Sedang Membaca
Kompleksitas Humor Gus Dur
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Kompleksitas Humor Gus Dur

Img 20221215 162812

Kemarin, saya bertemu dengan Taufik Rahzen, seorang budayawan kelahiran Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Kalau tidak keliru, ini yang ketiga kalinya bertemu dengan dia, persisnya mendengarkan dia bicara. Pertemuan pertama terjadi saat dia menjadi moderator di sebuah seminar akbar bersama Pramudya, Gus Dur, Mansur Fakih, dan Gadis Arivia, di UGM, sekitar 2002/2003, tidak lama setelah Gus Dur lengser. Pertemuan ketiga, saya lupa di mana dan acara apa. Tetapi baru kemarinlah, di acara Kementerian Agama, kami duduk berdekatan.

Saya terkejut, dia menyampaikan perihal humor. Dia mengatakan bahwa humor adalah khazanah keislaman di Indonesia yang harus dieksplorasi, selain soal aksara, visual, desain, dan musik.

“Humor yang saya maksud bukan sekedar lelucon, tetapi cara berpikir.” Begitu dia katakan, dengan dingin dan serius. Wajah Rahzen sekarang tampak berkerut di sana sin. Maklum, sudah tampak berumur, tidak seperti 20 tahunan lalu. Yang berbeda sama sekali adalah, dia memakai batik, penutup kepala, syal, dan sarung. Tidak lagi baju hitam-hitam, identitas dia dulu.

Dan dia mencontohkan Gus Dur! Dalam hati saya menggumam, “Tentu saja tidak ada contoh lain terkait humor dan Islam, juga agama secara umum, selain Gus Dur.”

Dalam tulisan dan obrolan-obrolan informal, saya beberapa kali mengatakan, sepanjang Islam tumbuh, selama 15 abad, hanya tiga muslim yang sungguh-sungguh menggunakan humor sebagai hal yang paling serius; Abu Nawas yang hidup abad 8 Masehi di Baghdad, Nasruddin Hoja di Konya-Turki abad ke-13 Masehi, dan dan 7-8 abad kemudian di Asia Jauh, di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Belakangan, setelah mendengarkan ceramah Gus Baha, saya tambahi jadi 4 orang, yaitu Nu’aiman radliyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi yang tidak banyak dikenal.

Baca juga:  Di Bandara Soetta, Berjumpa Kiai yang Punya 200 Karya

Saya sepakat dengan Rahzen bahwa humor itu bukan sekedar lelucon, aktivitas hiburan, ketawa-ketiwi, tetapi cara berpikir. Humor lebih kompleks dari itu. Saya mengatakan dengan bahasa lain, humor itu perspektif atau cara memandang hidup dan kehidupan. Melihat Islam dan dogma-dogma agama dengan humor, itu seperti Jalaluddin Rumi memaknai Islam dan kehidupan dengan keindahan, kenikmatan, kearifan, dan kepasrahan, tidak melulu teks atau sumber formal yang tertulis.

Bahkan, Abu Nawas, Nasruddin Hoja, dan Gus Dur, unggul di atas Rumi, karena ketiga nama itu tak segan mengkritik lebih gamblang. Teapi masing-masing punya tempat dan peran yang berbeda-beda.

Narasi humor sebagai cara berpikir atau perspektif yang bukan melulu canda, dipraktikkan, ditunjukkan, atau diperagakan oleh Gus Dur dengan sempurna. Seperti apa konkretnya?

Pertama, humor bisa mengungkapkan kenyataan hidup atau kehidupan yang nyata dengan narasi yang berbeda, dari sudut yang lain. Jenis pertama ini disampaikan lewat kisah-kisah dan kepandaian bercerita.

Kedua, humor dibangun dengan metode membelokkan logika yang lazim. Yang kedua ini biasa tersaji lewat retorika.

Bagi saya, wafatnya Kiai Abdul Wahid Hasyim di usia muda, dengan meninggalkan 5 putra-putri yang masih kanak-kanak dan istri yang baru mengandung anak keenam, bukan semata-mata peristiwa kepedihan yang menyanyat hati kita semua, tetapi bisa dinarasikan dengan nada-nada “gugatan” kepada Tuhan:

“Ya Allah, apa Engkau tidak tahu Kiai Wahid pemimpin yang sedang kami butuhkan? Apa Engkau tidak tahu putri-putrei beliau masih kecil bahkan ada yang masih di dalam kandungan? Pelajaran apa yang sedang Engkau berikan sehingga kami mendapatkan ujian seberat ini?”

Bagi saya, itu humor. Tuhan kok digugat? Tuhan kok dibilang tidak tahu? Ini bagaimana? Ini kekonyolan yang serius. Tamanni, dalam istilah sastra Arab, sesuatu yang mustahil. Tuhan pasti tidak akan menjawab (dengan perkataan). Tetapi kok dilakukan? perbuatan sia-sia kok dikerjakan?

Baca juga:  Memahami Persaudaraan dari Fathimah binti Al-Walid bin Mughirah

Siapa bilang sia-sia. Gugatan adalah cara agar kita tidak dirundung kesedihan yang berkepanjangan. Gugatan ini tetap dilancarkan agar kita berpikir, bergerak, mencari hikmah dengan berbuat sesuatu. Gus Mus, karibnya Gus Dur, pernah melakukan gugatan seperti itu saat saudaranya, Kiai Mudjab Mahalli dari Jogjakarta, wafat di usia muda. Dalam kalimahnya melepas jenazah Kiai Mudjab, Ramadan 2003, sangan berbeda, dan mengandung gugatan. Gus Mus ngendiko, “Kenapa yang dipanggil Pulang kok Kiai Mudjab, yang masih muda, masih kita butuhkan ilmu dan dan kepemimpinannya?”

Gus Dur sendiri, kita tahu, telah berhasil menunjukkan kepada kita bahwa humor adalah metode terbaik untuk mengungkap realita; menertawakan diri sini, melancarkan kritik (termasuk kepada orang beragama), mendidik, menenangkan diri, hingga memberi motivasi. Semua itu mudah kita temukan, baik dalam ceramah Gus Dur langsung ataupun yang sudah dituliskan dan beredar di mana-mana.

Sejak Desember ini, 2022, saya kembali membaca arsip-arsip Gus Dur atau tentang Gus Dur, salah satunya yang ditayangkan kembali di gusdur.net. Di sana saya menemukan wawancara Gus Dur dengan majalah sastra, Horison, September 1984, atau 3 bulan sebelum Muktamar NU di Pesantren Sukorejo-Situbondo, Jawa Timur, Desember 1984. Wartawan yang mewawancarainya bernama Hardi, yang juga seorang pelukis.

Wawancara amat panjang ini dikasih judul “Sastra Islam dan Penyempitan Ilmu Islam” ini serius sekali. Hampir tidak saya temukan jawaban-jawaban “sedapatnya” atau “slengean” khas Gus Dur seperti wawancara-wawancara di majalah Tempo, Monitor, atau Editor. Yang diceritakan Gus Dur di sana adalah filsafat Yunani, sejarah ulama, sastra Arab, penafsiran Al-Qur’an, Baghdad, Iran, India, dan tema-tema yang wajarnya ada di kelas-kelas kajian Islam. Namun, saya menemukan unsur humor yang kuat di bagian akhir wawancara. Gus Dur melontarkan dua kata yang jika dikatakan oleh ulama pasti bermakna sesuatu yang menyeleweng, bengkok, atau salah. Apa dua kata itu?

Baca juga:  Psikologi Agama (4): Islamisasi Psikologi dan Tantangannya

“Kembelingan” dan “kebandelan”. Gus Dur memposisikan diri sebagai orang yang menjalankan tugas orang “mbeling” dan “bandel”. Ini “humor sekali”. Bayangkan, orang yang digadang-gadang 3 bulan lagi menjadi ketua umum organisasi ulama (wawacara ini diterbitkan September 1984, sementara muktamar NU, Desember 1984), tidak ragu mengatakan punya tugas membuat “kenakalan-kenakalan”. Itu dikatakan dengan lugas, tanpa “jaim”, tanpa memperhitungkan kewibawaannya sebagai ulama muda.

Dua kata itu dilontarkan, dalam konteks kedudukannya di Dewan Kesenian Jakarta. Kalimat Gus Dur begini:

“….sebagai orang yang berkecimpung dalam ilmu agama dan kebetulan menyinggung bidang lain, bidang pemikiran budaya secara umum, maka tugas saya itu mempertahankan kembelingan dan kebandelan terhadap interogasi dan penghakiman dari establisment agama.”

Apakah kalimah Gus Dur yang baru saja kita baca memancing kita tertawa? Saya yakin tidak. Tetapi tidak serta merta tidak mengandung unsur humor. Unsur humor di sini termuat dalam logika Gus Dur yang membelokkan kelaziman bahwa ulama harus tampil baik-baik saja. Keulamaan yang melekat pada diri Gus Dur justru keluar “jalur”, yang terwakili oleh dua kata; mbeling dan bandel. Sekali lagi, ini humor yang baru akan mengundang tertawa jika disajikan secara langsung, verbal, dengan aksentuasi dan gerak tubuh tertentu, bukan kalimat-kalimat tertulis yang kering.

Demikianlah, Gus Dur yang penuh kesederhanaan, justru menunjukkan kepada kita semua bahwa humor itu tidak sesederhana yang kita pikirkan. Humor memiliki kompleksitasnya sendiri.

 

15 Desember,

Tambun-Beksi

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top