Ada teman yang tanya,”Kang, kenapa Gus Dur kalah dalam pertarungan terbesarnya? Katanya Gus Dur wali?”
Saya yang bukan wali, kelabakan menjawab pertanyaan tersebut. Betul-betul kelabakan, apalagi pertanyaan itu dilontarkan langsung via telepon. Ini seperti menodong.
Rasa-rasanya, setelah banjir kemarin, inilah masalah terberat awal tahun 2020: mendapat pertanyaan setingkat wali, padahal saya, hanya santri, dan tidak akan naik level menjadi wali seperti Gus Dur, Mbah Hamid, Gus Miek, Mbah Moen, dan lain-lain. Jika satu hari nanti saya naik maqom, menjadi “santrinya wali” saja sudah sangat istimewa.
Saya minta izin pada Amrullah Hakim, teman yang bertanya itu, untuk mematikan ponsel. “Sejam lagi saya jawab via WA.” Begitu saya bilang. Saya bilang kepadanya mau naik motor, padahal pura-pura saja, agar bisa mikir.
Beberapa kali saya menyusun jawaban, tapi setelah dibaca ulang merasa tidak layak. Saya hapus lagi. Begitu terjadi hingga empat kali. Tidak mungkin saya tidak menjawabnya, biar tampak berwawasan, saya harus menjawab. Pendapat Gus Mus yang mengatakan ciri-ciri orang bodoh itu menjawab semua pertanyaan, ingin saya tolak dengan saya menjawab pertanyaan teman tadi.
Akhirnya, saya berhasil menumpuk-numpuk kata menjadi kalimat dan menyusun sekuat tenaga menjadi paragraf-paragraf. Namun, saat hendak pencet tanda “kirim”, saya batalkan. Loh, kok agak panjang? Saya alfikan saja dulu:
Gus Dur sepanjang hidupnya, persisnya selama dia menjadi Ketua Umum PBNU, tidak pernah kalah dalam pertarungan politik, bahkan ujian-ujian internal NU saja dia selalu berhasil melewatinya, meski tidak selalu mulus.
Gus Dur mengalami kegagalan iya. Dia gagal sudah biasa, tapi itu sifat kecil-kecil. Gagal dalam praktik sehari kan semua orang mengalaminya. Namun, dia tidak pernah gagal apalagi kalah dalam soal yang menyangkut jangka panjang, yakni urusan cita-cita serta visi keagamaan dan kebangsaan, termasuk di dalamnya dalam menegakkan wibawa Nahdlatul Ulama, organisasi yang didirikan para wali.
Dia misalnya gagal memberi pemahaman kepada Kiai As’ad syamsul Arifin tentang ide “salam” diganti “selamat pagi” dan seterusnya. Namun, itu tidak membuat legitimasi Gus Dur runtuh sebagai Ketua Umum PBNU. Malah dia terpilih lagi secara aklamasi saat muktamar NU di Pesantren Krapyak Jogjakarta, 1989. Bukan hanya itu, saat Kiai As’ad menyatakan “cerai” dengan Gus Dur, para santri dan alumninya yang jumlahnya puluhan ribu, mungkin mencapai seratusan ribu, diwajibkan tetap berkhidmat pada NU yang dipimpin Gus Dur itu. Apa artinya?
Artinya, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang pernah bertemu langsung dengan Mbah Hasyim, memendam cinta yang mendalam pada Gus Dur, tentu saja pada NU.
“Kompetitor-kompetitor” Gus Dur di NU juga banyak sekali yang berbalik mencintai Gus Dur, padahal hembusan-hembusan ketidaksukaan begitu gencar, dan makin kencang karena dikompori media Islam di luar NU.
Ada satu cerita dari Kiai Masyhuri Malik tentang pernyataan Kiai Dawam Anwar di Panji Masyarakat. Kiai Dawan menyatakan hal miring tentang Gus Dur di majalah yang didirikan Buya Hamka itu. Kiai Dawan itu kan, kata Kiai Masyhuri Malik, keras.
“Beliau itu kan grupnya Kiai Syukron Makmun. Maklum jika bersebrangan dengan pendapat-pendapat atau tindakan Gus Dur yang dianggap nyleneh dan menyimpang. Masuk gereja apalagi, pasti ditentang secara langsung,” Kiai Masyhuri menjelaskan sedikit perbedaan Kiai Dawam dengan Gus Dur.
Gus Dur marah dengan Kiai Dawan. Saat Kiai Masyhuri Malik, yang waktu itu berposisi sebagai sekretaris Pengurus Cabang NU Bekasi, dipanggil Gus Dur, disuruh datang ke PBNU. Kiai Dawan sendiri waktu itu menjadi Rais Syuriah PCNU Bekasi, alias atasannya Kiai Masyhuri Malik. Sementara ketua PCNU-nya Kiai Aminuddin Mukhtar, periode kepengurusan 1985-1990.
Datanglah Kiai Masyhuri ke PBNU, naik vespa dari Tambun-Bekasi ke kantor PBNU, di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.
“Kang Masyhuri, tolong Pak Dawam suruh minta maaf ke saya, dan menyatakan bahwa pernyataannya di Panji Masyarakat plintiran wartawan. Kita ini baru menata NU, jangan ngomong yang bukan-bukan, apalagi di media orang lain. Kalau tidak minta maaf, saya tuntut ke pengadilan. Ente kan alumni Krapyak, bisalah mediasi begini-begini,” kata Kiai Masyhuri menirukan Gus Dur. Saat itu, di kantor PBNU juga ada Pak Fahmi D. Saifuddin, yang katanya kaget juga dengar Gus Dur marah, tidak biasa-biasanya. Gus Dur mengatakan Panji Masyarakat milik orang lain karena di sana tempat kelompok masyumi berkumpul. Dan di majalah ini pula, Azumardi Azra, memulai karirnya sebagai penulis.
Singkat kisah, Kiai Masyhuri menyampaikan pesan Gus Dur. Kiai Dawan yang pengasuh Pesantren Al-Kasyaf Tambun kaget mendengar cerita juniornya bahwa Gus Dur marah. Akhirnya Kiai Dawan menulis surat menyatakan maafnya kepada Gus Dur dan menyatakan wartawan salah tulis. Surat ditulis dengan bahasa Arab, dan khat kiai Dawam yang indah membuat Gus Dur senang.
Gus Dur menang dalam diplomasi internal NU, namun tidak jumawa. Dia datang ke pesantren milik Kiai Dawam, bicara di acara halaqah yang dibuat PCNU Bekasi. Pada periode kepengurusan berikutnya, Kiai Dawan yang juga alumni Tebuireng itu diangkat Gus Dur jadi katib PBNU. Gus Dur banyak berhasil mengatasi konflik-konflik kecil di internal NU. Gus Dur bahkan berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan keras dalam forum kiai di pesantren Arjawinangun, Cirebon.
Melawan pertarungan dengan pihak luar NU, Gus Dur lebih lincah, tanpa beban unggah-ungguh sesama kiai. Melawan kelompok politik di luar NU, Gus Dur enteng saja mengeluarkan jurus-jurusnya, mulai meledek dengan humor, pamer massa hingga melontarkan kata “stupid” untuk Presiden Soeharto.
Misalnya, Gus Dur dihadang dengan berbagai cara agar rapat akbar di Jakarta dibatalkan. Namun Gus Dur ngotot melaksanakannya, dan behasil. Gus Dur menang.
Gus Dur menang lagi di muktamar NU Cipasung meski digerpol oleh Soeharto secara membabi-buta. Setelah Muktamar NU 1994, bahkan Soeharto dibuat bingung saat anaknya, Tutut dibawa-bawa Gus Dur ke pesantren sambil menyatakan bahwa Tutut adalah pemimpin masa depan.
Yang mungkin bisa dikatakan “kalah” adalah saat kantong-kantong NU dibuat rusuh, di Tasikmalaya, Pekalongan, Situbondo dan lain-lain. Kenapa yang dibenci Gus Dur dan NU tapi yang diserang rakyat?
Gus Dur gusar dan prustasi, karena konflik ini membawa korban jiwa, kerusakan bangunan, dan menyangkut kerusuhan SARA. Namun, katanya banyak kiai, Gus Dur merasa kepayahan karena kondisi itu bersamaan dengan kesehatan matanya yang menurun drastis.
Saat tragedi “ninja” di Banyuwangi dan daerah Tapal Kuda, Gus Dur tidak sempat terjun ke lapangan, karena kesehatan. Tak lama setelah tragedi itu, krisis moneter terjadi. Saat itulah Gus Dur diserang struk mematikan, yang juga berdampak pada kesehatan matanya. Karena itulah, saat para tokoh diundang Soeharto ke istana, Gus Dur hanya bisa duduk di kursi roda.
Memasuki era Presiden Habibie, Gus Dur masih pemulihan, tapi kesehatannya jauh lebih baik. Dia kuat berkeliling berbagai daerah untuk konsolidasi NU dari segi sosial politik. Hasilnya, dia mendirikan PKB. Tak lama, dia keliling ke ratusan tempat untuk kampanye. Musim pemilu 1999, PKB masuk tiga besar. Debut PKB sebagai partai baru gemilang.
Dan puncaknya adalah Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4. Gus Dur menjadi solusi di tengah kebuntuan politik. Ini kemenangan puncaknya sebagai politisi. Pada saat bersamaan, kemenangan ini membuat lawan politiknya menjadi dengki maksimal. Kedengkian inilah yang berubah menjadi monster.
Dan akhirnya, Gus Dur kalah. Inilah satu-satunya kekalah terbesar sepanjang hayat Gus Dur (kekalahan dia disingkirkan ponakannya di PKB sih kecil saja). “Loh, wali kok kalah?” tanya temanku.
Ujian menjadi kekasih Allah atau wali itu, salah satunya, adalah sikapnya saat menghadapi kemenangan dan kekalahan. Buat apa menang tapi melupakan Allah dan segenap makhluknya? Buat apa menang tapi menyengsarakan? Tak berguna bukan?
Dan Gus Dur telah melawati semua kondisi dengan hebat. Setiap kali menang dalam pertempuran, dia tidak adigang adigung adiguna. Itu artinya Gus Dur selalu ingat Allah, bahwa yang berhak sombong adalah Allah semata. Saat kalah pun, dia selalu ingat Allah. Tak mungkin dia membuat kalimat sakti “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” dalam keadaan melupakan Allah. Insya Allah Kiai Haji Abdurrahman Wahid wali.