duduk dan ngobrol-ngobrol di kursi dekat wastafel, beberapa kali dia bangkit dan menengok meja makanan. Jadi wajar dia tidak fokus, masih malu-malu menatap wajahku.
Zekki lulus Madrasah Aliyah Darul Ulun Pesantren Banyuanyar Pamekasan tahun 2017. Setelah setahun mengabdi, dia boyong dari pesantren. Saat pulang kampung itulah, kakak sepupunya, Zainul Fatah, menanyainya. “Mau kuliah atau kerja? Kalau kerja ke Arab visa?” Zekki menirukan Zainul Fatah.
Saat masih di pesantren, dia punya angan-angan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Sebab, di sana ada komunitas alumni Pesantren Banyuanyar, banyak seniornya yang kuliah sambil bekerja. Di pesantren, Zekki cukup aktif, termasuk ikut teater Kertas. Di Madrasah Aliyah, dia mengambul jurusan IPA karena menyukai pelajaran biologi.
Aku, sebagai santri, cukup memahami angan-angan Zekki ingin kuliah di Ciputat. Sebagai santri yang aktif, dia pasti menjalin hubungan dengan seniornya, bertanya-tanya, tentang kuliah, tentang kondisi di tempat kuliah, mungkin juga tentang masa depan setelah kuliah.
Namun, mengingat kondisi ekonomi keluarg, Zekki harus memendam keinginannya kuliah. Menerima tawaran Zainul Fatah (Fatah, 60 tahun, kakak sepupu Zekki, sudah pulang kampung awal pandemi, tahun 2020) bekerja di Tanah Suci adalah pilihan yang paling masuk akal bagi Zekki.
Muzayyanah (47 tahun), ibundanya, adalah single parent. Sang ayah Batwih, atau suami Muzayyahah, meninggal ketika Zekki duduk di bangku SD kelas 6 dan adiknya masih dalam kandungan.
Sejak itu, Muzayyanah menjadi petani kecil di kampung. Dia menanamnladi 2x dalam setahun. Beruntung Muzayyanah punya warisan orangtuanya. Beruntung pula, keluarganya kanan kiri membantunya, baik dari segi material ataupun moral.
Karena kondisi itu, Zekki tidak bisa memaksakan keinginannya kuliah dan membiarkan ibunnya banting tulang sendirian–belajar di pesantren selama 3 tahun, hingga khatam Madrasah Aliyah saja sudah sangat beruntung.
Tahun ini, Ubaidillah, adik satu-satu Zekki lulus SD. Kata Zekki ingin mengikuti jejaknya, mesantren di Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan. “Insya Allah adik saya akan lebih mudah menjalani pelajarannya saat di pesantren nanti,” jawab Zekki dengan muka berseri.
Sebelum Ramadan 2023, Zekki berencana pulang, setelah sekitar 5 tahun meninggalkan kampung halamannya; tidak bertemu ibundanya dan tidak menyaksikan adiknya tumbuh. “Saya sudah beli satu sapi seharga belasan juta untuk syukuran saat pulang,” ungkapnya. Zekki mengatakan, tradisi pulang kampung pertama dari Saudi akan disambut banyak orang dari kabupaten dan tamunya banyak, mirip orang pulang haji.
“Kalau pulang nanti akan bersama-sama ibunya nengok adiknya yang sudah di pesantren,” tambahnya.
***
Dari tahun kelahirannya, Muhammad Zekki masuk kategori Gen Z. Generasi ini masuk orang-orang yang tidak bisa lepas dari gawai, karena memegang gawai atau sudah berinternet sejak keci. Menurut riset Alvara terbaru (Juni 2022), generasi ini lebih mudah beradaptasi daripada generasi di atasnya, Milenial. “Pengenalan dan kepemilikan gawai sejak dini oleh generasi membuat dia sangat lekat, akrab, bahkan tidak bisa lepas. Karakter lainnya dari generasi ini lebih visual ketimbang narasi. Tentu ada dampak positif dan negatifnya,” kata Hasanuddin Ali.
Aku jadi paham kenapa Zekki memiliki akun Facebook, IG, dan YouTube. Dia juga mengenal dan berjejaraing dengan teman-temannya para YouTuber yang ada di Arab Saudi, seperti Muhammad Sofi AW, Hasib Azizi, Sahabat Salam, Khairul Azam dan lain-lain. Akun media sosial Zekki, baik di IG ataupun YouTube, dipenuhi aktivitasnya di Tanah Suci. Dia syiar sekaligus promosi pekerjaannya sebagai mutawif.
Pekerjaan Zekki sebagai pembantu umum pada tenaga pendukung Panitia Penyelenggara Ibadah Haji hanyalah sementara. Meski demikian, dia menyukai pekerjaan ini. “Saya sudah dapat dua kali jadi tenaga musiman haji, Mas, tapi tidak lolos. Ini yang ketiga kalinya, alhamdulillah bisa masuk,” Jawanya saat ditanya tentang tenaga pendukung PPIH. Dia merasa bersyukur, pas musim umroh libur, dapat pekerjaan ini.
Pekerjaan Zekki sebagai mutawif akan dimulai lagi pada akhir Agustus-Oktober nanti. Ada 500an jemaah umrah, akan dibimbingnya. Dan mulai saat itu, dia sudah punya travel tetap yang juga bertanggung jawab penuh atas perjalanan jemaah umrah, bukan juga jadi pemandu. Dia akan mengurus penginapan, makan, transportasi, dan lain-lain. Artinya, penghasilan akan bertambah seiring tanggung jawab yang dipikulnya.
“Mutawif 200 Real per hari. Kalau dipercaya travel untuk mengelola, akan lebih banyak,” ungkap Zekki, yang kadang-kadang juga memandu jemaah berbahasa Melayu, seperti dari Malaysia dan Brunei.
***
Muhammad Zekki bekerja 72 hari menjadi tenaga pendukung PPIH, tanpa libur. Dia bangun jam 4, dan akan mulai bekerja bakda Subuh, pukul 4.30. Mulai dari membersihkan ruangan, menyiapkan meja makan, menerima kiriman makanan dapur yang ada di Kantor Urusan Haji, sekitar 8 km dari hotel menginap para petugas haji. Zekki baru istirahat sekitar jam 10 malam.
Namun, di tengah-tengah bekerja, semisal dari pukul 9 hingga jam 11, dia bisa beristirahat. Di sela-sela itu, dia memeriksa ponselnya, buka-buka kanal YouTube atau IG. Pengajian-pengajian dari Gus Baha, Buya Yahya, Ustaz Abdus Sama hingga Ustaz Adi Hidayat adalah langganannya “Sekarang sedang sering lihat Buya Yahya,” katanya. Meskipun berlatar belakang NU, dia mengaku tidak fanatik hanya melihat ulama-ulama NU. “Mana yang baik ya saya ambil,” ujarnya.
Pada hari-hari biasa, dia juga tidak lepas dari aktivitasnya mengaji. Dia misalnya mengikuti pengajian hadis Riyadi Shalihin, tiap Jumat, bakda Asar, yang diasuh oleh Ustaz Hasibullah. Pengajian ini dikelola oleh komunitas alumni Pesantren Darul Ulum, Pamekasan. Ada juga pengajian orang Madura lainnya yang berkeliling dari rumah ke rumah. Halaqah al-Hikam, namanya. Tapi Zekki masih jarang mengikuti pengajian ini.
Zekki juga bercerita kepadaku tentang Sayid Ahmad dan sayid Ismail. Keduanya adalah gurunya para santri dari Jawa, Kalimantan, Lombok, dan lain-lain. Sewaktu masih dibuka umum, saya kadang-kadang ikut Maulidan.
Seringnya mengikuti pengajian-pengajian informal di sekitar Mekkah, Zekki sudah melupakan keinginannya kuliah di Ciputat. Dia justru ingin kuliah di Tanah Suci, mendalami ilmu agama. Keinginan ini tidak lepas dari pesan almarhum Syamsul Arifin, gurunya di pesantren, “Kalau kerja di Mekkah kok tidak ngaji, itu bukan kerja di Mekkah…”