Sedang Membaca
Mengapa Usia Panjang Kiai Maimoen Zubair Sangat Istimewa
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Mengapa Usia Panjang Kiai Maimoen Zubair Sangat Istimewa

Kiai Maimoen Zubair wafat di Mekkah pada usia ke-91. Almaghfurlah dilahirkan di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, pada hari Kamis Legi bulan Sya’ban, 1347 H atau bertepatan dengan 28 Oktober 1928. Beliau ini mungkin ulama tersepuh setelah Kiai Ali Yafie, juga tokoh NU. Kiai Ali Yafie alhamdulillah hari ini masih sehat di usia ke-93 (lahir 1 September 1926), tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan.

Di usianya yang mendekati satu abad, Kiai Maimoen terbilang masih sangat aktif di dunia pendidikan (dan sosial politik), yakni membaca kitab pesantren dan rajin berkeliling untuk memberikan ceramah, atau sekedar silaturahim ke kawan-kawannya.

Pada bulan Ramadan 1440 H yang belum lama kita lewati, beliau masih membaca kitab untuk ribuan santrinya, dengan fasih dan suara yang terdengar jelas. Saya sangat senang saat beliau melafalkan huruf “kho”, sangat jelas.

Pengetahuan beliau di bidang bahasa, sejarah, tafsir, dan peradaban Islam klasik membuat pengajiannya selalu dinanti banyak orang, tidak hanya santrinya, tapi juga orang umum yang mendengarkan lewat video-video yang beredar di jejaring Youtube. Satu pernyataannya yang sangat saya suka adalah: Islam lahir di Mekkah, berkembang di Bagdad, dan dipraktikkan di Indonesia. Jika tidak punya pengetahuan dan penjiwaan atas ilmu, pernyataan ini tidak akan pernah lahir.

Baca juga:  Sabilus Salikin (125): Perkembangan Tarekat Syadziliyah Hingga ke Indonesia

Pada suatu ketika, di bulan Ramadan 2011/2012, saya sowan, atau mengunjungi Kiai Maimoen di pesantrennya. Waktu itu saya datang menjelang waktu Asar. Saya menunggu lama karena beliau harus menyelesaikan pengajian.

Bola mata yang sudah tidak putih lagi, badan yang membungkuk, dan oleh karenanya harus dituntun jika berjalan, tak membuatnya berhenti beraktivitas. Alih-alih pensiun, malah sepertinya tidak pernah istirahat cukup. Ya, beliau seperti kiai pada umumnya, usia dan waktu telah diwakafkan untuk kepentingan umat. Tak banyak kesenangan pribadi dinikmatinya.

Jika tidak ada jadwal mengaji atau acara di luar kota, beliau menerima tamu yang seperti tak pernah habis. Tamunya bermacam-macam, mulai dari petani hingga pejabat tinggi,  dari calon pengantin hingga ulama, dari minta nama untuk bayi hingga minta doa.

Dan, saat menerima tamu itulah, sebetulnya beliau kerja keras, karena sebagian yang diutarakan tamu kepada dirinya, juga kepada kiai-kiai pada umumnya, adalah masalah, problem. Mulai problem anak yang nakal, problem ekonomi orangtua santri, hingga situasi politik yang pelik.

Belum lama setelah pemilihan presiden usai, beredar video yang merekam dialog Kiai Mbah Maimoen sedang dimarahi tamunya. Tamunya mengatakan situasi politik tertentu dan bersifat memaksa. Dan Kiai Maimoen menghadapi tamunya dengan tenang. Belakangan, tamunya meminta maaf secara terbuka.

Baca juga:  Sabilus Salikin (20): Pengertian Sufi dan Tasawuf (lanjutan)

Selain ilmu dan pengalaman hidupnya, yang membuat Kiai Maimoen istimewa sesungguhnya adalah usianya yang panjang. Umur panjang Kiai Maimoen plus kesehatannya yang melimpah membuat generasi-generasi sesudahnya dapat menikmati bergunung-gunung informasi “historik” dari generasi sebelumnya, yang hidup di abad berbeda. Masa kolonial tentu menjadi masa yang berat bagi beliau yang sedang tumbuh.

Misalnya, Kiai Maimoen dapat berjumpa dan merasakan bimbingan para ulama yang lahir abad ke-19, seperti ayahandanya sendiri, Kiai Zubair. Beliau juga dapat sentuhan dan doa dari pendiri Pesantren Lirboyo yang juga lahir abad ke-19, Kiai Abdul Manaf (lahir di Magelang, 1858, lebih sepuh dari Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir tahun 1871), dan lain-sebagainya.

Saya belum dapat informasi, apakah beliau bertemu langsung dengan pendiri NU, Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari atau tidak. Namun dari sisi tahun kelahirannya (1928) dan tahun wafatnya Kiai Hasyim (1947), bukan tidak mungkin Kiai Maimoen pernah bertemu langsung.

Tentu saja, beliau juga bertemu dengan ulama-ulama level dunia yang lahir abad ke-19, karena pernah menimba ilmu di Mekkah, seperti Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki, Syekh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syekh Yasin bin Isa Al- Fadani, Syekh Abdul Qodir Almandily.

Umur panjang Kiai Maimoen adalah berkah bagi generasi setelahnya, tidak hanya orang-orang yang lahir akhir abad ke-20 yang merasakan ilmunya, tapi bayi-bayi yang lahir pada tahun 2000-an atau abad ke-21. Ini sungguh luar biasa. Dan Kiai Maimoen juga merasakan perubahan dunia dari satu milenium ke milenium berikutnya. Sesuatu hal yang langka.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Beragama dengan Gembira

Umur panjang tentunya bukan milik Mbah Maimoen saja, tapi sehat, bermanfaat, dan dibutuhkan masyarakat luas tentu saja menjadi sangat istimewa. Fatwa, nasehat, pemikirannya, dibutuhkan bukan saja oleh masyarakat pesantren, tapi juga oleh masyarakat yang secara luas, melintasi sekat agama dan golongan politik.

Mbah Moen seperti mata air di pegunungan, airnya diminum siapa saja tanpa pandang bulu. Santri beliau taat, sahabatnya sesama ulama membutuhkannya, kolega politiknya patuh, bahkan lawan politiknya tetap hormat. Sampai pada akhir-akhir hayatnya, beliau adalah rujukan sikap hidup banyak kalangan.

Kini beliau telah pergi meninggalkan kita untuk selamanya, hikmahnya bukan umur panjang dan sehat saja, tapi sejauh mana kemanfaatan pemikiran-pemikirannya mengalir hingga melintasi generasi yang akan datang.

Semoga husnul khotimah.. Selamat jalan Kiai… Alfatihah..

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top