“Bung jangan kawin lagi. Istana sedang jadi sorotan, sedang krisis ekonomi,” begitu kira-kira kata Idham Chalid, Saifuddin Zuhri, dan didukung orang-orang NU lainnya.
Sukarno punya hasrat untuk kawin (kawin itu sama dengan nikah) lagi, calon sudah tersedia. Tapi kiai-kiai NU ngotot tidak bersedia.
“Gak pentes,” begitu kira-kira kata kiai-kiai NU.
Akhirnya Bung Karno tidak jadi kawin. Namun, Bung Karno yang percaya ulama NU dan menjadi sekutunya, dan orang NU yang Sukarnois itu, tetap punya hubungan mesra. Ingat ya, jangan dikira NU itu taklid buta pada Sukarno. Jangan dikira juga, Sukarno tidak punya catatan pada NU.
Sekutu Bung Karno yang berani menolak keinganannya adalah hanya orang-orang NU, ulama-ulama itu. Pada saat bersamaan, orang NU total mendukung Bung Karno. Saat kakeknya Puan Maharani itu lengser, semua orang menjauhinya, tepatnya tidak ada yang berani kelihatan dekat, karna bisa “ditandai” Soeharto, yang baru saja berkuasa.
Bung karno pernah kesulitan cari teman makan siang. Kasihan, kata Mahbub Djunaidi –Sukarnois muda dari NU– Bung Karno cari teman makan siang saja tidak ada yang bersedia.
Akhirnya ketemu orang NU: Kiai Wahab dan Kiai Bisri. Keduanya teman lama Bung Karno sejak sebelum Indonesia Merdeka.
Saat Bung Karno meninggal, hanya NU yang mentahlili, hingga ada acara haul sampai hari ini. Saat haul Bung Karno awal-awal, gak banyak pejabat rutin dan terang-terangan mengenang sang proklamator ini.
Kelompok Islam lain tidak berani tahlil dan haul, karena takut bid’ah. Abangan tidak paham ritual ini. Priayi takut Suharto. Ini sejarah, jangan dilupakan.
Kita tahu, hubungan baik NU pasca wafatnya Kiai Wahab dan pasca wafatnya Bung Karno berlanjut. Siapa yang meneruskan?
Wong Tebuireng (ini sebutan M. Yamin untuk Abdul Wahid Hasyim, seperti diceritakan Saifuddin Zuhri dalam bukunya). Maksudnya Gus Dur, putranya Kiai Wahid, temannya Bung Karno.
Ya, kali ini Gus Dur mewakili NU untuk meneruskan hubungan dengan Bung Karno. Melanjutkan silaturahim dan hubungan dekat dari orangtua ke anaknya, dari sesepuh ke generasi berikutnya, adalah “tradisi besar” di NU, yang wajib dijalankan.
Selama masa Orde Baru Gus Dur ke mana-mana bersama Ibu Megawati. Macam-macam aktivitasnya, dari mulai ziarah hingga seminar, dari makan nasi goreng hingga pidato, dari saling telepon hingga rapat akbar. Gus Dur menjalani itu semua lebih dari sekedar punya persamaan visi di era rezim militer itu, tetapi juga menjalankan dan meneruskan hubungan para orangtua keduanya. Ini amanat politis dan kultural sekaligus.
Susah dan senang Gus Dur dan Ibu Mega tetap bersama-sama. Ideologi, harta, nyawa, massa, menyatu dalam tarikan nafas keduanya.
Gus Dur menemani Ibu Mega tidak sendirian. Ia ditemani Kiai Hasyim Muzadi, bahkan kedekatan ini menyatukan keduanya maju dalam pilpres 2004. Kalah. Tapi keduanya tetap dekat. Keduanya dekat, hingga Kiai Hasim Muzadi wafat. Sebelum wafat, almarhum mengerahkan kemampuannya untuk mendukung pilihan Ibu Mega dalam Pilpres 2014: Joko Widodo.
Hubungan NU dengan Ibu Mega dilanjutkan Kiai Said Aqil Siroj. Sama dengan Kiai Hasyim, Kiai Said sudah lama dekat dengan Ibu Mega. Hampir bisa dipastikan mereka berdekatan karena Gus Dur.
Hari ini, nasib Ibu Mega sepertinya lebih manis daripada ayahandanya dulu yang menjalani akhir hidupnya dengan kesepian. Ibu Mega hari ini, jauh sekali dengan Ibu Mega sebelum reformasi, yang dikerdilkan Suharto.
Ibu Mega tidak kekurangan suatu apa. Pernah jadi wapres, presiden, partai politik yang sangat kuat, bahkan sekarang ini putrinya menjadi ketua DPR. Semua orang hari ini takzim kepadanya. Luar biasa. Ini berkah ayahanda dan perjuangannya. Sekali lagi, kondisi ini berbeda dengan ayahandanya, sang pendiri republik yang akhir-akhir hayatnya cari teman makan siang saja sukar bukan main. Sekarang ini kekuarangan Bu Mega cuma satu. Apa itu?
Orang dekat yang mengkritik dengan pedas, orang dekat yang mampu menolak kehendaknya, seperti kiai-kiai menolaj kehendak Bung Karno kawin lagi. Apakah Kiai Said mampu dan berani memerankan tugas ini?