Almagruflah Kiai Abdul Wahab Chasbullah terkenal sebagai ulama, pejuang kemerdekaan, dan aktivis pergerakan. Sahabat-sahabatnya, juga mengenalnya sebagai politisi ulung yang pandai berdiplomasi. Plus ulama yang penuh canda.
Dan Kiai Wahab memiliki keistimewaan, yang tidak banyak ada pada orang lain, yakni kemampuan melempar humor, khususnya jenis plesetan, sebagai alat diplomasi
Suatu hari, ketika Nusantara masih dalam cengkraman Belanda, Kiai Wahab berpidato di hadapan kiai-kiai dan ratusan santri.
“Wahai Saudara-saudaraku kaum pesantren, baik yang sudah sepuh, yang disebut kiai, ataupun yang masih muda-muda, yang dikenal dengan sebutan santri. Jangan sekali-sekali terbersit, apalagi bercita-cita sebagai Ambtenaar (pegawai)!” Begitu suara Kiai Wahab berapi-api.
“Mengapa kalangan kiai dan santri tidak boleh jadi Ambtenaar?
Jawabannya tiada lain tiada bukan, karena Ambtenaar itu singkatan dari “Antum fin Nar”. Tidak usah berhujah susah-susah tentang Ambtenaar, artinya ya tadi, ‘kalian di neraka’ tititk,” jelas Kiai Wahab.
Para kiai dan santri yang hadir tertawa dan tepuk tangan.
Lain waktu, semasa penjajahan Jepang, Kiai Wahab menghadapi para kiai yang belum paham cara berpolitik dengan Jepang. Para kiai itu tidak bersedia menjadi anggota “Jawa Hokokai”, semacam perhimpunan rakyat Jawa untuk mendukung Jepang.
“Para Kiai tidak susah-susah mencari dalil menjadi anggota ‘Jawa Hokokai’. Masuk saja dulu. Tenang di dalam badan tersebut ada Bung Karno. Beliau tidak mungkin mencelakakan bangsa sendiri,” Kiai Wahab mulai merayu para kiai.
“Tapi Kiai, apa artinya ‘Jawa Hokokai’ itu?” tanya seorang kiai.
“Loh, Sampean belum tahu ya, ‘Jawa Hokokai’ itu artinya ‘Jawa Haqqu Kai’,” jelas Kiai Wahab singkat.
“Ooo… Jadi Jawa Hokokai itu artinya Jawa milik para kiai. Ya sudah, mari, jangan ragu masuk Jawa Hokokai,” ujar kiai tadi merespon.