Plagiat bukan saja, saya misalnya, menyalin mentah-mentah kalimah-kalimah seseorang tanpa menerapkan aturan, tapi, plagiat juga menggunakan kata atapun kalimat yang tidak mikir siapa diri dan lawan bicaranya.
Misalkan, selain ayah saya, tidak boleh bilang ke saya begini,”Hamzah, ambilin sandalku!” Kata-kata atau kalimat itu tidak boleh ditiru oleh siapa pun untuk saya, saya ulangi oleh siapapun, kecuali ayah, dan guru saya.
Contoh lagi. Al-Hallaj menyatakan, “Ana al-Haq. Saya adalah kebenaran.” Ini tidak boleh ditiru mentah-mentah. Kalau ditiru, dampaknya lebih dari seorang doktor yang plagiasi karya mahasiswanya. Mengapa kita tidak boleh menirunya?
Al-Hallaj adalah sufi agung dengan reputasi keilmuan yang tidak terbantahkan. Sementara kita, siapa? Jangankan mengingat Allah dalam tiap tarikan nafas, sama kucing yang membutuhkan potongan ikan saja kita tidak peduli. Bukan kelasnya kita meniru sufi bernama lengkap Abu Abdullah Husain bin Mansur al-Hallaj. Al-Hallaj lahir di kota Thur, Iran 858 M. Wafat di Bagdad Irak, 922.
Contoh lain yang lebih dekat dengan kehidupan kita, tiada lain kalimah-kalimah Gus Dur “Tuhan tidak perlu dibela“. Gus Dur menulis esai dengan judul kalimah itu, tahun 1982 di majalah Tempo, dilatarbelakangi oleh situasi segelintir kelompok orang Islam yang selalu merespon situasi dengan berlebihan dan bahkan marah-marah. Apa pandangan Gus Dur atas situasi keislaman seperti itu?
“Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu ‘dilayani’. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang ‘positif konstruktif’. Kalau gawat cukup dengan jawaban yang mendudukan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari,” itu sikap Gus Dur menghadapi situasi kemarahan tiada ujung dan pangkalnya.
Sikap Gus Dur merujuk pada pernyataan sufi al-Hujwiri. Al-Hujwiri atau biasa juga ditulis Ali al-Hujwiri bernama lengkap Abu Hasan Ali bin Usman bin ʿAli al-Ghaznawi al-Jullabi al-Hujwiri, lahir di Ghaznah (sekarang masuk Afganistan) 11 Masehi. Al-Hujwiri terkenal dengan karyanya yang berjudul Kasyful Mahjub. Annemarie Schimmel menyebut kitab tersebut sebagai ‘Monumen Persia’ awal dengan daya ungkap yang kuat.
Dan inilah kaliwah al-Hujwiri yang dikutip Gus Dur dalam tulisannya:
“Bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia ‘menyulitkan’ kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”
Jadi jelaslah landasan Gus Dur, yakni mengandung dimensi ketuhanan, dengan sumber yang kuat juga. Dan Gus Dur berhasil menerapkan dalam situasi sosial keagamaan kita waktu itu, bahkan masih relevan hingga sekarang. Dan karena sangat kontekstual, Gus Dur tidak sedang melempar pendapat dengan sensasi kata-kata. Sejatinya, tidak ada yang kontroversial dari “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, kecuali bagi orang-orang yang merasa kena sindir karena hidupnya disibukkan dengan “jualan Tuhan”.
Sampai di sini, kata-kata punya “kelas”, punya tempat, dan tidak semua orang berhak mengucapkan ini dan itu. Jangan coba-coba meniru, memplagiasi mentah-mentah kalimah Gus Dur, atau al-Hallaj. Belum kelasnya kita, belum waktunya. Jika memaksa, alih-alih berdampak baik di masyarakat, kata yang tidak sesuai maqom pengucap dan pendengarnya, bisa merusak suasana dan kohesivitas sosial.
Belakangan ini, kita menyaksikan kata-kata yang antah berantah. Kita seperti sedang kena musibah badai kata-kata. Tiba-tiba kata-kata tumpah ruah depan muka kita. Di manapun kita berada, kata-kata berhamburan mengikuti kita. Kita tidak bisa bersembunyi dari badai kata-kata itu, yang sebagiannya juga diikuti gambar-gambar berselera rendah.
Kata-kata itu, ada yang jelas datangnya dari mana, misal dari pimpinan DPR, tapi tidak jelas apa agendanya. Sebaliknya, ada berjuta kata-kata dengan agenda yang jelas, yakni membunuh harkat martabat seseorang, tapi tidak jelas siapa memuntahkan kata-kata itu. Derita Rohingya dikaitkan dengan Timnas sepakbola. Mencari uang bilangnya cinta Tuhan. Boro-boro berdimensi ketuhanan seperti kata-kata al-Hallaj atau Gus Dur, kata-kata itu tidak bohong, tidak mencaci, tidak fitnah, tidak plagiat, tidak membunuh, tidak merusak suasana sosial kebangsaan saja sudah untung, seperti dapat rezeki tak bernilai. Oh Tuhan, ampuni aku!